Mohon tunggu...
Kesya Agnes Maria
Kesya Agnes Maria Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

~ Keysa ~ Saya adalah lulusan akuntansi keuangan. Karena saya menyukai analisis keuangan, jadi mari kita belajar bersama. #AnalystWannaBe

Selanjutnya

Tutup

Financial

Sunk Cost Fallacy: Ya Maaf... Terlanjur!

24 Maret 2023   17:15 Diperbarui: 24 Maret 2023   17:29 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Pixabay- Manfredrichter

Hai, Financial Addict! Ketemu lagi bareng aku, tapi kali ini ditopik yang berbeda. Kalau kalian biasa ngikutin kontenku, kalian pasti tau aku biasanya nulis tentang keuangan, tapi special untuk kali ini kontenku lebih kearah stratejik karena konten ini sekaligus akan menjadi ujian tengah semesterku untuk matakuliah Cost Management Accounting (CMA). Dikontenku kali ini aku akan ngebahas tentang sunk cost dan sunk cost fallacy pasca pandemi COVID-19. Sebelumnya, aku mau buka konten ini pake pertanyaan, “Temen-temen kalo punya uang lebih suka beli atau sewa barang?” Disimpen ya jawabannya nanti diakhir konten kita cocokin.

Financial Addict inget nggak waktu kemarin si Coro dateng ke Indonesia? Masyarakat semua berlomba-lomba, panic buying, beli masker. Wajar sih, karena kan waktu itu masker menjadi kebutuhan utama untuk menangkal penularan virus COVID-19. Akhirnya yaa... Karena ada panic buying segala, maka jumlah permintaan masker meningkat (Kompas, 2020). Peningkatan permintaan tersebut tentu tidak disia-siakan oleh produsen. Dilansir dari Liputan 6.com pada September tahun 2020, terjadi lonjakan produsen masker sebesar 707,26% dibandingkan sebelum pandemi COVID-19. Produsen disini bukan hanya merujuk pada perusahaan, namun juga banyak industri rumahan yang tumbuh dari peningkatan permintaan ini (CNBC Indonesia, 2020). But, karena sulitnya memperoleh data keuangan yang diperlukan untuk menganalisis sunk cost, maka artikel ini akan lebih berfokus pada produsen masker dalam bentuk perusahaan.

Nggak mungkinlah ya kalo kita ngebahas seluruh perusahaan produsen masker di Indonesia, kalo semuanya dibahas ntar besok baru kelar nih artikel. Kita akan pilih satu perusahaan namanya PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk. yang terkenal dengan merek dagangnya, Evo Plusmed. Hayo siapa yang udah pernah pake maskernya? Perusahaan ini aku pilih karena sudah berdiri lama yaitu sejak Desember tahun 2010 dan menjadi pelopor masker 4D (Investor.id, 2022). Jadi beda sama masker-masker pada umumnya, masker 4D ini kalau dipake bakal lebih proposional sama bentuk wajah kita dan ada space buat kita bernafas. (Peace, Bu, saya nggak lagi promosi kok hehe...)

Okeh sebelum keterusan dan aku ditunjuk jadi brand ambassador, langsung aja kita masuk ke materi. Kalo temen-temen baca di laporan laba rugi komparatif PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk. periode 2019 dan 2020, terjadi peningkatan penjualan yang sangat signifikan. Bayangin aja penjualan di tahun 2019 yang awalnya cuma 12 milyar, dalam kurun waktu satu tahun aja bisa naik jadi 87,7 milyar. Kalo dipersentasein, kenaikannya bisa sampe 633%, gila ga tuh? Kenaikan penjualan ini dipicu oleh kenaikan permintaan produk masker plus dan masker. Produk masker plus mengalami peningkatan penjualan sebesar 47,35 milyar, sementara produk masker menyumbang 26,82 milyar kenaikan penjualan (Hetzer, 2021).

Dengan produksi dan penjualan yang semakin banyak, kapasitas produksi harus ditingkatkan. Penambahan kapasitas produksi bisa dilakukan dengan menambah mesin produksi, peralatan, kendaraan, maupun dengan menambah luas bangunan. Semua ini merupakan aset tetap perusahaan. Nggak heran pas pandemi COVID-19, tepatnya tahun 2020, nilai aset tetap PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk. meningkat drastis, dari yang semula hanya 2,1 milyar menjadi 9,56 milyar. Peningkatan terbesar didominasi oleh mesin dan kendaraan, dimana mesin bertambah 5,31 milyar dan kendaraan bertambah 1,89 milyar (Hetzer, 2021). Widihhh keren sih asetnya nambah banyak banget, tapi menurut kalian apakah keputusan menambah aset tetap yang diambil oleh PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk sudah tepat?

Awal 2021, kasus COVID-19 cenderung mengalami penurunan, bukan hanya di Indonesia, namun di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) mengklaim terjadi tren penurunan kasus harian COVID-19 sejak 1 Januari 2021 (Kompas, 2021). Pada bulan Januari di Indonesia, kasus COVID-19 masih berfluktuasi, kendati demikian tren penurunan sudah mulai terlihat. Tren ini berlanjut, bahkan sampai dengan siaran pers 4 Oktober 2021, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia menyatakan bahwa kasus COVID-19 telah menurun tajam. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi melakukan panic buying sehingga kebutuhan akan masker berkurang. Hal ini berdampak pada penurunan penjualan PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk. sebesar 12 milyar. Penurunan penjualan ini semakin nampak pada tahun 2022, karena pada tahun tersebut pemerintah telah mengumumkan pelonggaran kebijakan penggunaan masker (Setkab.go.id, 2022). Pasca penerapan aturan tersebut, nilai penjualan menurun sebesar 50% dibandingkan tahun sebelumnya atau jika di Rupiahkan, turun sekitar 38 milyar. Jika nilai penjualan terus menurun apakah produksi juga akan dikurangi? Ternyata tidak! PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk. termakan sunk cost fallacy.

Sebelum kita ngebahas apa itu sunk cost fallacy, kita harus tau dulu apa itu sunk cost. Sunk cost (biaya tertanam) adalah biaya yang dihasilkan dari komitmen sebelumnya dan tidak dapat diperoleh kembali. Sunk cost seharusnya bukan termasuk biaya relevan yang terkait dengan pengambilan keputusan (Atkinson, 2012: 74-75). Akan tetapi, banyak orang terjebak dalam sunk cost fallacy, mereka masih mempertimbangkan sunk cost sebagai biaya relevan dan melanjutkan perilaku atau usaha sebagai hasil dari sumber daya yang diinvestasikan sebelumnya (Arkes & Blumer, 1985). Ambil contoh dari kasus ini, pada 2021 PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk. telah mengalami penurunan penjualan yang cukup signifikan, namun mereka sudah terlanjur membeli mesin dalam jumlah besar, sayang apabila tidak digunakan. Mereka tetap berusaha menggunakan seluruh kapasitas yang tersedia. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya angka persediaan dari yang semula 1,95 milyar menjadi 9,15 milyar. Jenis persediaan yang menumpuk bukan hanya barang jadi saja. Tercatat ditahun tersebut, perusahaan melakukan pembelian bahan baku dan kemasan sebesar 21,6 milyar (Hetzer, 2021). Perusahaan terlihat enggan mengurangi pembelian bahan baku, walaupun tingkat permintaan pasar sudah menurun.

Kesalahan di tahun 2021 mulai diperbaiki di tahun 2022. Belajar dari pengalaman, PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk. mulai menekan angka pembelian bahan baku dan kemasan secara signifikan, dari yang sebelumnya 21,6 milyar, kini hanya 9,75 milyar. Walaupun persediaan barang jadi tetap menjadi masalah yang sulit dikurangi, penurunan angka persediaan akhir sebesar 2 milyar sudah menujukkan upaya yang cukup positif (Hetzer, 2022).

Persediaan sudah berkurang, namun efek samping belum sepenuhnya hilang. Seperti yang kita tahu, bahwa setiap peroleh aset tetap selalu diikuti dengan pertambahan beban penyusutan. Beban penyusutan ditahun 2019 yang awalnya hanya 200 juta, meningkat menjadi 800 juta ditahun 2020, sampai disini belum terjadi masalah karena ditahun 2020 penjualan juga ikut naik, jadi bisa dibilang bertambahnya beban masih tercover dengan peningkatan penjualan, no problem! Setelahnya baru timbul masalah. Di tahun 2021 dan 2022 PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk. memutuskan untuk membeli mesin baru yang kalo ditotal-total per dua tahun ini nominalnya mencapai 2,6 milyar (Hetzer, 2022) – Baca datanya aja udah ketar-ketir, maksudku: Astagoy, Pak kalo nambah mesin lagi, berarti nambah produksi lagi, nambah beban penyusutan lagi dong... Tobat atuh, Pak... Udah penjualannya menurun, tapi bebannya enggak turun-turun. Dahlah emang dilema sunk cost fallacy!

Nah belajar dari case ini, apa yang bisa Financial Addict dapetin? Kira-kira kita sependapat nggak, bahwa seharusnya PT. Hetzer Medical Indonesia Tbk. cukup nyewa mesin aja untuk meningkatkan kapasitas produksinya selama pandemi? Kalo nanti permintaan masker udah menurun setelah pandemi, perusahaan gampang aja tinggal nggak usah sewa mesinnya lagi. Perusahaan nggak perlu mikirin udah terlanjur beli mesin, terus akhirnya maksain diri buat produksi sebanyak-banyaknya biar seluruh kapasitas yang ada bisa terpakai. Kalo gitu nanti jatohnya, perusahaan akan terjebak dalam sunk cost fallacy. Menurutku, untuk sesuatu yang bersifat seasonal, kita nggak perlu ngasih komitmen jangka panjang. Kalo udah terlanjur beli gimana? Hmm... Kalo penjualannya turun ya kita tetep kurangin jumlah produksi. Lho, jadi banyak kapasitas nganggur dong? Kalau nggak mau kapasitasnya nganggur dan nggak mau terbeban dengan penyusutan, kita bisa jual aja mesin-mesin yang nggak terpakai. Menjual kembali barang yang nggak terpakai bisa menyelamatkan kita dari sunk cost fallacy. Inget “dijual,” bukan “nambah lagi,” oke? Hehee... Udah segitu dulu aja kontenku kali ini, semoga bisa bermanfaat buat kalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun