Mohon tunggu...
Kevin
Kevin Mohon Tunggu... Lainnya - Asisten

Penggiat Ruang Publik Politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Refleksi Demokrasi Indonesia

30 April 2021   01:58 Diperbarui: 30 April 2021   02:00 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ihwal perkembangan politik di Indonesia, menunjukkan bahwa perkembangan demokrasi kita belom begitu baik, dibandikan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Indeks Demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence (EIU) pada 2020, melaporkan bahwa Indonesia menjadi posisi ke-64 dari 167 negara di dunia. Dengan skor 6.3, Indonesia berada di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Hal tersebut menyebabkan, Indonesia mencatatkan skor terendah dalam 14 tahun terakhir ini. Penyebabnya, fenomena politik identias dan pelaksanaan pemilu yang sarat akan money politics. Padahal, Indonesia sudah memasuki era Reformasi, ketika Presiden Soeharto telah resmi mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Jika kita analisis, maka Indonesia ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan di dalam bidang politik. Bayangkan saja, sudah 23 tahun Indonesia sudah memasuki era Reformasi, namun pelaksanaan demokrasi tidak mengalami kualitas perbaikan. Koreksi penulis, mungkin pelaksanaan pemilu juga yang harus dikoreksi. Bagaimana tidak, pemilu telah diubah menjadi sistem proporsional terbuka, pada tahun 2009. Sejak saat itu, pelaksanaan pemilu Indonesia menyebabkan fenomena politik uang lazim terjadi. Mengingat, calon-calon legislatif secara langsung harus memperebutkan suara terbanyak agar mengisi parlemen. Keadaan seperti itu, mungkin saja salah satu indikator yang harus ditelaah dan dicari akar permasalahannya. Kemudian, faktor politik identitas menjadi berpengaruh ketika Pilkada 2017 yang diadakan oleh DKI Jakarta. Ketika itu, Ahok berpasangan dengan Djarot yang menjadi pesaing Anies-Sandi dalam memperebutkan kursi DKI 1. Lalu, terjadi suatu momentum ketika Ahok mengutip salah satu ayat suci Al-Qur'an dalam kampanye yang dilakukannya. Sontak, hal ini membuat kemarahan umat Muslim dan menjadi strategi bagi umat mayoritas tersebut untuk mendemo Ahok, dikarenakan sudah menistakan agama Islam. Hal tersebut membuat, beliau dipidana dengan kasus pencemaran Agama. Berkaca dari hal tersebut, maka politik identitas bisa dimanikan ketika ada suatu momentum yang pas. Maka, seyogyanya hal tersebut harus dihindari guna menghindari politisasi agama yang kerap terjadi dalam politik Indonesia. Penulis menyarankan, bahwa pemilu harus direvisi kembali dan menindak perilaku politik identitas, demi terwujudnya demokratisasi yang baik dan bersih, seperti cita-cita reformasi pada tahun 1998. Bagaimana tanggapan kalian? Apabila, tulisan saya ada kesalahan diharapkan untuk memakluminya. Sekian dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun