"Berangkat pagi miskin, pulang sore bisa jadi orang kaya mas"
Hingga sampai saat ini, ucapan dari salah satu penambang intan di Kecamatan Cempaka, Martapura ini selalu muncul di otak saya. Entah saya sebagai orang kota yang kurang bersyukur atau bagaimana, jelas jika mereka di sore hari sudah menjadi orang kaya, mereka tidak akan kembali lagi untuk mengayak kumpulan batu saringan yang belum tahu akan muncul apa di kumpulan batu tersebut.
Rupanya itu adalah semangat mereka sebelum memulai hari-harinya di tengah area pendulangan, anda tidak akan tahu hari ini akan dapat apa, bisa saja pulang sore akan menutup hari dengan mengunyah potongan daging atau mungkin hanya menggarami nasi dengan sedikit adonan kecap.
Perjalanan ini saya mulai dengan rasa penasaran yang sangat luar biasa. Bukan karena saya tertarik mencoba performa dari mobil yang akan saya uji di Pulau Borneo, karena saya sudah pernah merasakannya melalui jalur Jakarta-Yogyakarta. Tapi saya yang belum pernah sama sekali menjajaki pulau ini, sangat penasaran dengan anggapan masyarakat pulau Kalimantan yang menyebut pemerintah pusat terlalu Jawasentris.
Mulai dari cerita jangan menggunakan warna baju tertentu, jangan bertatap mata dengan wanita pulau ini, candaan kampung kanibal, hingga cerita orang Sampit yang dapat mencium kehadiran orang Madura walaupun dari jarak jauh, menjadi konsumsi telinga saya di sepanjang saya mengurus acara Kompasiana BlogTrip kali ini. Saya semakin penasaran bagaimana bisa orang Jakarta menetapkan stereotip orang-orang Kalimantan dengan seperti itu.
Karena yang saya tahu, sebagai contoh kecil bayangan saya tentang Kalimantan, saya melihat dari sosok Kompasianer mas Hilman Fajrian. Lahir asli dari Balikpapan, hanya terpaut 10 tahun dengan umur saya, anda bisa lihat sendiri wawasannya luas, hi-tech, ngerti banget soal teknologi, apalagi beberapa hari kemarin malah memberikan informasi yang sangat-sangat berharga bagi perkembangan bisnis Kompasiana. Orang Jakarta banget lah pokoknya!
Yap, setelah saya tiba di bandara Sepinggan saya yakin Kalimantan enggak ketinggalan amat soal pembangunan infrastruktur. Bahkan saya bagaikan menemukan segepok uang ketika saya menyadari setelah tiba di bandara saya dapat dengan mudah akses koneksi 4G, dimana di Jakarta akan didapatkan dengan mudah. Hilang sudah kekhawatiran saya soal sinyal yang sulit dideskripkan rekan saya yang lebih dulu tiba di pulau ini.
Acara dimulai, seluruh Risers bergerak sesuai arahan road captain. Karena dari awal, Kompasianer yang akan saya dampingi kali ini hanya satu yang sudah mahir mengemudi, dua lainnya masih belum berani mengemudikan di medan yang cukup sulit. Saya lebih memilih untuk menikmati koneksi terlebih dahulu dan menyerahkan kemudi kepada mbak Agatha, selama di Kalimantan Kompasianer domisili Tangerang Selatan ini lebih sering dipanggil "bunda" oleh seluruh panitia dan juga peserta.
Jangankan mau posting media sosial denga foto yang baru saja saya potret, tweet yang hanya berisi kata-kata pun, saya harus menunggu beberapa menit. Dua kali mengganti operator, dua-duanya hanya menjanjikan dengan dengan indikator sinyal E, H dan H+, semakin jauh malah emergency calls only.
Ditambah pula dengan bunda Agatha yang masih belum terbiasa mengemudi mobil dengan transmisi manual setelah sekian tahun menggunakan matic. Jadilah suasana hati yang mendung ditambah sedikit ketegangan ketika mobil mati di saat tanjakan kota Balikpapan yang cukup kontras dengan suasana jalan Jakarta yang datar. Tapi saya yakin BUNDA BISA!