Dalam waktu dekat kita akan memasuki tahun politik, tahun dimana sejumlah problematika di tanah air menjadi topik yang diperbincangkan. Bersamaan itu pula muncul orang-orang bertitle mendiskusikan isu-isu penting seputar: ekonomi, hukum, pendidikan dsb yang melahirkan perdebatan (pro-kontra).Â
Isu-isu berat mengenai kesejahteraan, mahalnya biaya pendidikan & kesehatan, ketahanan pangan, degradasi moral hingga persoalan korupsi yang tak kunjung selesai menjadi perbincangan recehdilakukan oleh media, pengamat, tukang becak di berbagai plosok giras(warung kopi). Tahun politik seperti magnetyang menarik seluruh elemen masyarakat membicarakan nasib Bangsa.Â
Semangat Nasionalisme pun mendadak berada di posisi puncak-puncaknya. Berbagai solusi pun bermunculan yang mengatasnamakan kepentingan nasional diatas segala-galanya.
Suasana demikian, mengingatkan penulis pada momen SEA Games dari tahun ke tahun. Ajang olahraga yang diselenggarakan oleh Southeast Asian Games Federation dibawah pengawasan dari Komite Olimpiade Internasional dan dan Dewan Olimpiade Asia, tidak pernah sepi dari sorak sorai dukungan masyarakat Indonesia. Seluruh elemen baik, tua-mudi, kaya-miskin berharap kemenangan tim Indonesia dengan membawa pulang medali emas sebanyak-banyaknya.Â
Gelombang rasa kebanggaan, kecintaan, kepedulian terhadap nasib bangsa dalam kompetisi yang diikuti oleh beberapa Negara di semenanjung Asia Tenggara itu sangat besar. Bahkan setiap hari, jam, detik terus mengawal posisi Indonesia berada diperingkat berapa. Tidak hanya itu, bentuk dukungan mencerminkan kecintaan terhadap Bangsa juga di ekspresikan melalui status di sosial media, tato lambang negara, menggunakan jersytim Indonesia bahkan melakukan konvoiuntuk merayakan kemenangan tim Indonesia.
Namun sayangnya, kebanggaan, kecintaan, kepedulian, dan segala hal yang berbau Nasionalisme hanya bertahan dalam hitungan beberapa pekan saja. Selepas itu, semua kembali pada rutinitas masing-masing. Suara gegap gempita itu pun meredup, terlebih pada bidang-bidang krusial seperti: persoalan kesejahteraan, mahalnya biaya pendidikan & kesehatan, ketahanan pangan, degradasi moral hingga persoalan korupsi yang tidak kunjung selesai.Â
Hanya suara-suara sumbang yang terdengar. Dalam pendapat pribadi penulis, seakan-akan semangat Nasionalisme hanya bersifat simbolik, berkutat pada hal yang tidak susbtantif, dan hanya momentual. Dalam bahasa lain penulis menggunakan istilah "Nasionalisme Artifisial," artinya nasionalisme semu, yang dibuat-buat, bukan sesungguhnya.
Sama hal nya ketika melihat fakta gegap gempita dialektika pemecahan problematika bangsa di tahun politik ini, ada kekhawatiran semangat Nasionalisme yang muncul sifatnya artifisialatau pemanis panggung kontestasi politik semata.
Dalam hal ini, penulis tidak hendak mengajak pembaca yang budiman menjadi orang yang apatis tehadap politik, sehingga menjadi acuh dalam setiap perbincangan yang menentukan nasib Bangsa kedepan. Justru penulis, berharap para pembaca yang budiman menjadi bagian yang mewarnai tahun politik ini dengan semangat Nasionalisme yang sebenarnya bukan artifisial.Â
Berbicara bagaimana nasib bangsa Indonesia kedepan juga merupakan tanggungjawab setiap insan yang mengaku sebagai warga negara. Bagaimana agar terhindar dari sikap-sikap semangat Nasionalisme Artifisial, perlu mengetahui prinsip Nasionalisme, perbedaan Nasionalisme Artifisial dan non-Artifisial, serta bagaimana sikap seharusnya menjadi pribadi yang memiliki semangat Nasionalisme sesungguhnya.
Nasionalisme