Mohon tunggu...
Kevin kesuma
Kevin kesuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa Universitas Airlangga fakultas psikologi tahun 20. Saya sangat berminat dalam pembahasan kebudayaan, edukasi dan Psikologi. Saya juga merupakan awardee IISMA 2022 menuju ke Korea University dan berharap bisa menceritakan banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Nelayan Natuna: Sosok yang Terlupakan dalam Perebutan Wilayah

4 Maret 2024   17:35 Diperbarui: 4 Maret 2024   17:37 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Konflik di Laut Cina Selatan merupakan konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1970 ketika negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Indonesia, Kamboja, dan Malaysia mulai memperebutkan beberapa kepulauan yang tidak jelas kepemilikannya. Dalam berjalannya keributan ini, banyak konflik yang terjadi antara penjaga batasan laut dan nelayan masing-masing negara. 

Eskalasi konflik sudah terlihat akhir-akhir ini dengan Cina meningkatkan keberadaannya di wilayah Laut Cina Selatan, lebih banyak pulau, kapal perang, dan juga markas militer Cina yang sudah bermunculan di daerah Laut Cina Selatan. Masalah ini banyak dikaitkan dengan masalah perebutan sumber daya alam seperti minyak bumi dan juga perikanan di daerah itu. Namun dalam semua kegaduhan ini, terdapat sekelompok orang yang mendapat imbas terbesar tanpa adanya perlindungan yang mencukupi, para nelayan Kepulauan Natuna.

Kepulauan Natuna merupakan serangkaian pulau-pulau di daerah Kepulauan Riau yang masuk dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia. Menurut "Kabupaten Natuna dalam Angka" yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna, Terdapat sebanyak 154 pulau-pulau kecil di mana 27 merupakan pulau berpenghuni. Kepulauan Natuna ini menjadi rumah bagi lebih dari 83 ribu jiwa di mana lebih dari enam ribu populasi rumah tangga memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Para penghuni Kepulauan Natuna ini memiliki gaya hidup yang tidak terpisahkan dari dunia kelautan. 

Selain para nelayan, para penghuni Natuna juga banyak yang bekerja pada bidang yang berhubungan dengan dunia perikanan seperti penjual ikan di pasar, pemilik tempat makan, dan perajin kayu yang membuat kapal-kapal yang dibutuhkan. Bisa dikatakan kehidupan para penghuni Kepulauan Natuna ini benar-benar berdampingan dengan laut Indonesia.

Meskipun dengan keterikatan yang sangat kuat, dunia perikanan dan nelayan ini sedang terganggu oleh konflik yang berada di Laut Cina Selatan. Konflik yang membahayakan sekaligus menyusahkan para nelayan ini menjadi serangan besar terhadap kedaulatan para penghuni Kepulauan Natuna. Permasalahan dapat ditemukan di segala aspek pekerjaan, seperti munculnya kompetisi ilegal yang mengganggu jumlah ikan yang dapat didapatkan oleh nelayan, hingga maraknya keberadaan tentara Cina yang menakutkan dan mengganggu pekerjaan para nelayan ini. Semua masalah ini berkontribusi pada kesengsaraan para penduduk Kepulauan Natuna yang tampaknya dikesampingkan oleh negara-negara dalam mempertimbangkan resolusi dari masalah ini.

Masalah yang menjadi titik kebingungan adalah bahwa isu ini bukan hanya merupakan keributan antara Indonesia dengan Cina namun juga antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain seperti Filipina dan Vietnam. Sudah ada beberapa kasus di mana nelayan Vietnam dan Filipina melanggar peraturan perbatasan dan melakukan kegiatan perikanan mereka di wilayah Indonesia. Fenomena ini adalah hasil dari dorongan Cina pada nelayan Vietnam dan Filipina yang takut dengan keberadaan kapal perang Cina di daerah konflik, ketakutan ini menggeserkan lahan perikanan para nelayan ini ke wilayah laut Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna ini. 

Namun masalah tidak berhenti pada munculnya nelayan lain yang mengganggu ekosistem para nelayan ini, melainkan kecanggihan dari peralatan yang digunakan oleh nelayan Vietnam dan Filipina yang juga mempengaruhi jumlah ikan di daerah situ. Para nelayan ilegal ini menggunakan teknologi seperti pukat harimau dan kapal-kapal yang lebih besar, hal ini berarti para nelayan ilegal ini dapat melakukan kegiatan mereka lebih sering dan dapat menangkap ikan dalam jumlah yang lebih besar.

Akibat terburuk yang terjadi adalah ketika para nelayan Natuna ini bisa melakukan aktivitas perikanan mereka, jumlah ikan yang tersisa untuk dipancing sudah berkurang secara drastis karena metode tidak etis yang digunakan oleh para nelayan ilegal itu. Selain jumlah ikan, para nelayan Natuna juga tidak bisa melakukan aktivitas memancing seiring itu karena pada musim tertentu kondisi laut amat sangat membahayakan para nelayan ini, kapal-kapal para nelayan ilegal merupakan kapal besar yang dapat menerjang kondisi laut yang lebih ekstrim dan menambah tingkat permasalahan bagi para nelayan Natuna ini karena ikan sudah akan habis meskipun musim balik lagi menjadi musim yang baik.

Pada titik ini, belum ada program dari pemerintah yang dapat benar-benar membantu para nelayan Kepulauan Natuna ini. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah berusaha untuk membuat program Mata Pencarian Alternatif yang membantu para nelayan-nelayan yang memiliki kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan mereka sebagai nelayan dengan baik, namun program ini belum menyentuh para nelayan Natuna karena jangkauan mereka yang tidak masuk pada rencana dan target dari KKP. Para nelayan Natuna ini membutuhkan dukungan dan juga fasilitas baru secepatnya agar mereka tidak jatuh lebih dalam lagi dalam permasalahan Laut Cina Selatan ini. Alasan terbesar bantuan pemerintah belum cukup adalah kegagalannya untuk menyelesaikan masalah pada akarnya yaitu eskalasi konflik laut Cina Selatan dan sikap negara terhadap konflik ini yang relatif netral. Negara harus bisa memodifikasi peraturan dan strategi dalam menangani masalah ini agar bisa membantu para nelayan Natuna ini. Peraturan seperti Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2020 yang menggarisbawahi bahwa kapal nelayan dengan ukuran kurang dari 10 GT hanya boleh melaut sejauh 4 mil (6.4 KM) dari pinggir pantai sangat membatasi para nelayan Natuna untuk bisa menjangkau laut lepas yang memiliki lebih banyak ikan. Sikap negara yang tidak bersikap agresif, tidak mendorong adanya perlawanan, dan dibuatnya koalisi antar negara ASEAN untuk melawan Cina dalam permasalahan ini juga menjadi PR untuk negara dalam meningkatkan kedaulatan para nelayan kepulauan Natuna ini. Indonesia sudah menjadi negara maritim terbesar di dunia dan memiliki potensi yang tidak terbatas dalam industri perlautan dan perikanan, namun dalam mimpi Indonesia Emas, proteksi dan perlindungan pada warga-warga kecil yang sengsara di tanah, harus menjadi prioritas Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun