Mohon tunggu...
Tri Widiyanto
Tri Widiyanto Mohon Tunggu... -

belajar kearifan dari setiap keadaan :D

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Adipati Karna, Mbah Maridjan dan Sumpahnya.

28 Oktober 2010   09:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:01 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adipati Karna, alias Raden suryatmaja. Kesatria itu tetap tak berubah pendirian. Dia tetap akan memilih berperang di Pihak Kurawa, dalam perang agung Bharatayudasebentar lagi. Baginya janji dan sumpah adalah kata-kata mulia yang harus ditepati. Baginya kemuliaan seorang kesatria adalah pada ketepatan janjinya, bukan oportunistis memanfaatkan peluang demi kesejahteraan dirinya, inilah etika seorang satria.

Ibunya, Dewi Kunti telah mendatanginya, untuk membujuk agar berperang di pihak pandawa, adik-adiknya. Dewi kunti tidak bisa membayangkan bagaimana putra-putranya bakal saling bunuh, di perang nanti Karna bakal bertanding dengan Arjuna, dan akan ada salah satu yang gugur.

Namun Karna adalah kesatria agung, baginya sumpah harus diwujudkan. Bagaimana mungkin setelah menikmati fasilitas hidup dari Kurawa, kemudian sumpah setianya yang telah terucap, akan dibatalkan begitu saja demi kepentingan pribadinya. “Saya, Karna adalah putra Dewi Kunti yang mulia, tak akan mencemari nama baik Kunti dengan menjadi pengecut melarikan diri dari perang. Mohon doa restu Ibu, saya akan maju perang, menjadi senopati Kurawa, dan biarkan saya gugur di tangan Arjuna adik saya sendiri, biarkan saya menepati janji saya gugur di perang gaung itu.” Ucapnya bulat. Kunti hanya bisa menangis.

Ketika Sri Kresna, menanyakan hal yang sama, Karna tetap menolak bergabung dengan adik-adiknya Pandawa. Meski Sri Kresna, manusia titisan Dewa yang maha tahu itu,telah memberi tahu bahwa Karna bakal gugur jika tetap di pihak Kurawa, dan bisa meraih kekuasaan dan kemenangan jika berada di Pihak Pandawa, Karna tetap tak tergoyahkan.Seorang kesatria memang lebih baik mati di medan perang, daripada melanggar sumpahnya.

Demikianlah Adipati Karna, Satria itu berperang di pihak Kurawa melawan adik-adiknya Pandawa. Gatutkaca, senopati Pandawa bahkan gugur di tangannya. Panah Arjuna, adik sekandungnyalah, yang sanggup menghentikan sepak terjangnya. Karna gugur, menepati Janjinya. Gugur sebagai kesatria yang mendapat hormat dari lawan dan kawan. Istri, Anak, dan pasukannya dari Awangga (Kadipaten kekuasaanya) juga gugur menujukkan kesetiannya kepada Karna. Meski mereka ini mungkin tak pernah tahu bahasa sumpah dan bahasa kesatria seperti yang Karna Pahami.

Di lereng Gunung merapi, lelaki tua, yang tak pernah sekolah formal, menolak untuk turun. Mbah Maridjan, demikian orang mengenalnya, memilih untuk menepati sumpahnya ketika diangkat sebagai juru kunci Merapi oleh Keraton Yogyakarta Hadiningrat pada tahun 1983. Di hadapan Sultan Hamengkubuwono IX dan para abdi dalem lainnya, Dia telah berjanji untuk tak akan meninggal Merapi apapun resikonya. Ia sangat sadar, bahwa kematian akan didapatkannya, dengan memilih menepati janjinya untuk tidak meninggalkan Merapi justru ketika gunung itu bergejolak. “Silakan yang lain turun, Saya tetap akan bertahan” katanya mantap. Tak ada yang bisa membujuknya. “Saya hanya menjalankan tugas, kalau mau turun silakan, jangan ikuti saya yang gak pernah sekolah” lanjut dia dalam berkali-kali kesempatan. Baginya tak mungkin melarikan diri ketika Merapi bergejolak, setelah hidupnya ditopang oleh Merapi.

Bagi lelaki ini, ada bahasa Sumpah yang orang lain tak bisa memahami. Ia tak ambil pusing dianggap musrik atau animism. Ia telah buktikan dengan mewujudkan Masjid yang Indah di dekat rumahnya, memfasilitasi anak-anak untuk mengaji, dan selalu beribadah dengan baik, ketika mereka yang memvonis musrik tidak melakukan apapun terhadap kehidupan keagamaan di kampungnya. Baginya kesanggupan menjadi Juru kunci, artinya wajib memimpin doa syukur yang dilakukan setiap ada doa syukur atas berkah Tuhan lewat Merapi, memfasilitasi para pendaki yang hendak naik ke Puncak Merapi, dan tetap bertahan setiap Merapi bergejolak dengan nyawa taruhannya. Baginya, wajar mati karena Merapi, toh hidupnya selalu di topang Merapi lewat kesuburann tanahnya, lewat limpahan pasirnya, lewat keindahan alamnya.

Demikianlah, Mbah Maridjan menepati janjinya. Berkali-kali beliau selamat dari kegarangan Merapi, tok akhirnya Beliau meninggal diterjang awan panas, sebagai seorang abdi dalem yang telah bersumpah untuk tidak meninggalkan Merapi ketika bergejolak.Beberapa orang ikut menjadi korban karena menunjukkan sikap setia kepada Mbah maridjan, meski mungkin tak tahu makna sumpah dan bahasa alam seperti yang Mbah Maridjan pahami.

Adipati Karna, dan Juga mbah Maridjan menjunjung tinggi makna dari sumpah yang terucap. Bagi mereka, untuk mewujudkan sumpah nyawapun kalau perlu diberikan. Sumpah bagi mereka adalah hal yang harus diwujudkan apapun resikonya. Karna bisa saja hidup nikmat jika melanggar sumpahnya dan berpihak pada Pandawa, Mbah Maridjan bisa saja turun menyelamatkan diri dan melanggar sumpahnya ketika diangkat sebagai abdi dalem juru kunci Merapi. Namun mereka memilih untuk menepati sumpahnya.

Sumpah bagi mereka bukanlah bahasa ritual pelantikan, sekedar keharusan biar sah menjabat, atau kata-kata manis biar keliatan menjadi kesatria atau abdi Negara. Hemm, Tiba-tiba saya merasa merindungan tokoh Karna, dan Mbah Maridjan dalam sosok yang lebih konkret. Merindukan mereka yang bersedia gugur demi menegakkan sumpahnya, dan bukan berkelit menghindar nan cerdik jika gagal memenuhi janji dan sumpahnya. Merindukan mereka yang berjuang mewujudkan kemuliaan sumpah pelantikannya dan bukan menganggap pelantikan itu sebagai kemuliaan tertinggi. Merindukan mereka yang rela mati mewujudkan sumpahnya sebagai sifat kesatria, bukan menghindar dari hukuman jika melanggar sumpahnya. Di hari sumpah pemuda ini, saya merindukan para kesatria.

*teriring doa semoga Almarhum Mbah Maridjan mendapat yang terbaik dari yang Maha Kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun