Mohon tunggu...
Kevin Owen1507
Kevin Owen1507 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Warga Nonpribumi Tak Dapat Memiliki Tanah di Yogya?

29 November 2018   19:52 Diperbarui: 29 November 2018   19:57 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti yang kita ketahui beberapa bulan belakangan ada seorang tionghoa yang mengajukan banding ke pengadilan negeri Yogyakarta ini dan menggugat Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi.Mengapa bisa demikian.Warga yang menggugat adalah warga kecamatan kraton dan bernama Handoko.Namun gugatannya di gagalkan oleh pn Yogyakarta.

Prof Suyitno, ahli pertanahan yang juga anggota Parampara Praja DI Yogyakarta, mengatakan, ada sejarah panjang Yogyakarta dari zaman Belanda yang menyebabkan Sultan Hamengku Buwono IX kala itu menerbitkan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi itu. Menurut Suyitno, sejarah dimulai ketika Hindia Belanda (Indonesia) saat itu dipimpin oleh Gubernur Meester in de Rechten Herman Willem Daendels antara tahun 1808--1811. Saat itu, lanjtu dia, banyak warga pribumi menjual tanah ke perusahaan asing. Saat kepemimpinan dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830, saat itu diberlakukan tanam paksa. Hingga akhirnya ada peraturan Belanda staatsblad tahun 1870 dan akhirnya diturunkan dengan peraturan ground-vervreemdings-verbod yang berisi larangan bagi pribumi untuk menjual tanahnya ke warga asing. Aturan ini tertuang di dalam staatsblad tahun 1875 No 179. Jika menarik ke belakang, pada tahun 1870, saat modal asing diizinkan untuk masuk, hal ini disebut Opendeur-Politik atau politik pintu terbuka. Saat tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan protes dari kalangan sendiri, lalu menghapus tanam paksa di Pulau Jawa dan menggantinya dengan politik pintu terbuka, hingga pemerintah Belanda menerapkan Undang--Undang Agraria 1870. "Diasingkan itu dijual, disewakan, dipinjamkan itu enggak boleh. Salah satu alasannya melindungi masyarakat petani dari pengusaha yang mempunyai modal besar," ujar Suyitno.

Lalu, Berdasarkan R Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat. Tanah sultan ground dibagi dua, yaitu Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Selain itu, milik Kadipaten Pakulaman, mengatur hal yang sama. Maksud baik Suyitno melanjutkan, proses sejarah panjang itu diperkuat dengan adanya UUD 1945 Pasal 18 b ayat 1 dan 2 tentang daerah khusus dan istimewa serta masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya hingga lahirlah UU Keistimewaan DIY. "Pasal 18 b UUD 45 mengakui asal-usul hukum adat yang berlaku dan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. Artinya, kewenangan otonomi demi untuk menyejahterakan masyarakat supaya tidak ada ketimpangan, dan didasarkan sejarah, maka tidak salah toh kepala daerah melestarikan ketentuan hukum adat," tutur Suyitno.

 Menurut dia, peraturan ini tidak hanya terbatas pada golongan Tionghoa, tetapi juga warga nonpribumi lainnya. Sebab, di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan nonpribumi. Disinggung mengenai apakah kebijakan itu masih relevan dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), Suyitno menilai, sebagai akademisi, dia melihat tidak ada pelanggaran HAM. "Kalau menurut saya, apakah itu bertentangan HAM, secara yuridis penggolongan ada, tetapi dari konvensi internasional HAM dirafitikasi pemerintah Indonesia diatur diskriminasi positif. Artinya, pemberlakuan diskriminasi untuk menghilangkan diskriminasi yang sudah ada, yaitu penderitaan masyarakat Indonesia, khususnya golongan kelas 3. Dulu kelas 1 golongan Eropa, kelas 2 golongan kulit kuning, dan ketiga golongan kulit berwarna atau masih miskin. Oleh karena itu, dasarnya kemiskinan," urainya. "Sampai kapan? Sampai ketimpangan itu tipis, saat ini ketimpangan tinggi. Menyetarakan bukan berarti menyamakan, tetapi ketimpangannya tidak tinggi," lanjut Suyitno. Dia menilai, pada saat ini, ketimpangan antara kaya dan miskin di Yogyakarta masih sangat tinggi. "Maksudnya diskriminasi positif. Diskriminasi itu enggak baik, tetapi jika maksudnya baik itu boleh. Untuk menghapuskan akibat dari diskriminasi yang sudah ada. Misalnya, kalau seorang anak dilarang menonton TV melanggar hak asasi atau tidak. Tetapi, larangan ini tujuannya baik," tuturnya. Oleh karena itu, lanjut Suyitno, peraturan tersebut masih perlu diperlakukan di Yogyakarta sampai benar-benar makmur. "Kalau menurut pendapat saya, masih perlu. Untuk dicabut atau diberlakukan perlu hati-hati. Dicabut dampaknya juga ada, diberlakukan nanti ribut terus," ujarnya.

Berbeda dari Suyitno, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Hieronymus Purwanta mengakui adanya pembedaan terhadap warga nonpribumi dalam hal kepemilikan tanah di Yogyakarta. "Ya, problemnya Yogyakarta memang begitu. Kalau dibilang tidak adil ya tidak adil, kalau dibilang diskriminasi ya diskriminasi. Aturan mainnya memang keturunan Tionghoa tidak memiliki tanah hak milik. Paling banter hak guna bangunan," katanya. Purwanta mengatakan, jika merunut sejarah, Yogyakarta berbeda dengan wilayah lainnya yang didatangi pendatang dari berbagai negara. Hanya warga Tionghoa yang bekerja di sekitar Kota Gudeg ini. Lokasinya di sekitar Kampung Ketandan, di dekat Pasar Tradisional Beringharjo. Mereka banyak yang menjalankan bisnis jual beli emas, pemungut cukai pasar, hingga simpan pinjam uang. Keturunan Tionghoa hanya terbatas di sekitar perkotaan, tidak sampai ke wilayah pedesaan. Namun demikian, sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II yang bertakhta, yaitu 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828, hubungan baik tetap terjalin antara warga pribumi dan non-pribumi. Salah satu sejarah yang menunjukkannya adalah kisah tentang Tan Jin Sing antara tahun 1760 sampai 1831.

Dia merupakan tokoh Tionghoa yang diangkat sebagai bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat karena kepandaiannya menjadi jembatan antara Sultan Hamengku Buwono III dan Thomas Stamford Bingley Raffles. Kini namanya dijadikan nama sebuah jalan di Yogyakarta. Saat itu, Sultan memberikan tanah di sepanjang Jalan Ketandan dan dibangun dengan arsitektur Jawa, Eropa, dan China milik Tan Jin Sing sepanjang sekitar 700 meter. Saat ini, wilayah Ketandan dikenal dengan pecinan di Yogyakarta. Kawasan pecinan di Yogyakarta memang sulit dilacak dari segi peninggalan sejarahnya. Apalagi penelitian sejarah jarang sekali mengungkap fakta mengenai kedatangan mereka ke Indonesia. "Meski memiliki hubungan baik dengan keraton, tetapi mereka tetap dibatasi. Misalnya sudah sejak lama orang keturunan Tionghoa tidak boleh tinggal di desa, tapi di kota. Jadi sangat jarang orang Tionghoa ditemukan di desa. Itu jauh sebelum HB IX (mengeluarkan surat instruksi)," ungkap Purwanta.

Meski ada pembatasan terhadap warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta, Purwanta mengatakan, tak ada konflik pelik dalam hubungan antara warga pribumi dan nonpribumi. Kota Gudeg tetap nyaman untuk ditinggali maupun untuk menjalankan usaha. Selain itu, minimnya kerusuhan karena keturunan Tionghoa di Yogyakarta tidak punya pesaing dari luar. Berbeda dengan Solo, lanjutnya, karena ada keturunan dari Yaman atau bangsa Arab yang datang sehingga persaingan untuk berbisnis lebih ketat. Menurut dia, kebijakan tersebut karena mempertimbangkan berbagai macam faktor, misalnya karena kemampuan warga pribumi ketika dibiarkan bersaing dengan keturunan pendatang, mereka pasti akan kalah, baik itu zaman dulu maupun saat ini. Pembatasan ini untuk melindungi masyarakat lokal dan pertimbangan masalah keamanan untuk keturunan Keraton Yogyakarta maupun warga pribumi. Agar ketika terjadi kesenjangan yang tinggi, tidak terjadi kerusuhan dengan pihak keturunan Tionghoa yang telah menguasai tanah. "Kalau terjadi kesenjangan warga miskin akan muncul kerusuhan. Aturan itu mencegah penguasaan tanah kepada warga keturunan," tambahnya kemudian. (Namun demikian, pihaknya berharap Pemprov DIY dan Keraton Yogyakarta mencari solusi terbaik agar tidak ada kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi hingga terkait Sultan Ground.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun