Mohon tunggu...
Ketut Elina Savitri
Ketut Elina Savitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi saya mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hari Raya Nyepi sebagai Ritual Keheningan: Makna dan Simbolis dalam Ajaran Hindu-Bali

13 Maret 2024   16:13 Diperbarui: 13 Maret 2024   16:19 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka (Isakawarsa) yang dirayakan setiap satu tahun sekali yang jatuh pada sehari sesudah tilem kesanga pada penanggal 1 sasih Kedasa. Hari Raya Nyepi ini memiliki sebuah filosofi dimana seluruh umat Hindu memohon kepada Tuhan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk melakukan upacara penyucian Buana Alit (manusia) dan Buana Agung (alam semesta beserta dengan seluruh isinya). Hari Raya Nyepi mengandung sebuah arti yaitu sepi atau sunyi, dan dirayakan setiap 1 tahun saka. Mengutip Jurnal Upacara Hari Raya Nyepi Sebagai Upaya Perekat Keberagaman; Studi Pada Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari, Sulawesi Tenggara tulisan Abdul Jalil (2018:491), Nyepi berupaya memenuhi kebutuhan manusia, mulai dari kebutuhan rohani, spiritual, hingga jasmani. Pada saat melaksanakan hari Nyepi, seluruh warga yang ada di Bali tidak diperbolehkan untuk melakukan aktifitas seperti pada umumnya, seperti keluar rumah (kecuali sakit dan perlu berobat), bekerja, menyalakan lampu, membuat kebisingan dan sebagainya dengan tujuan agar tercipta suasana sepi, sepi dari hiruk pikuknya kehidupan dan sepi dari semua nafsu atau keserakahan sifat manusia untuk menyucikan Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana Alit (manusia). Sebelum hari raya Nyepi, dilaksanakan serangkaian upacara dan upakara yang bermaksud agar Penyucian Buana Alit dan Buana Agung berjalan dengan lancar. Dalam Tahun Baru Caka dimulai dari hal-hal yang bersifat positif, seperti menyatukan pikiran dan karsa, mawas diri, menumbuhkan kehidupan baru yang dimulai dari hati yang bersih. Hal tersebut dilaksanakan sebagai makna umat Hindu dapat mengevaluasi diri selama menapaki perjalanan setahun kebelakang dengan diwujudkan suasana hening dan sunyi dan merenungkan kilas balik sekaligus intropeksi diri dari kehidupan sebelumnya. Secara keseluruhan, upacara Nyepi merupakan sarana perenunangan untuk segala hal yang telah dilakukan. selain menjadi refleksi diri, Hari Raya Nyepi juga dilaksanakan untuk menjaga keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit atau titik pertemuan sifat negatif dan positif. 

Dalam Hari Raya Nyepi khususnya yang ada di Bali memiliki beberapa tahapan. Dimulai dari Upacara Melasti, Mecaru, dan Pengerupukan. Kemudian diikuti oleh puncak Hari Raya Nyepi itu sendiri. Dan terakhir disebut dengan Ngembak Geni. Pada Upacara Melasti atau bisa disebut Melis diadakan beberapa hari sebelum Nyepi. Pada saat ini segala sesuatu atau sarana persembahyangan di Pura-pura di bawa kelaut untuk disucikan. Melasti = melelasti = nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta. Setelah pretima disucikan, kemudian akan disemayamkan di Pura Desa hingga sehari setelah hari raya Nyepi berlalu, untuk kemudian berbagai pretima ini kembali ditempatkan pada pura masing-masing. Selambat-lambatnya pada tilem sore, pelelastian harus sudah selesai secara keseluruhan, dan pratima yang disucikan sudah harus berada di bale agung.

Setelah melasti, dilakukan kegiatan Mecaru atau bisa disebut Tawur, dilaksanakan pada hari Tilem Sasih Kesange (Bulan mati ke 9) yaitu sehari sebelum Nyepi, merupakan upacara yang dilaksanakan di setiap rumah atau keluarga, desa, kecamatan dan sebagainya. Dengan membuat sesajen yang ditujukan kepada para Bhuta Kala. Umat Hindu melaksanakan upacara”Buta Yadnya” di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis Caru (semacam sesajian). Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda (Buta Kala), dan segala ”leteh” (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.

Setelah mecaru, dilaksanakan upacara pengerupukan. Upacara Pengerupukan merupakan upacara dengan menyebar (nasi) tawur, yaitu dengan membuat api atau obor untuk mengobori lingkungan rumah, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu sejenis bahan makanan, serta membunyikan atau memukul benda-benda apa saja seperti kentongan untuk menghasilkan suara ramai dan kegaduhan. Tahapan ini dilakukan sehingga diharapkan untuk mengusir para Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Pada tingkat desa diadakan arakan Ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan dari Bhuta Kala yang memiliki sifat negatif. Diarak keliling desa kemudian di bakar, tujuannya agar hal-hal yang berbau negatif itu lenyap dan tidak mengganggu kehidupan manusia.

Keesokan harinya, pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi, pada saat Nyepi khususnya di Bali, semua dalam keadaan sepi. Tidak ada aktifitas seperti biasanya, pada hari ini dilakukan puasa Nyepi, karena pada saat itu diadakan Catur Brata Penyepian yang terdiri dari Amati Geni, yaitu tidak boleh menggunakan atau menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. Amati Karya yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani. Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan melakukan mawas diri. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan/hiburan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sanghyang Widhi.

Setelah hari Nyepi, terdapat upacara Ngembak Geni. Ngembak Geni yang jatuh sehari setelah Nyepi (Ngembak Api), sebagai rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka. Dilaksanakan dengan mengadakan kunjungan antar keluarga maupun para tetangga dan kenalan. Saling memaafkan satu sama lain dengan memegang prinsip Tattwam Asi yaitu “aku adalah kamu dan kamu adalah aku“. Posisi kita sama dihadapan Tuhan, walaupun kita berbeda agama atau keyakinan hendaknya kita hidup rukun dan damai selalu. Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih.

Hari Raya Nyepi memiliki makna sebuah hari untuk berdoa dalam keheningan untuk terwujudnya sebuah kedamaian. Setiap proses yang dilakukan diharapkan dapat membuat manusia tumbuh menjadi pribadi yang santun dan toleran, sehingga melenyapkan segala sifat buruk dan kejahatan dalam diri manusia. Percaya bahwa kedamaian akan terwujud jika perilaku manusia di bumi berdasarkan pada pengetahuan suci dharma atau kebenaran. Makna lainnya yang dapat langsung dirasakan oleh umat Hindu yakni ketika Nyepi berarti mereka meninggalkan berbagai aktivitas duniawi dan hanya difokuskan untuk melakukan hubungan spiritual dengan Sang Hyang Widhi, dalam keheningan dan juga dalam bermeditasi. Merayakan Hari Nyepi juga berarti dapat menyucikan diri sendiri secara lahir dan batin. Mengutip Jurnal Perayaan Nyepi Umat Hindu Bali Bertindak Lokal dan Berpikir Universal oleh W. Sayang Yupardhi (2018:20), selain menjadi refleksi diri, Hari Raya Nyepi juga dilakukan untuk menjaga keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit atau titik pertemuan sifat negatif dan positif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun