Mohon tunggu...
Kesya Salsabilla Nasution
Kesya Salsabilla Nasution Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi - Universitas Sumatera Utara

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Toxic Masculinity, Bentuk Budaya Patriarki yang Masih Melekat di Masyarakat

9 Januari 2023   08:50 Diperbarui: 9 Januari 2023   08:52 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Media massa memiliki andil dalam pembentukan realitas sosial, salah satunya dalam merepresentasikan gender. Representasi adalah bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu digambarkan dalam pemberitaan. Representasi gender berarti bagaimana gender digambarkan oleh media massa. Masyarakat Indonesia menganggap gender terbagi menjadi dua, yaitu maskulin dan feminim. Laki-laki dituntut untuk bersifat maskulin dan perempuan dituntut bersifat feminim. Pada media massa, laki-laki kerap digambarkan sebagai seseorang yang agresif, kompetitif, logis, keras, dominan, dan suka mengontrol. Sementara perempuan kerap digambarkan sebagai seseorang yang tidak logis, lunak, saling bergantung, dan selalu patuh. Konsep gender ini melekat pada laki-laki maupun perempuan dan dikonstruksi secara sosial dan budaya. Pemahaman mengenai gender berdasarkan dengan budaya patriarki menghasilkan kesenjangan dan ketidakadilan gender. Hal ini menyebabkan gender menjadi kaku dan dianggap sebagai identitas mutlak sehingga yang lain terpinggirkan dan marginal.

"laki kok cengeng", "laki kok skincarean", "laki kok gasuka bola", "laki kok pakai baju warna pink", beberapa kalimat tersebut biasanya dilontarkan kepada mereka yang tidak menunjukkan sifat maskulin. Laki-laki dituntut untuk selalu kuat, tegas, dan tidak boleh menunjukkan kesedihannya. Mereka yang tidak maskulin akan kerap diintimidasi. Hal tersebut menunjukkan adanya toxic masculinity di lingkungan masyarakat. Hal ini jelas dikarenakan adanya budaya patriarki yang masih melekat dan dianut oleh masyarakat hingga saat ini. Menurut Levant, Ronald F (2019), toxic masculinity adalah sebuah kondisi dimana laki-laki tidak diperbolehkan untuk menunjukkan emosinya sebagai normative male alexithymia yaitu suatu yang bersifat normatif di masyarakat.  Toxic masculinity menyebabkan munculnya fenomena krisis identitas ketika laki-laki mencoba memaksakan untuk mencapai tingkat maskulinitas yang ideal dan kemudian memberikan dampak negatif pada mental dan emosi serta dapat mengintimidasi seseorang (Harrington, 2020). Laki-laki selalu diajarkan untuk tidak cengeng sedari kecil, padahal mereka juga manusia yang memiliki perasaan. Fenomena ini sebenarnya sudah mendapatkan banyak perhatian dari sebagian masyarakat, namun masih banyak orang yang tidak memahami toxic masculinity itu sendiri.

Mungkin sebagian orang bertanya tanya, mengapa isu ini penting? bukankah sudah seharusnya setiap manusia berperilaku sesuai kodratnya? Padahal itu bukanlah kodrat, melainkan sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat. Konsep gender tersebut merupakan hasil dari bentukan konstruksi sosial budaya yang tertanam dan turun temurun. Maka, konsep gender ini merupakan kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Sudah seharusnya kita menyadari betapa pentingnya memahami isu-isu kesetaraan gender. Karena dengan sistem patriarki ini menyebabkan adanya ketidakadilan gender serta merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun