[caption id="attachment_357257" align="aligncenter" width="518" caption="Pak Bolong, Nahkoda kapal kecil pengangkut para wisatawan | Kevinalegion"][/caption]
Nak... jika seandainya bapak masih bertahan di kehidupan gelap dengan menjadi rampok ataupun begal, mungkin saat ini kita sudah menjadi kaya raya nak... Tapi buat apa jika mendapat rezeki dari cara yang salah seperti itu.
Itulah pesan yang disampaikan pak bolong, seorang nahkoda kapal kayu kecil yang biasa melayani para wisatawan berkeliling bagian utara Kep. Seribu kepada tiga anaknya sebagai wejangan agar anaknya selalu ingat jika ingin meraih cita-cita haruslah dengan cara yang baik.
Tak ada yang spesial saat ini dari kehidupan pak Bolong sapaan akrabnya di dunia kelautan, bahkan kapal yang digunakan saat ini pun hanya terbuat dari drum dan berbekal mesin diesel bekas yang mampu menelan biaya hingga 50juta untuk satu kapalnya. Pengalaman hidupnya bisa dibilang sudah jarang ditemui manusia di kota-kota besar, hidupnya dimulai dengan menjadi salah satu awak kapal nelayan besar, pak Bolong harus mengarungi lautan selama 3 bulan mencari ikan sebelum membawa hasil dan bisa kembali bertemu keluarganya kembali. Bahkan dalam perantauannya mengarungi lautan, ia pernah tidak kembali ke kampung halamannya di Makassar selama 25 tahun. Kehidupan yang berat di laut memaksa ia sangat jarang menemui keluarganya.
"Bumi itu bulat pak, tak ada pemandangan yang bisa saya lihat selain pemandangan jika bumi itu bulat."
Kehidupan yang cukup berat itu yang akhirnya cukup memberanikan diri pak Bolong untuk mengadukan nasibnya di Ibukota, tepatnya daerah Tanjung Priok. Usaha merantaunya di Ibukota juga bisa dibilang tidak mulus, beliau mengalami masa-masa yang cukup kelam saat berada di Tanjung Priok. Siapa yang tak kenal dengan kerasnya lokasi ini? Begitu juga dengan kerasnya hidup pak Bolong pada masa itu, sehari-harinya ia terjebak dengan dunia rampok, menjadi pembegal, karena tak ada keahlian yang cukup untuk berjuang di kota Jakarta, hanya dengan keahlian itulah yang mampu membuat dirinya bertahan pada saat itu. Kehidupannya berubah setelah dirinya bertemu dengan sesama perantau dari Makassar, ia diajak untuk hidup kembali sebagai nelayan di Kep. Seribu. Barulah selang 5 tahun ia akhirnya menetapkan untuk hidup di salah satu pulau utara di Kep. Seribu, yaitu Pulau Kelapa yang pada saat itu belum banyak warga yang mendiami pulau tersebut, pulau yang sudah menjadi tempat tinggalnya bersama keluarga kecilnya hingga saat ini. Hidupnya pun kali ini cukup biasa saja, sehari-harinya ia hanya menjadi pengangkut kapal ojek dengan mengantarkan setiap penghuni pulau satu ke pulau lainnya.
Pendapatannya pun fluktuatif, hanya bergantung dari seberapa banyak penghuni pulau berpindah tempat ke pulau lainnya, jika sekarang pendapatannya hanya bergantung seberapa banyak wisatawan yang berkunjung ke Pulau Harapan, pulau yang paling sering disinggahi para wisatawan di utara Kep. Seribu.
Hebatnya, ternyata dengan pendapatan yang tak menentu dengan hanya mengandalkan wisatawan, pak Bolong sanggup menguliahkan anak pertamanya di salah satu Universitas Swasta di Jakarta.
"Mau jadi guru katanya pak, enggak apa-apa deh saya usahakan biar enggak kayak bapaknya dulu harus begal dulu biar bisa makan."
Kepulauan Seribu Dahulu Ternyata Lebih Suram
Ada yang cukup menarik ketika saya bertanya langsung mengenai keluhan saya tentang sampah yang sering ditemui di laut Kep. Seribu. Menurut penjelasan darinya, dahulu wilayah utara Kep. Seribu bahkan jauh lebih suram daripada kondisi pada saat ini.