Ketika orang harus memilih antara hidup dan mati, tentu aku pun lebih memilih hidup. Tapi di tahun 2020 ini sungguh berat bagi mahasiswa sepertiku, sudah bukan rahasia lagi kalau hidup di Jakarta itu berat sekali, apa-apa mahal ! Dulu sewaktu tinggal di Sumatera, mama selalu bilang kalau tidak perlu muluk-muluk kuliah di Jakarta, di Medan pun ada yang bagus. Tapi siapa yang tidak tertarik kuliah di Jakarta atau Bandung, karena kalau di Jakarta banyak sekali universias yang punya nama, apalagi kalau di Bandung ada ITB. Tapi sekarang aku jadi terlilit hutang untuk membayar sewa kos dan kebutuhan hidup sehari-hari, belum lagi harus membayar iuran semester.
Dulu sebelum ada wabah Corona, aku rajin narik ojol (ojek online) sebagai kerja sampingan, mau narik taksol (taksi online) tapi sayang belum punya mobilnya, kalau SIM A belum ada, kata teman itu gampang bisa diatur di biro jasa, lha kalau belum ada mobilnya yah terpaksa narik ojol habis pulang kuliah dan di akhir pekan.
Universitas Tarumanagara kampusku, pas sebelahnya ada mal Ciputra. Kalau dilihat sekilas, orang-orang pasti bilang kalau yang kuliah di universitas ini semuanya orang kaya atau kalau bukan orang kaya, yah setidaknya anak orang kaya. Andaikata anggapan orang semuanya benar, tentu tidak ada mahasiswa-mahasiswa sepertiku. Motor bebek yang kupakai sehari-hari ini pun seakan menegaskan kalau aku hanyalah mahasiswa pas-pasan, kadang aku ingin tukar dengan motor baru, yang matic, yang tidak perlu memainkan kopling di kaki, karena pegal rasanya sehabis narik ojol beberapa tarikan.
Tapi narik ojol sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat, selain aku takut tertular virus corona, penumpang-penumpang pun sudah mulai berkurang karena mereka juga khawatir. Jangan kuatir, kata provider-provider ojol , karena akan dipasang sekat pemisah antara penumpang dan pengemudi ojol. Tapi sebagai mahasiswa, aku tahu yang sebenarnya kalau jarak antara aku dan dia (baca : penumpang) tidaklah cukup untuk mencegah virus corona, dan sekat transparan itu masih cukup riskan.
Dulu waktu aku kecil, papa dan mama bukanlah seperti yang sekarang ini. Di usia mereka yang memasuki kategori kaum lansia, dulu mereka adalah pedagang ulet. Sayang, semua itu hilang ketika perekonomian keluarga kami bangkrut. Tidak disangka uang pinjaman bank yang mereka gunakan untuk membangun usaha studio foto dan cetak foto itu bangkrut karena tergusur oleh kehadiran kamera-kamera digital.
Tenang mama, tenang papa, kalau aku sudah lulus dari program studi Manajemen ini, nanti aku akan menjadi pengusaha yang sukses, itu cita-citaku. Siang mahasiswa, malam ojol, akhir pekan ojol. Jalan menuju Roma pun pasti akan terbuka. Itu kata-kata yang selalu terngiang sewaktu berjuang dari semester ke semester. Tapi itu sebelum ada wabah, sekarang amatlah sulit. Coba lihat sudah berapa perusahaan nasional dan internasional di dalam dan luar negeri yang berguguran, tumbang bagaikan kapal pesiar Titanic yang terhujam gunung es di perairan yang luas dan perlahan-lahan karam ke dasar lautan yang dalam.
Aku harus jadi apa sekarang ? Dan aku mulai berpikir keras apa aku harus jadi asisten praktikum di kampusku ? Tapi khan semuanya mulai bergeser ke kelas online mulai semester ini, apa masih akan adakah praktikum kalau semuanya online ? Tidak mungkin aku harus melamar ke perusahaan-perusahaan untuk kerja part-time, karena di era studi / kuliah online ini, yang seharusnya mempermudah hidupku karena semuanya seharusnya bisa dikerjakan dan dipelajari dari rumah (baca : dalam kamar kos Tanjung Duren), jadi malah lebih sulit karena dosen-dosen tampaknya lebih banyak memberi tugas-tugas online dibanding masa-masa kuliah offline alias tatap muka.
"Demi sesuap nasi" adalah metafora yang sering aku gunakan untuk mempertegas perjuanganku dan keyakinanku untuk hidup yang lebih baik. Tapi walaupun itu hanyalah kiasan, tapi nampaknya itulah keadaanku sekarang ini.
Hari itu di akhir bulan Agustus 2020, sebelum kami memulai perkuliahan secara daring via Zoom, ketika hidup seakan semakin kecil bagaikan lubang jarum, aku bersyukur kepada temanku yang memberi kabar baik kepadaku via Whatsapp, dan merupakan jawaban dari semua doaku. Benny namanya, dan dia pun memulai kalau bagi mahasiswa yang membutuhkan kerja sampingan, harus berpikir kreatif, ingat manusia harus berevolusi bagaikan jerapah yang berleher panjang dibanding dengan jerapah yang berleher pendek yang di akhir cerita harus punah karena tuntutan zaman.
Benny pun bercerita lanjut, ingat kita ini bukan generasi milenial lho, kita ini Gen-Z, kita ini generasi Tiktok dan Snapchat dan Drakor (Drama Korea), anak-anak generasi milenial (Gen Y) yang tertua pun sudah mendekati umur 40 tahun dan hidup mereka pun tidak secemerlang generasi orang tua mereka yang kebanyakan generasi Boomer. Kita sebagai Gen Z harus survive, karena kata meme-meme di TikTok & 9gag.com kalau orang-orang tua dari generasi milenial lah yang kelak akan tinggal nebeng di rumah kita sebagai anak mereka, akibat begitu terpuruknya para generasi milenial akibat krisis tahun 98, krisis tahun 2008, dan sekarang krisis tahun 2020. Itu sains, lanjut Benny, alias general knowledge !
Benny pun membocorkan rahasianya kalau dia selama ini memperoleh penghasilan tambahan sebenarnya dari membuka kelas-kelas kursus privat online (bimbel) dari website-website seperti RuangGuru.com, Superprof.co.id, Studydocu.com, Zenius, & Tutorindonesia.co.id, dll. Lho bukannya dari "menjual catatan-catatan kuliah", Ben ? Bukan, Benny membantah, itu cuma kiasan kalau sebenarnya yang dia jual ya ilmunya saja. Tidak kusangka, Benny yang identik dengan penampilan rapih dan keren, mobil Avanza yang selalu tercuci bersih, tapi sebenarnya juga memerlukan uang saku tambahan, dan juga suka menggunakan kata-kata kiasan. Â Tidak jauh berbeda dari mahasiswa perantauan sepertiku.