Mohon tunggu...
Ruth Junita Simanjuntak
Ruth Junita Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya pengajar di SD Regina Caeli. Ibu dua anak yang selalu ingin belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya di Tengah Kegelapan

16 November 2024   08:14 Diperbarui: 16 November 2024   08:16 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Supardi Surya Kuncana, biasa dipanggil Pak Par oleh murid-muridku. Aku adalah guru di SD Bakti Mekar. Aku tinggal bersama istri dan kedua anakku. Anak laki-lakiku bernama Satya dan anak perempuanku bernama Sarti. Surya duduk di kelas 5 SD, sedangkan Sarti duduk di kelas 3 SD.

Istriku, Sophia, adalah seorang ibu rumah tangga. Walaupun begitu, Sophia sering membantu perekonomian keluarga dengan cara menjual kue-kue hasil buatannya sendiri. "Hari ini Bapak membawa bekal kah?" tanya istriku. Aku menjawab, "Bawa saja, Bu." Setelah siap menyiapkan semua keperluan kami, aku bergegas memanaskan motor dan pergi ke sekolah bersama Surya dan Sarti. Kebetulan anak-anak bersekolah di tempat aku mengajar.

Dengan tergopoh-gopoh aku memarkir motor tua di tempat parkir guru seraya mengingatkan Satya dan Sarti agar belajar dengan baik. Mereka merupakan anak yang patuh, aku bangga menjadi Ayah mereka. "Selamat pagi, Pak Par," sapa Bu Erni yang kebetulan lewat di depan kami. "Selamat pagi, Bu Erni," timpalku. Pagi ini aku mengajar bahasa Inggris di kelas 6 C. Siswa di kelas 6 C cukup banyak, kira-kira 45 anak dengan latar belakang keluarga yang beraneka ragam. Hal itu membuatku harus memutar otak untuk mengajar mereka.

"Hore, Pak Par sudah tiba!" teriak Thio dari kejauhan. "Hari ini kita akan melanjutkan bermain peran, kan Pak?" tanya Thio dengan semangat. Aku menjawab, "Sabar, Thio", Bapak akan membuka pelajaran terlebih dahulu." Setelah membahas materi minggu lalu, aku pun meminta anak-anak untuk latihan terlebih dahulu. Mereka akan bermain mini drama tentang "The Ant and The Grasshopper." Ketika sedang melihat mereka latihan, aku mendengar ada yang mengetok pintu kelas. "Tok ... .... Tok ... Tok." Ternyata itu adalah Kepala Sekolah, namanya Pak Suta. "Selamat pagi, Pak Par," sapa Pak Suta. "Selamat pagi, Pak," balasku. "Tumben sekali Pak Suta ke kelas," biasanya dia hanya berdiam diri di singasananya, gumamku dalam hati. "Apa yang sedang anak-anak lakukan, Pak Par?

"Terdengar riuh sampai ke luar?" "Anak- aaanak sedang latihan mini drama, Pak", jawabku seraya bergetar. "Boleh saya lihat persiapan mengajar Pak Pardi?" tanya Pak Suta kepadaku. "Anu, Pak, tertinggal di rumah," jawabku berbohong."

Lain kali Pak Par harus membawa persiapan mengajar, ya. Tidak boleh mengajar tanpa membuat persiapan. Hal itu dianggap malapraktik." "Iya, Pak, saya mohon maaf, ya Pak." "Ya sudah, saya berharap itu tidak terulang kembali."

Setelah Pak Suta keluar, tiba-tiba Bukkk sepatu siswa menyentuh wajahku. Wajahku terasa mati rasa. Aku pun bertanya kepada siswa yang sedang sibuk sedari tadi. "Siapa yang melempar sepatu ke wajah, Bapak?" tanyaku. Boby dengan gagahnya mendekatiku. "Saya, Pak, saya tidak sengaja", ujarnya. Niatnya mau lempar keluar, Pak, ehhhh, malah kena Pak Pardi." Hahaha ... hahha... anak-anak tertawa atas jawaban itu. Aku pun enggan untuk menegur Boby. Rasaku percuma saja menasihati dia. Bel pun berbunyi tanda pelajaran selesai. "Besok akan kita bahas lagi, ya anak-anak mengenai materi hari ini." Anak-anak langsung keluar untuk makan di kantin.

Hari Rabu adalah jadwal aku mengajar di kelas 6 C. Rasanya hari ini aku tidak bersemangat mengajar di kelas itu. Ku seruput kopi hitamku yang tinggal setengah, ah ... betapa nikmatnya kopi hitam di pagi ini. Ku lihat Bu Erni dengan wajah marah masuk ke ruang guru. "Kenapa, Bu Erni?" tanyaku penasaran. "Sedang tidak mood, Pak Par. Saya mengajar di kelas 6 C. Ribut saja mereka sejak saya masuk. Apalagi Boby, tingkahnya itu loh, Pak, semakin menjengkelkan." "Boby berbuat apa lagi, Bu Erni?" tanyaku. "Masak Boby meminta Joni mengerjakan tugas Matematika, Pak. Saya langsung tegur, namun kelihatannya tidak ada rasa bersalah. Sepertinya kita harus memanggil orang tuanya, Pak. Mendengar pengaduan Bu Erni, mataku langsung gelap dan sesak napas. Selesai mendengar cerita Bu Erni, aku pun bersiap mengajar di kelas 6 C. Betul saja, Boby dan teman-temannya sedang bermain polisi maling padahal jam istirahat sudah selesai. "Ayo duduk anak-anak!" teriakku kepada mereka. Dengan muka jengkel Boby pun minta izin ke toilet. Sambil anak-anak bersiap, saya bertanya kepada anak-anak di kelas 6 C. "Apakah Boby sering berbuat ulah, anak-anak?" Tanyaku.

Dari pojok kelas, Sisca menjawab, "Betul, Pak Par. Sudah sering Boby membuat ulah sampai membuat kami kadang terluka dan guru-guru yang mengajar kelas 6 C merasa tidak nyaman." "Betul, Pak" sambung Joni siswa terpintar di kelas itu. Saya saja hari ini diminta mengerjakan soal Matematika milik Boby, Pak. Mendengar hal ini aku penasaran apa yang terjadi dengan Boby. Boby pun tiba dari toilet dan bertanya tentang mini drama hari ini. "Pak Par hari ini kita jadi kan bermain drama", tanya Boby. "Jadi dong, jawabku bersemangat". Satu per satu anak-anak menampilakan drama mereka. Aku bangga dengan hasil yang mereka dapatkan.

Mereka bersungguh-sungguh dalam memerankan peran yang terdapat dalam drama tersebut. Setelah jamku berakhir di kelas 6 C, aku memanggil Boby ke ruanganku untuk menanyakan hal lebih lanjut tentang dirinya. "Bapak memanggil saya", tanya Boby. "Iya, Boby. Terima kasih sudah datang ke ruangan Bapak." Bapak mau bertanya mengapa akhir-akhir ini kamu selalu murung dan sering berbuat ulah, Boby? Tanyaku. "Apa maksud, Pak Par?", tanya Boby. Pertanyaan Bapak sudah jelas tadi Boby. Silakan Boby cerita ke Bapak, mungkin Bapak bisa bantu.

Lama Boby mematung di hadapanku. Dia hanya menangis tanpa mengeluarkan satu patah pun. Aku pun bingung harus melakukan apa agar Boby mau cerita tentang apa yang dia rasa. "Kalau Boby belum mau cerita ke Pak Par, ya sudah tidak apa-apa. Mungkin lain waktu Boby bisa cerita. Boby pun pergi meninggalkan ruanganku. Saat pulang sekolah, muncul niatku untuk mengikuti Boby yang pulang dengan bersepeda. Sambil membonceng kedua anakku, kami putuskan untuk mengikuti dia. Kebetulan aku tidak tahu di mana Boby tinggal, siapa orang tuanya karena Boby merupakan siswa baru di kelas 6 C. Pelan-pelan ku ikuti dia sampai gang mangga, 1 blok dari sekolah kami. Boby berhenti di rumah yang cukup besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun