Pendahuluan
Sistem perpajakan memainkan peran vital dalam perekonomian sebuah negara, tidak hanya sebagai sumber pendapatan utama pemerintah tetapi juga sebagai alat redistribusi kekayaan dan stabilisasi ekonomi. Namun, efektivitas sistem perpajakan tidak hanya bergantung pada regulasi yang ketat dan canggih, melainkan juga pada proses pengawasan dan auditing yang transparan dan akuntabel. Auditing perpajakan, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol untuk memastikan kepatuhan wajib pajak, sering kali menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut mencakup ketidakselarasan data, potensi konflik kepentingan, hingga kurangnya kepercayaan antara wajib pajak dan otoritas perpajakan.
Dalam praktiknya, auditing perpajakan seringkali dianggap sebagai proses yang teknis, dengan penekanan kuat pada identifikasi ketidaksesuaian dan pelanggaran. Pendekatan ini, meskipun efektif untuk mendeteksi masalah, sering kali kurang memperhatikan dimensi humanis dan relasional yang dapat memengaruhi kepatuhan wajib pajak. Akibatnya, wajib pajak sering merasa diperlakukan secara kaku atau bahkan represif, yang pada akhirnya dapat mengurangi kepercayaan mereka terhadap sistem perpajakan secara keseluruhan. Selain itu, auditor sendiri dihadapkan pada dilema etis dan operasional yang kompleks ketika harus menyeimbangkan kebutuhan untuk menegakkan aturan dengan kebutuhan untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan wajib pajak.
Dalam konteks Indonesia, di mana nilai-nilai budaya lokal masih memiliki pengaruh yang signifikan, pendekatan berbasis budaya dan nilai tradisional dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi tantangan ini. Salah satu nilai budaya yang relevan adalah filosofi Hanacaraka, aksara Jawa yang tidak hanya berfungsi sebagai simbol tulisan tetapi juga mengandung nilai-nilai kehidupan yang menekankan keseimbangan, harmoni, dan kerja sama. Filosofi ini dapat memberikan perspektif baru dalam auditing perpajakan, yang lebih menekankan pada kolaborasi dan hubungan yang saling menghormati antara wajib pajak dan auditor.
Di sisi lain, dialektika Hegelian menawarkan pendekatan filosofis yang dapat membantu mengatasi konflik dan ketegangan dalam auditing perpajakan. Model ini berfokus pada interaksi antara tesis (posisi awal), antitesis (kontradiksi atau tantangan), dan sintesis (resolusi atau solusi). Dalam konteks auditing, model ini memungkinkan identifikasi masalah secara sistematis dan pencarian solusi yang tidak hanya menyelesaikan masalah teknis tetapi juga memperbaiki struktur hubungan antara pihak-pihak yang terlibat.
Penggabungan dialektika Hegelian dan filosofi Hanacaraka dalam auditing perpajakan memberikan kerangka kerja yang unik, yang mengintegrasikan analisis logis dengan nilai-nilai harmoni. Dialektika Hegelian dapat digunakan untuk menganalisis dan menyelesaikan ketidaksesuaian data
serta konflik regulasi, sementara Hanacaraka memberikan landasan etis untuk membangun hubungan yang lebih seimbang dan konstruktif antara wajib pajak, auditor, dan pemerintah. Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, sistem auditing perpajakan dapat diperkuat, tidak hanya dari segi teknis tetapi juga dari segi etis dan relasional.
Dengan latar belakang ini, artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana dialektika Hegelian dan filosofi Hanacaraka dapat diintegrasikan dalam auditing perpajakan untuk menciptakan proses yang lebih efektif, adil, dan manusiawi.
Tinjauan Literatur
1. Mekanisme dan Alur Pemeriksaan Pajak
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2015 mengatur pedoman pelaksanaan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Alur pemeriksaan ini bertujuan untuk memberikan kejelasan mengenai prosedur, memastikan konsistensi pelaksanaan, dan mendukung terciptanya transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan pajak.