Mohon tunggu...
Kevin Agusto
Kevin Agusto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Live Sound Engineer | Chorister | Indonesian Football Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

"Sepak Bola Indonesia: Sederet Kisah dan Harapan"

23 Agustus 2014   16:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:46 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408761150361545380

[caption id="attachment_320566" align="aligncenter" width="700" caption="© 2011 by adinesamson"][/caption]

Di negeri ini, sepak bola adalah olahraga yang paling digemari rakyat selain bulutangkis. Banyak hal menarik yang dapat dibahas dari bidang olahraga ini, mulai dari sejarah, prestasi, pembinaan, sengkarut, hingga unsur industrinya. Melalui sepak bola, Indonesia pernah menancapkan namanya sebagai salah satu tim terkuat di Asia—bahkan disegani di level dunia. Predikat “Macan Asia” pun pernah disematkan pada tim nasional (timnas) berjuluk “Garuda” ini. Melalui sepak bola pula, timnas Indonesia hampir menyentuh putaran final Piala Dunia Meksiko 1986. Sayang, saat itu kita harus takluk dari Korea Selatan. Namun demikian, begitu banyak kekisruhan dan masalah yang melanda persepakbolaan negara kita. Celakanya, yang dikorbankan adalah prestasi dan martabat bangsa. “Garuda” pernah diporak-porandakan oleh sepuluh gol Bahrain, tim yang pernah kita kalahkan di Jakarta pada putaran final Piala Asia 2007—penampilan terakhir Indonesia hingga detik ini. Bangsa ini juga pernah dipermalukan di dunia internasional lewat tindakan tidak terpuji elite PSSI yang bersikap egois, hingga pengurus federasi terpecah menjadi dua kubu.

Atas dasar di atas, tim pewawancara yang terdiri dari Angelica Jennifer, Kevin Agusto, dan Kevin Honggoketiganya adalah siswa SMA Katolik Mater Dei Pamulang, Tangerang Selatanmencoba untuk mengangkat topik ini. Sebagai narasumber, Sdr. Ridho Mahendra Putra bersedia memberikan pandangannya mengenai permasalahan sepak bola Tanah Air. Pria kelahiran Jakarta, 14 Mei dua puluh lima tahun lalu tersebut merupakan pelatih Sekolah Sepak Bola (SSB) Villa 2000, Pamulang. Selain itu, ia juga merupakan guru olahraga di SMAK Mater Dei Pamulang sejak tahun 2009. Prestasinya, antara lain, mengantarkan SSB Villa 2000 menjadi runner up pada gelaran Liga Kompas Gramedia (LKG) U-14 tahun 2012. Menurut dia, kata yang tepat untuk menggambarkan sepak bola—terutama sepak bola nasional—ialah universal. Banyaknya event dan pertandingan yang digelar melegitimasi sifat universal tersebut. Lebih jelas lagi, ia berpendapat bahwa pembahasan mendetil mengenai sepak bola tidak akan selesai jika dibahas dalam satu hari saja.

Timnas U-19

Laki-laki yang akrab disapa “Pak Ridho” atau “Bang Ridho” oleh murid-muridnya itu menilai sepak bola Indonesia belum bisa berbicara banyak dalam hal prestasi. Ketika ditanya soal penyebabnya, ia langsung mengarahkan pembicaraan ke masalah pembinaan yang tidak tersusun rapi. Ridho menggunakan istilah “terputus-putus” untuk menjelaskannya. Di era sepak bola modern, praktis kita hanya menaruh harapan pada timnas kelompok umur dibawah sembilan belas tahun (timnas U-19) yang sedang berjuang untuk menembus semifinal Piala Asia U-19 2014 di Myanmar, Oktober mendatang. Anak-anak asuh Indra Sjafri tersebut dipatok federasi lolos ke semifinal guna mengejar target berikutnya, yakni tampil di Piala Dunia U-20 Selandia Baru 2015. Secara khusus, Ridho menyoroti metode yang digunakan tim pelatih timnas U-19 untuk menjaring bakat-bakat muda dari seluruh Indonesia. Metode yang dimaksud adalah blusukan atau turun langsung ke lapangan. Sekilas, cara ini mirip dengan cara yang kerap dijalankan oleh para pemandu bakat (scouting) dari klub-klub elite Eropa. Menurut Ridho, metode blusukan ala Coach Indra Sjafri yang dipadukan dengan pemusatan latihan (training center) jangka panjang—lebih dari satu tahun—akan menghasilkan suatu tim dengan talenta-talenta hebat. Ia juga berargumen bahwa seluruh pemain timnas U-19 layak merumput bersama klub luar negeri.

Sisi Negatif

Ibarat mata uang koin yang bersisian, sepak bola Tanah Air juga memiliki sisi negatif. Bahkan, hal-hal negatif itu amat banyak jumlahnya. Namun bukan berarti kita dapat terus memojokkan sepak bola nasional. Secara tak langsung, Ridho mengakui hal itu. Pengidola kapten timnas U-19 Evan Dimas Darmono ini menyatakan, banyak faktor eksternal yang memperkeruh kondisi persepakbolaan kita. Sebagai contoh, sepak bola sering disisipi oleh unsur-unsur politik. Tentu hal ini benar adanya, sebab masih ada anggota parpol atau orang berlatar belakang politik yang menduduki jabatan penting di kepengurusan PSSI, baik di pusat, maupun di tingkat daerah. Bahkan, ada pula yang menjadikan PSSI sebagai kendaraan politik. Di luar itu, pemerintah terkadang masih mengintervensi kebijakan PSSI—sebagai induk organisasi sepak bola tertinggi di negara kita. Intervensi kebijakan sering kali bernuansa politis.

Selain unsur politik, sepak bola Indonesia kerap dimanfaatkan pelaku industri hiburan untuk meraup keuntungan. Sebenarnya tidak ada salahnya unsur hiburan hadir dalam dunia persepakbolaan. Jepang, Amerika Serikat, Brasil, Argentina, serta negara-negara Eropa dengan budaya sepak bolanya yang kental telah membuktikan bahwa sepak bola dan hiburan dapat hidup berdampingan, juga saling mengisi satu sama lain. Akan tetapi, di Indonesia, hal itu justru menjadi bumerang, lantaran sistem persepakbolaan kita belum siap untuk menerima hal tersebut. Banyak pemain yang laku sebagai bintang iklan atau bintang film, namun performanya di lapangan melempem. Ada pula pemain yang siang malam mejeng di layar kaca, bermain di klub besar dengan bayaran selangit, namun perilakunya tidak mencerminkan seorang pesepak bola profesional—melakukan tindakan melanggar hukum. Dari sini dapat terlihat bahwa kita belum memiliki iklim dan sistem yang mumpuni untuk menunjang tuntutan industrialisasi hiburan dalam sepak bola nasional. Ridho menyimpulkan, esensi sepak bola sebagai olahraga dapat terkikis akibat dua hal tadi.

Harapan

Pria yang mengidolakan beberapa klub luar negeri ini memberikan skor tujuh dalam skala sepuluh untuk sepak bola Tanah Air. Soal kedewasaan suporter, ia menilai masih kurang. Hal itu terbukti dengan bentrokan antar kelompok suporter yang masih kerap terjadi, seperti bentrokan kelompok suporter Persija Jakarta dengan kelompok suporter Persib Bandung. Meski tingkat kedewasaan suporter Indonesia masih rendah, antusiasme suporter Indonesia terbilang tinggi. Ia bahkan berani berkata kalau antusiasme dan fanatisme suporter Indonesia terhadap sepak bola adalah yang terbaik di Asia. Ketika ditanya seputar pemain luar negeri favorit, sambil terkekeh Ridho menjawab ada banyak pemain yang diidolakannya. Sementara untuk klub domestik mana yang menjadi favorit, ia menyebut Arema Cronus. Alasannya,  klub berjuluk “Singo Edan” tersebut memiliki skuad yang diisi dengan pemain-pemain ber-skill baik dan berlabel timnas. Selain itu, Arema memiliki kelompok suporter Aremania yang terkenal fanatis. Pelatih kepala klub Bundesliga Hamburg SV pun sempat dibuat heran dengan fanatisme suporter Arema kala berkunjung ke Stadion Kanjuruhan untuk melakoni laga uji coba melawan “Singo Edan”. Dua poin di atas, lanjut Ridho, saling mendukung sehingga membentuk Arema sebagai tim yang solid.

Seputar saran untuk persepakbolaan nasional, Ridho menegaskan perlunya perbaikan tata kelola pembinaan usia dini. Sebab, suatu negara akan memiliki liga yang kompetitif serta timnas yang kuat jika pembinaan pemain dilakukan dikelola dengan baik dan dilakukan sedini mungkin. Untuk harapan, dia berharap agar Indonesia dapat menjadi tuan rumah Piala Dunia. Harapan tersebut diamini oleh seluruh anggota tim pewawancara.

Bicara sepak bola nasional memang tiada habisnya, ada saja hal yang menarik untuk diperbincangkan. Jika menengok keadaan saat ini, tentunya kita menginginkan suatu transformasi menuju sepak bola Indonesia yang maju dan modern. Tidak hanya dalam pola permainan di lapangan atau penggunaan formasi, frase maju dan modern juga berlaku untuk subyek, yaitu segenap pengurus PSSI, perangkat pertandingan (wasit, hakim garis, dan lain-lain), pengurus klub, investor, pemain, suporter, media, penanggung jawab keamanan—polisi, sampai pengamat. Suporter harus lebih dewasa, pengelolaan liga dan pembinaan pemain dituntut untuk lebih profesional dari saat ini, pemain wajib mencerminkan sikap fair play, media dan pengamat pun diharuskan lebih kritis dan bertindak cerdas apabila persepakbolaan Indonesia ingin bergerak ke arah yang lebih maju dan modern.

Di era ‘50 sampai awal 90-an, kita punya nama-nama seperti Tan Liong Gouw, Ramang, Iswadi Idris, Anjas Asmara, Rully Nere, Hermansyah, Aji Santoso, dan masih banyak lagi. Namun saat ini, Indonesia seakan kekurangan talenta yang dapat menyamai prestasi mereka. Hanya timnas U-19 yang dianggap mampu memecah kebuntuan ini. Di masa ini, kita harus mencari lagi bek kiri yang konsisten serta penyerang berinsting pembunuh. Sekali lagi, pembinaan ialah satu-satunya jalan. Dengan sepak bola Tanah Air yang maju dan modern, tentunya tidak akan ada lagi tunggakan gaji pemain dan pelatih klub, apalagi kasus meninggalnya pemain seperti yang dialami almarhum Diego Mendieta dan Akli Fairuz. Di samping itu, prestasi timnas kita juga akan meningkat. Jangankan meraih juara Piala AFF dan merebut kembali medali emas SEA Games, lolos ke Piala Dunia pun bukannya tak mungkin. Namun, semua harapan tersebut akan sirna jika tidak diupayakan. Maka, marilah kita bersatu untuk sepak bola Indonesia yang lebih baik. Salam Garuda Jaya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun