Pembanguan selalu menjadi motor penggerak dalam ekonomi dan sosial. Mulai dari pembangunan jembatan, gedung pencakar langit, hingga sistem transportasi, para insinyur selalu berada di garis depan untuk menciptakan solusi inovatif. Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan dan perubahan iklim, muncul tantangan baru yang menuntut para insinyur untuk mengubah pendekatan mereka terhadap pembangunan, yang fungsinya untuk merangkul solusi ramah lingkungan untuk masalah sehari-hari. Salah satu sektor yang paling berpengaruh adalah emisi gas rumah kaca, daur ulang air, emisi karbon dioksida dan kerusakan lingkungan akibat dari konstruksi dan infrastruktur. Ini menjadi tantangan utama bagaimana membangun infrastruktur yang tidak hanya efisien dan fungsional, tetapi juga ramah lingkungan dan berkelanjutan.
   Ketua Umum International Society of Sustainability Professionals Indonesia Satrio Dwi Prakoso mengatakan, berdasarkan data dari World Building Council 40% dari total emisi karbon dioksida berasal dari bangunan. Data ini menunjukan bahwa bangunan memiliki impact yang sangat besar dalam climate change. Bahkan kontribusinya lebih besar dari sektor industri atau transportasi. Selain itu, proses ekstraksi material-material yang biasanya digunakan dalam sebuah bangunan juga menyumbang 50% dari gas rumah kaca yang ada. Kondisi ini mencerminkan bahwa terdapat kesenjangan antara iklim sektor tersebut dan jalur dekarbonisasi tahun 2045 yang semakin melebar. Salah satu contoh sukses dalam pengurangan emisi karbon adalah penerapan green building atau bangunan hijau, yang memanfaatkan teknologi seperti panel surya, sistem ventilasi alami, dan pencahayaan hemat energi. Hal ini tidak hanya menurunkan emisi karbon tetapi juga mengurangi biaya operasional bangunan dalam jangka Panjang.
   Infrastruktur ramah lingkungan juga berfokus pada konservasi air dan energi, dua sumber daya yang semakin berkurang di tengah laju urbanisasi yang pesat. Sistem pengelolaan air hujan, daur ulang air, dan penggunaan peralatan hemat air di dalam bangunan adalah beberapa inovasi yang bisa diterapkan. Selain itu, banyak negara yang mulai memanfaatkan air dan energi untuk mendaur ulang air yang tak layak pakai menjadi layak pakai. Contohnya, di beberapa kota besar seperti Singapura, teknologi pengolahan air limbah telah diadopsi untuk mendaur ulang air agar layak digunakan kembali. Sementara itu, sistem energi terbarukan seperti penggunaan panel surya dan turbin angin di bangunan dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang mencemari.
   Selain itu menurut survei Green Building Council Indonesia (GBCL), yaitu suatu Lembaga yang berkomitmen untuk mendorong terciptanya gedung-gedung hijau ramah lingkungan. Sampai dengan tahun 2022, hanya 60 gedung di Indonesia yang memperoleh sertifikat bangunan hijau dari GBCI, antara lain: Sequis Center, Menara BCA, Gedung Kementerian PU, Pacific Place, Sampoerna Strategic Square, L'oreal Indon esia Office, Wisma Subiyanto, dan Mina Bahari IV Kementerian Perikanan dan Kelautan. Dari 60 gedung tersebut, hanya 22 yang memperoleh rating platinum dan 35 gedung yang memperoleh rating gold. JLL mengungkapkan, tingginya peminat portfolio bersertifikat hijau ini tidak diimbangi dengan pasokan untuk bangunan yang hijau tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak bangunan di Indonesia yang tidak menggunakan infrastruktur ramah lingkungan dalam suatu bangunan.
   Transformasi menuju infrastruktur ramah lingkungan adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh bidang teknik saat ini, tetapi juga merupakan peluang besar untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih hijau. Pengembangan infrastruktur ramah lingkungan dalam bangunan bukan hanya sebuah tren, tetapi sebuah kebutuhan mendesak. Dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan (emisi gas rumah kaca dan emisi karbon dioksida), konservasi air dan energi, terciptanya gedung gedung hijau ramah lingkungan. Infrastruktur ramah lingkungan harus menjadi prioritas dalam setiap proyek pembangunan. Keterlibatan semua pihak, mulai dari pemerintah, pengembang, hingga masyarakat umum, sangat diperlukan untuk mewujudkan lingkungan yang lebih berkelanjutan dan sehat bagi generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H