"Saya mah mau mas jadi Go-jek aja, mau berhenti jualan bubur tapi umur saya enggak masuk, udah mau 55. Liat aja nih kerutan di jidad saya"
"Yah, namanya udah tua mah ya pak istirahat aja dah. Biar anak gantian yang nyari duiit"
Pagi ini tak ada yang beda dengan rutinitas setiap hari, berhubung shift masuk kantor saya yang seakan abadi untuk ditakdirkan masuk sore, pagi harinya saya sempatkan untuk mengantar si eneng ke kantor. Tak jauh dari rumah, hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk menempuh jarak ke kompleks Alam Sutera yang berada di kawasan Tangerang Selatan.
Khusus di hari jum'at biasanya saya sempatkan mampir untuk sekedar sarapan bubur, tapi tukang bubur ini cukup bikin terheran-heran, si bapak seakan punya jadwal yang tetap kapan dan dimana dia akan menjajakan buburnya, dan uniknya saya selalu bertemu di hari jum'at. Dan si bapak bubur selalu hapal pesanan saya yang tidak pernah melewatkan satu komposisi pun yang ada di bubur tersebut, padahal duduk saja belum, dalam hati sotoy banget ini si bapak, siapa tahu saja saya hanya mau duduk-duduk.
Bapak ini memang sangat gemar memulai percakapan dengan para pelanggannya, kebetulan saat itu hanya saya yang menjadi pelanggan pertamanya, dengan sedikit terpaksa saya pun jadi meladeni ocehannya. Maklum, saya kurang nyaman ketika harus berinteraksi dengan orang yang belum saya kenal terlalu dekat. Percakapan pun dibuka dengan si bapak yang sangat antusias dengan fenomena ramainya pengguna Go-jek, saya yang sudah sangat terlalu bosan dengan cerita Go-jek pun menjawab dengan sekedarnya, bayangkan tak hanya para buzzer yang sangat spartan muncul di lini masa media sosial saya, para awak media hingga para penggunanya pun tak luput untuk mengabadikan momen hits-nya bersama Go-jek. Saat saya menulis artikel ini pun sempat terbesit, "kenapa gw jadi ikutan juga kaya buzzer Go-jek gini". Tapi saya akui inovasi transportasi yang memanfaatkan teknologi ini memang sangat fenomenal.
Berlanjut cerita si bapak bubur, dia menceritakan transportasi ini sangat diminati pekerja asing yang harus berjuang dari riuhnya kemacetan Jakarta dan juga sebagai alternatif dari mahalnya tarif taksi ketika harus terjebak di tengah kemacetan. Dia pun melanjutkan percakapan dengan melontarkan pertanyaan dimana lokasi saya bekerja, Jakarta. Dan berlanjut dengan pernyataan, ojek konvensial Jakarta yang sudah mulai berkurang sejak ramainya para tukang ojek untuk beralih menjadi driver Go-jek. Saya pun hanya membenarkan pernyataannya dengan jawaban sederhana sembari mengunyah sate usus yang sudah dibumbui lada dan kecap.
Istri dari tukang bubur ini menaruh gelas di meja saya yang terisi dengan teh tawar hangat.
" Anak saya juga kerja di Go-jek loh mas"
Dalam hati, wooohh si bapak buzzer gratisan juga toh, heeleeeh. Saya pun menanyakan apakah si anak menjadi driver Go-jek atau tidak, si bapak dengan sangat antusias dan percaya diri mengungkapkan anaknya baru saja lulus sarjana muda, tentunya pekerjaan kantoran yang menjadi idaman orang tua yang satu ini. Saya kira mungkin anak si bapak bekerja di bidang administratif, mungkin ya karena saya tidak menanyakan lebih lanjut, hanya berdasarkan cerita si bapak yang menjelaskan anaknya yang sempat kelelahan mengurus calon driver Go-jek yang jumlahnya cukup banyak.
Ada cerita yang tiba-tiba saja merubah saya menjadi sedikit antusias. Si bapak mereka ulang kembali cerita anaknya yang bekerja di kantor Go-jek, tentunya seluruh netizen tahu beberapa pekan yang lalu banyak cerita yang beredar driver Go-jek menjadi sasaran utama para tukang ojek konvensional, dan insiden terburuknya digebukin hingga cerita meninggal dunia. Isu terakhir pun terkait salah satu ibu yang harus mendapat bogem mentah saat beroperasi, namun sudah dibantah pihak Go-jek jika insiden tersebut adalah kecelakaan tunggal bukan karena tindak laku kekerasan. Tentunya tak sedikit juga netizen yang tidak percaya dengan bantahan pihak Go-jek tersebut.
Dengan gaya yang sangat antusias si bapak menceritakan cerita yang disampaikan anaknya saat di rumah.