aku selalu membuang selang plastik pada setiap minumanku. Hanya menikmatinya dengan bebas saja tanpa apapun yang menggangguku. Kuseduh minumanku dengan rasaku sendiri tanpa rasamu yang tak pernah kerap bersama. Rasa yang sudah biasa kurasakan berkali-kali tanpa aku mengingatmu begitu saja. Kuseduh rasaku dengan berhati-hati mengikis apapun yang tak pasti buatku lagi. Sambil kulirikkan mataku kesegala arah agar memastikan kau tak ada disini, yang tak membiarkanku sendiri.
       Senja yang terlalu sendirilah membuatku seperti ini. Yang entah terlalu sering memikirkan serumu berajut sendu pada malam itu. Malam menumpuk angin yang ramai waktu itu, merasaku kedinginan tanpa aku memeluk jaketku sendiri. Kedinginan memaksa lagi untuk terus mengingat wajah serimu dengan kerut keningmu membuatku tak rasa melawan kedinginan.  Â
Senja yang begitu naif menghanyutkan ekspresi-ekspresi sendu pada hari ini. Memiliki ribuan bola mata yang terpasang pada sudut-sudut pojok kota. Tidak begitu menghiasi orang-orang yang sedang dalam pelukanNya.
      Bagaimana aku bisa mengingat menunggunmu, sedangkan disini aku hanya berteman sepi beraroma kopi manis memaksa deretan darahku mengalir deras menyukai tubuhku. Setelah sebal menggulatiku seperti rayap menggrogoti makanannya tanpa ampun. Memaki-maki rindu yang tak mau menyalahkan kebenarannya membuatku menikmati gusar meski merasakan dusta.
Hanya aku, senja dan secangkir cappuccino membuatku betah disini. Mengingat rindumu yang tak kunjung datang menemaniku atas dasarnya. Mengais rintihan asa dan mengaduk semua rasa bertumpuk menjadikan sebuah tumpukan penantian. Hari itu ataupun hari ini sama saja. sama-sama menunggu tapi tak saling tau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H