Tulisan ini telat penulis tulis karena satu dan lain hal. Namun setelah berdiskusi panjang dengan salah satu teman lama yang tengah menjalani Pendidikan Profesi Guru (PPG) tadi malam tergerak juga hati dan perasaan penulis untuk sedikit merefleksikan pendidikan kita melalui tulisan ini tepat sehari setelah kita merayakan hari guru. Â
Pendidikan kita di Indonesia telah lama menjadi subjek perdebatan karena kompleksitas permasalahan yang mengitarinya. Penulis ingat betul dua buku yang banyak mempengaruhi pikiran penulis dalam memandang problematika pendidikan kita ini yaitu buku Sekolah Itu Candu karya Roem Topatimasang dan buku Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed) karya Paulo Freire.Â
Kedua buku ini menawarkan perspektif kritis yang relevan dalam mengevaluasi sistem pendidikan kita. Keduanya membahas bagaimana pendidikan sering kali menjadi alat dominasi alih-alih pembebasan, serta mencerminkan ketimpangan sosial yang mendalam.
Dalam Sekolah Itu Candu, Roem Topatimasang menyampaikan gagasan bahwa sistem pendidikan formal di Indonesia sering kali hanya mencetak individu yang patuh terhadap struktur yang ada. Sekolah menjadi tempat di mana siswa diajarkan untuk menerima otoritas tanpa kritis, menjauhkan mereka dari kreativitas dan kemandirian berpikir.Â
Hal ini sejalan dengan kritik Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas, yang menggambarkan model pendidikan "banking". Dalam model ini, guru dianggap sebagai sumber kebenaran mutlak, sementara siswa hanya "menabung" informasi tanpa proses dialogis. Sistem seperti ini menciptakan individu yang teralienasi dari kenyataan sosial mereka sendiri.
Pendidikan di Indonesia kerap terjebak dalam paradigma serupa. Kurikulum yang terlalu padat dan berorientasi pada ujian cenderung mengabaikan kebutuhan esensial siswa untuk memahami realitas sosial dan berpikir kritis.Â
Anak-anak menjadi "produk" yang siap bekerja untuk memenuhi tuntutan pasar, bukan agen perubahan yang mampu menciptakan transformasi sosial. Pendidikan yang seperti ini bukan hanya tidak relevan, tetapi juga tidak adil, terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi rendah.
Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas menegaskan bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses pembebasan, terutama bagi kelompok marginal. Namun, di Indonesia, pendidikan justru sering menjadi cermin dari ketidakadilan sosial.Â
Fasilitas pendidikan di daerah terpencil sangat tertinggal dibandingkan dengan kota-kota besar. Siswa dari keluarga miskin kerap terhalang oleh biaya tambahan seperti seragam, buku, atau bahkan akses internet untuk pembelajaran daring. Ini mempertegas bahwa pendidikan kita lebih mengabdi pada kaum elit dibandingkan dengan melayani seluruh rakyat.Â
Baik Roem Topatimasang maupun Paulo Freire menawarkan pandangan bahwa pendidikan harus menjadi alat transformasi sosial. Pendidikan seharusnya tidak hanya fokus pada penguasaan keterampilan teknis, tetapi juga membentuk kesadaran kritis (critical consciousness). Dengan kesadaran ini, siswa mampu menganalisis struktur sosial yang menindas mereka dan mengambil tindakan untuk mengubahnya.
Di Indonesia, model pendidikan seperti ini masih jarang diterapkan. Sementara terdapat inisiatif seperti sekolah alam atau kurikulum berbasis proyek, skala penerapannya masih kecil dibandingkan dengan sistem pendidikan nasional yang kaku. Reformasi pendidikan di Indonesia harus berorientasi pada pembebasan dan pemberdayaan siswa sebagai subjek aktif, bukan objek pasif.