[caption caption="Event My Diari. fSumber: fiksiana.kompasiana.com"][/caption]Dear Diari,
mengutip kata orang bijaksana, “Berbuat baiklah seolah besok adalah hari kematianmu”, hari ini aku rehat sejenak dari kesibukanku dan interospeksi diri dengan membayangkan esok merupakan hari kematianku. Dalam imajinasiku kuciptakan gambar malaikat pencabut nyawa telah siap berdiri disampingku, namun mereka masih berbaik hati memberiku tiga kesempatan terakhir yang ingin aku lakukan sebelum hari kematianku.
Diari, jika aku mati aku ingin jiwaku tidak memiliki penyesalan apa pun, terutama kepada orang-orang yang menyayangiku. Aku tidak ingin jiwaku menangis meraung-raung di alam baka sebab ada hal-hal yang belum terselesaikan di dunia ini. Aku ingin memakai cara berpikir seorang prajurit, sudahkah selama hidupku aku telah “bertempur” habis-habisan, menjalankan misiku sebagai manusia, mengoptimalkan potensi yang dikaruniakanNya dan mencapai tujuan akhirku yang telah digariskan? Aku tahu “peta” menuju tujuan itu dirahasiakanNya, namun aku perlu bertanya…sudahkah aku di jalur yang benar? Sudahkah aku berjuang sampai titik akhir dalam hidupku?
Diari, jika kesempatan yang diberikan oleh para malaikat hanya tiga, maka hal pertama yang ingin kulakukan adalah pergi menemui orang tuaku, sungkem, serta meminta maaf jika selama hidupku aku belum mampu membahagiakan mereka. Pada saat hidupku aku terlalu disibukkan urusan kerja serta rumah tangga, sehingga waktu yang tersisa buat mereka hanya sedikit. Dimasa remajaku aku sering menyusahkan mereka dengan kenakalan-kenakalanku, protes-protesku serta kekeraskepalaanku. Aku sering tak mengindahkan nasehat-nasehat ibu. Setelah aku berumah tangga, baru aku rasakan kesusahan mereka. Tidak mudah berperan sebagai orang tua, apalagi jika memiliki anak seegois serta sekeras kepala diriku! Untuk itulah aku berusaha untuk tidak membawa persoalan rumah tanggaku ke depan mereka. Aku selalu mencoba menciptakan senyum terbaikku meskipun terkadang begitu banyak keruwetan hidup yang ingin kubagi bersama mereka. Aku hanya kurang waktu, perhatian serta komunikasi dengan mereka, hal yang sesungguhnya adalah yang “sesuatu banget” buat kedua orangtuaku di usianya yang senja…
Hal kedua yang ingin kulakukan adalah berada ditengah kedua putraku. Menemani mereka dari bangun tidur, menyiapkan bajunya, sarapan, mengantar ke sekolah, menjemputnya, menemaninya makan siang dan makan malam, memandikan putra keduaku yang SD, menemaninya belajar dan bermain, kemudian meninabobokkan ketika tidur. Hal-hal itulah yang sangat jarang kulakukan sebab waktuku yang tersita oleh pekerjaan. Pekerjaanku sangat menguras waktu hingga kesempatan-kesempatan emas bersama kedua putraku terampas.
Yang ada hanyalah kelelahan serta basa-basi singkat di pagi atau malam hari. Saat hari-hari liburku pun kadang aku harus meninggalkan mereka dikarenakan adanya kegiatan-kegiatan kantor yang membutuhkan kehadiranku. Kadang bukan hanya kegiatan kantor, tetapi juga kegiatan adat, sosial kemasyarakatan yang mewajibkanku datang, hingga aku seringkali absen dalam tumbuh kembang anakku. Sudah kuusahakan mencari pekerjaan yang dapat memberiku peluang lebih banyak di rumah, namun pekerjaan-pekerjaan itu belum mampu menopang ekonomi keluargaku, sehingga lagi-lagi aku terjebak dalam bingkai-bingkai waktu yang teramat serakah merampasnya dari kedua putraku. Untuk itulah aku meminta maaf kepada kedua putraku pada hal-hal yang menjadi kekuranganku yang utama sebagai ibu.
Hal terakhir yang akan kulakukan yaitu meminta maaf kepada suamiku, sanak saudara serta handai taulan. Aku pun jarang memperhatikan mereka, berkomunikasi ataupun sekedar ngobrol bareng. Hidup ditengah kesibukan aktivitas pekerjaan membuatku kelelahan fisik dan mental, sehingga waktu bersosialisasi jadi berkurang dan bahkan tidak ada. Tembok-tembok waktu di dunia kerja serta rumah tangga membuatku kehilangan momen-momen sosialisasi dengan teman-teman diluar kantor. Aku adalah satu dari sejuta potret kehidupan perempuan bekerja dalam era modern yang kehilangan rasa keakraban dan kekeluargaan budaya Timur.
Diari, apakah yang kudapatkan dari renungan diatas? Bahwa jika pada akhirnya aku menghadapNya, aku ingin jiwaku ringan melangkah tanpa ada beban, terutama pada orang-orang kucintai. Keringanan perjalanan jiwa itu adalah dengan tidak adanya “hutang cinta” yang alpa kuberikan pada saat hidupku. “Hutang cinta” menurut definisiku adalah memberi kasih sayang, perhatian, pengorbanan serta ketulusan. Mengambil analogi seorang ibu dan bayi, jiwaku mestilah mampu memberi “ASI” terbaik bagi orang-orang yang kukasihi, sehingga mereka “kenyang” dan dapat tersenyum dalam tidurnya. “Hutang cinta” itulah yang ingin kulunasi sepanjang hidupku, hingga misiku berakhir sebagai manusia.
Diari, ternyata…hal-hal sederhana itulah yang justru belum optimal kulakukan dalam hidupku, menjadikan orang-orang terkasihku bahagia dan terberkahi. Aku masih jauh dari tujuan hidupku itu. Hal-hal sederhana itulah yang kuyakini akan memberikan pembebasan pada jiwaku, rasa ringan ketika melangkah menujuNya.
Diari, aku pahami…aku seringkali mesti realistis karena aku hidup di jaman modern yang penuh godaan materialisme. Aku tidak hidup sebagai pertapa dalam hutan dan kesunyian, tetapi sebagai manusia biasa yang penuh kelemahan serta seringkali tergoda dan terjebak dalam kesenangan yang ditawarkan dunia modern ini. Tetapi aku sadari justru inilah sebenarnya “peperangan” itu, pertempuran di alam pikiran dalam memutuskan pilihan-pilihan yang akan diambil untuk mencapai tujuan akhir. Pilihan-pilihan yang bukan benar salah, ataupun pilihan ganda. Tetapi pilihan-pilihan yang menuntut jawaban “essay” di mana kita wajim mampu menjelaskan alasan-alasan serta menguraikan konsekuensinya serta nantinya akan menjadi peta menuju tujuan akhir. Aku adalah “ksatria” dalam peperangan itu, yang memimpin jiwa dan ragaku dalam melampaui segala rintangan hidup ini. Mampukah aku menjadi pemenangnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H