Mohon tunggu...
Kevin Nicholas Santoso
Kevin Nicholas Santoso Mohon Tunggu... Editor - Murid

Murid

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyeimbangkan Prestasi Akademis dan Kesehatan Mental Remaja

7 November 2024   22:53 Diperbarui: 7 November 2024   22:59 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tantangan Akademis di Sekolah Menengah

Pelajar di sekolah menengah kini menghadapi tantangan yang semakin berat. Setiap hari mereka harus berhadapan dengan tumpukan tugas, ujian yang terus menerus datang, serta harapan tinggi dari orang tua dan guru untuk meraih prestasi sempurna. Tak jarang, banyak dari mereka yang menghabiskan waktu hingga larut malam untuk belajar, mengorbankan waktu istirahat dan bersantai. Situasi ini semakin memburuk dengan tekanan masuk ke universitas ternama yang dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan. Belum genap satu semester, namun tanda-tanda kelelahan dan stres mulai muncul. Siswa-siswa ini, meskipun masih muda, sudah terbiasa hidup di bawah bayang-bayang tekanan yang kian berat.

Beban Psikologis Remaja di Indonesia

Tekanan akademis yang dialami remaja di Indonesia kerap kali menimbulkan beban psikologis yang berat. Seringkali, standar nilai dan prestasi yang diharapkan tidak hanya datang dari pihak sekolah, tetapi juga dari keluarga dan masyarakat. Hal ini menempatkan remaja dalam situasi di mana mereka merasa perlu terus-menerus berjuang untuk mencapai kesuksesan akademis tanpa henti, sehingga mempengaruhi kesehatan mental mereka. Berbeda dengan pendekatan pendidikan di Finlandia, misalnya, yang menekankan keseimbangan antara belajar dan kehidupan pribadi. Di sana, siswa didorong untuk belajar dengan suasana yang santai dan menumbuhkan rasa cinta terhadap proses belajar, bukan semata-mata hasilnya. Sistem pendidikan Finlandia memahami pentingnya keseimbangan antara tekanan akademis dan kesejahteraan psikologis, sehingga remaja tumbuh dengan rasa percaya diri dan kesehatan mental yang lebih stabil.

Tantangan Besar bagi Remaja di Masa Persiapan Ujian

Masa remaja sering kali digambarkan sebagai periode penuh harapan dan energi, tetapi di sisi lain, remaja juga menghadapi tantangan besar dalam tekanan akademis. Bagi siswa SMA, misalnya, persiapan untuk ujian akhir dan ujian masuk perguruan tinggi bisa menjadi pengalaman yang sangat menguras tenaga dan emosi. Banyak remaja yang harus menghabiskan waktu berjam-jam mengikuti les tambahan setelah sekolah, mengerjakan tumpukan pekerjaan rumah, dan bersaing dengan teman-teman sebaya demi meraih posisi teratas. Situasi ini bisa semakin berat jika dikombinasikan dengan harapan tinggi dari orang tua yang mendambakan prestasi anak mereka. Tanpa dukungan dan pemahaman yang memadai, tekanan akademis ini seringkali memicu kecemasan, depresi, dan burnout di kalangan remaja, yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan mental dan fisik mereka.

Pendidikan yang Seharusnya Membantu, Bukan Memberatkan

Pendidikan seharusnya membantu remaja berkembang menjadi individu yang kuat, tangguh, dan mampu mengatasi tantangan hidup dengan bijak. Namun, tekanan akademis yang berlebihan seringkali justru merusak tujuan ini. Seorang siswa yang harus belajar hingga larut malam demi memenuhi ekspektasi akademis bisa kehilangan waktu berharga untuk bersosialisasi dan merawat kesehatan mentalnya. Seorang guru idealnya tidak hanya mengajar demi nilai, tetapi juga membimbing siswa untuk memahami materi dengan pemahaman yang mendalam dan menghargai proses belajar. Di sekolah, perhatian terhadap kesejahteraan mental harus sejalan dengan pengajaran akademis agar tercipta lingkungan belajar yang seimbang.

Sistem Pendidikan yang Membebani

Kenyataannya, tekanan akademis yang tak terkendali telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Sistem pendidikan yang berorientasi pada hasil semata sering kali menekan siswa hingga batas kemampuannya. Remaja dipaksa mengejar nilai-nilai tinggi dan prestasi demi memenuhi standar yang dipatok oleh sekolah dan keluarga. Ironisnya, kesejahteraan mental yang seharusnya menjadi bagian penting dari perkembangan mereka justru diabaikan. Akibatnya, banyak remaja yang mengalami stres kronis, cemas, dan kehilangan motivasi belajar. Perubahan mendasar perlu dilakukan agar pendidikan tidak hanya mencetak lulusan berprestasi tetapi juga individu yang sehat secara mental.

Tekanan Akademis sebagai Ombak yang Menghantam

Tekanan akademis di kalangan remaja ibarat ombak besar yang menghantam kapal kecil di tengah lautan yang luas. Remaja adalah para pelaut muda yang tengah berusaha mengarungi samudra kehidupan, namun setiap gelombang ekspektasi terus datang tanpa henti. Setiap ujian, tugas, dan tuntutan dari orang tua atau sekolah ibarat badai yang datang silih berganti, menghantam kapal mereka dengan kekuatan yang bisa membuat mereka terombang-ambing. Kadang kala, kapal yang mereka tumpangi, yang seharusnya kuat dan dapat bertahan, mulai terkikis oleh tekanan tersebut. Bagaikan tubuh yang lelah akibat terpapar angin dan hujan tanpa perlindungan, mental para remaja pun ikut terkikis oleh kecemasan dan stres. Tanpa adanya pelindung yang memadai, yakni sistem pendidikan yang seimbang antara pencapaian akademis dan kesehatan mental, kapal-kapal kecil ini bisa karam atau hilang arah, terbawa arus kesulitan dan ketidakpastian. Pendidikan yang seharusnya menjadi pelabuhan yang aman untuk berkembang, justru berubah menjadi medan yang penuh rintangan, di mana para pelaut muda harus berjuang keras agar tetap bertahan dan tidak tenggelam dalam tekanan.

Ruang Kelas yang Penuh Tekanan dan Kekhawatiran

Di dalam ruang kelas yang penuh sesak dengan suara pengajar dan deretan soal di papan tulis, tatapan mata siswa sering kali kosong. Pundak mereka menanggung beban yang lebih berat dari sekadar buku teks yang ada di meja. Siswa-siswi ini tampak lelah, wajah mereka memancarkan kekhawatiran dan ketakutan akan ujian yang akan datang. Setiap sudut kelas seolah penuh dengan rasa cemas dan ambisi untuk terus bertahan. Namun, di balik itu, ada keinginan yang terlupakan: kebebasan untuk belajar tanpa merasa tertekan. Sesekali, suara tawa yang seharusnya mengisi ruang itu tergantikan oleh keluhan pelan dan desahan lelah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun