Malam itu, seperti biasa, aku terlelap dengan irama dengkuran bapak yang khas. Suara itu, meskipun tidak jarang membuatku tersenyum geli, adalah pengingat bahwa rumah kami aman. Di luar, angin dingin berhembus kencang, tapi di dalam sini, hangatnya kasih sayang bapak dan ibu membuat segalanya terasa baik-baik saja. Â
Pagi itu hujan turun deras, menyelimuti tempat kami tinggal. Aku berdiri di ambang pintu sambil memeluk tas sekolahku.
"Ayo, Din, kita berangkat, pakai dulu jas hujannya" Â ucap bapak
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam, melihat tubuh Bapak yang basah kuyup terkena hujan. Aku tahu, Bapak pasti kedinginan, tapi ia tidak pernah mengeluh. Yang ia pikirkan hanya satu
"dinda harus tiba di sekolah tepat waktu."
Sebelum aku dan Bapak berangkat, Ibu selalu bangun lebih pagi, bahkan sebelum matahari terbit. Suara sendok dan panci beradu di dapur adalah musik pagi yang tak pernah absen. Dengan tangan yang cekatan, Ibu memasak sarapan sekaligus menyiapkan bekal untukku. Tak peduli seberapa lelah ia selalu memastikan aku punya energi untuk belajar. Â
Ketika aku membuka bekal di sekolah, ada sepotong kertas kecil yang Ibu selipkan. Tulisan tangannya berbunyi, "Belajar yang baik, ya, Din. Doa Ibu selalu menyertaimu." Â aku melihat secarik kertas itu merasa terharu, dengan bekal sederhananya ia menitipkan doa untukku
Di tengah kesederhanaan
ini, aku menyadari bahwa kebahagiaan bukan soal materi, melainkan tentang kehadiran yang penuh arti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H