Pendahuluan
Yurisdiksi merupakan isu yang sangat sensitif bagi setiap negara, walaupun pandangan ini mungkin dianggap konservatif dan tradisional dalam hubungan internasional, kenyataannya adalah bahwa negara-negara tetap teguh dalam mempertahankan kedaulatannya. Namun, dalam perkembangan saat ini, negara-negara tidak lagi melihat dunia secara hitam dan putih seperti pada Perang Dunia Pertama dan Kedua. Ketergantungan antara negara-negara yang terbentuk melalui bisnis dan perdagangan internasional telah mengaburkan garis antara musuh dan sekutu. Tidak ada permusuhan atau persahabatan yang seratus persen. Oleh karena itu, menjadi permainan kedaulatan dan kemakmuran bagi negara-negara dalam menangani ekonomi dan yurisdiksi.
Hubungan antarnegara dipengaruhi oleh berbagai faktor. Para pemimpin negara akan mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan untuk berhubungan dengan negara lain. Salah satu faktor penting adalah hubungan ekonomi dan perdagangan. Sebuah negara mungkin bersengketa dengan negara lain di satu sektor, tetapi jika hubungan ekonomi antara mereka menguntungkan kedua belah pihak, apapun keputusan yang diambil, pihak-pihak tersebut akan berusaha sebaik mungkin untuk memastikan bahwa hubungan ekonomi tidak terganggu.
Prolog di atas adalah dilema yang ditemukan penulis saat ini di antara negara-negara yang bersengketa dalam konflik Laut Cina Selatan. Konflik ini telah menjadi perbincangan dalam diskusi hubungan internasional sejak bertahun-tahun lalu, terutama setelah insiden yang terjadi di sekitar Mischief Reef. Bahkan setelah putusan arbitrase yang dikeluarkan pada tahun 2016, tidak ada negara pengklaim yang memiliki inisiatif yang tepat untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka, untuk mencapai “win-win solution” yang paling mungkin. Namun, arah utama esai ini bukan untuk mengevaluasi penyelesaian sengketa di antara negara-negara yang bersengketa, tetapi untuk menekankan kemungkinan melihat konflik dari perspektif yang berbeda. Melihat konflik sebagai peluang daripada sebagai ancaman besar terhadap hubungan antara Cina dan Indonesia dari perspektif Political, Economic, Social, Technological, Legal, dan Environment (PESTEL).
Sikap dan Peran Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan
Indonesia adalah negara yang memiliki status sebagai negara non-pengklaim dalam konflik Laut Cina Selatan. Meskipun demikian, Indonesia secara tidak langsung dipengaruhi oleh ketidakstabilan kawasan yang disebabkan oleh konflik tersebut, karena letaknya yang langsung bersebelahan dengan kawasan tersebut. Indonesia juga bertindak sebagai negara anggota ASEAN, satu-satunya organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang empat anggotanya adalah negara pengklaim wilayah yang disengketakan di Laut Cina Selatan.
Indonesia memiliki suara penting di ASEAN karena secara tradisional dianggap sebagai pemimpin alami organisasi tersebut. Contoh jelas kepemimpinan Indonesia adalah pembentukan Kode Etik (Code of Conduct), di mana Menteri Luar Negeri Indonesia sebelumnya, Marty Natalegawa, mendorong negara anggota lainnya untuk merundingkan dan merumuskan COC. Contoh lainnya adalah Indonesia telah menginisiasi dan menyelenggarakan serangkaian lokakarya yang melibatkan akademisi dan pejabat pemerintah yang dilakukan untuk anggota ASEAN, dengan perwakilan dari Cina serta Taiwan. Ada 19 lokakarya yang diselenggarakan dari tahun 1990 hingga 2009, yang bertujuan untuk membahas langkah-langkah pengelolaan konflik yang mungkin dilakukan. Dari argumen di atas, penulis berasumsi bahwa Indonesia memiliki peran penting dalam konflik: berdiri di zona netral sebagai negara non-pengklaim tetapi juga memiliki daya tawar sebagai negara yang suaranya selalu dipertimbangkan oleh negara anggota ASEAN lainnya.
Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Bilateral ASEAN, Indonesia, dan Cina
Seperti yang telah dijelaskan penulis sebelumnya, meskipun dua atau lebih negara sedang bersengketa dan hubungan diplomatik antara dua negara menurun, sangat mungkin sektor lain dari hubungan bilateral tetap tidak tersentuh, terutama ketika datang ke hubungan antara ekonomi dan perdagangan. Tidak ada negara yang siap menanggung kerugian ekonomi besar hanya karena kebijakan untuk mencapai resolusi. Mereka membiarkan konflik mengganggu hubungan dengan mitra mereka di sektor ekonomi. Dilema ini terjadi di antara negara-negara yang bersengketa dalam konflik Laut Cina Selatan, ASEAN sebagai organisasi keseluruhan dan masing-masing negara anggotanya. Cina telah menjadi mitra dagang terbesar ASEAN dari tahun 2008 hingga 2015; volume perdagangan mencapai USD 472 miliar pada tahun 2015, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 18,5 persen setiap tahun.