"Panas yah? tapi kok heboh banget, kan udah biasa dan apalagi ada AC. Dingin banget si, hujan mulu bikin banjir dimana-mana, gimana sih pemerintah? Eh tapi kok malah nyalahin pemerintah doang, kan masih sering buang sampah sembarangan atau kemana-mana masih pakai kendaraan pribadi padahal deket banget lho. Es kutub mencair biarin aja kan? siapa yang butuh bongkahan-bongkahan es gede-gede. Toh kalau permukaan air laut naik ke daratan, tinggal berenang. Simple kan."
Kalimat-kalimat di atas hanya segelintir uneg-uneg di kepala saya. Belum lagi dengan uneg-uneg para korban yang merasakan dampaknya secara langsung akibat perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Isu krisis lingkungan dan perubahan iklim merupakan krisis sosial yang sedang dihadapkan kepada kita mengenai turunnya kepekaan sosial terhadap pengaruh keselamatan masyarakat dan ruang lingkup hidupnya. Bumi semakin rapuh akibat aktivitas manusia dan kebijakan pembangunan yang tidak menimbang akibatnya.Â
Isu ini seharusnya mendapat perhatian besar selain isu politik dan sosial lainnya karena dampaknya yang besar secara global bukan lagi lingkup satu negara. Hal ini dikarenakan cuaca yang tidak menentu, kadang panas terlalu menyengat, hujan yang tiba-tiba disertai badai, air laut yang kian hari semakin tinggi terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Persoalan krisis iklim adalah tanggung jawab bersama, tidak pandang jabatan, kelas bawah atau atas, semuanya memiliki andil dalam mengurangi dampak perubahan iklim yang ekstream.Â
Materialis, kapitalis, dan hedonis merupakan hasil cara pandang pembangunan saat ini yang menimbulkan perilaku eksploitatif, destruktif, dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan. Orientasi manusia modern menjadi salah satu pengaruh besar yang andil dalam kerusakan lingkungan saat ini. Bisa diambil contoh, mata air di Indonesia banyak dieksploitasi perusahaan swasta untuk memproduksi air mineral kemasan plastik.Â
Padahal menurut data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Indonesia menjadi negara penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah China. Berjuta-juta ton dihasilkan setiap tahunnya dan menjadi negara pengimpor limbah plastik, padahal sistem daur ulang Indonesia masih buruk dan infrastruktur pengelolaannya masih minim. Alhasil dengan negara kepulauan yang 70% nya laut, sampah-sampah itu sebagian besar berakhir ke laut. Lantas bagaimana dengan pemberitaan isu ini? masih minim juga diangkat oleh media nasional.Â
Pemberitaan isu lingkungan justru melimpah di media alternatif dari pada media resmi nasional. Arus informasi peristiwa terbaru mengenai isu lingkungan bisa dicari dengan membuka sosial media yang terfokus pada isu ini. Masyarakat dihadapkan dengan teknologi yang semakin canggih sehingga informasi yang valid dan simpang siur bisa menyatu jika tidak bijak dalam pencarian informasi. Di media sosial ada Greenpeaceid, Enter Nusantara, Bicara Udara, dan komunitas non pemerintah lainnya yang digerakkan oleh rakyat peduli lingkungan. Dengan gencar mereka menyuarakan aspirasi masyarakat, isu lingkungan, dan bahkan pelanggaran HAM yang dilakukan oknum kepada mereka yang peduli lingkungan dan mereka yang mempertahankan haknya.Â
Peran media penting dalam pemberitaan mengenai isu lingkungan, apalagi kemarin ada COP29 (Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa) di Azerbaijan dan INC-5 (Plastics Treaty) di Busan, Korea Selatan, kalau aktif dalam pemberitaan isu lingkungan pasti tau tujuan dari kedua konferensi tersebut dan hasil dari konferensinya. Tapi kalau orang awam yang tidak mengenal konferensi itu, bagaimana tau mengenai update keadaan iklim saat ini kalau pemberitaan di media nasional yang masih sedikit.Â
Isu lingkungan seringkali muncul saat ada pemilihan kepala daerah dan presiden. Ketika janji-janji manis dilontarkan kepada publik, disaat itulah pemberitaan muncul. Ada benarnya "No Viral, No Justice", teman-teman kita yang sedang berjuang mempertahankan rumah, tanah, serta haknya, jarang muncul di berita jika tidak menimbulkan kontroversi dan tidak viral di sosial media. Slogan "No Viral, No Justice" kini digunakan sebagai upaya mencapai keadilan yang ditentukan oleh kekuatan netizen terhadap perkara yang belum juga atau bahkan tidak mendapat keadilan dari penegak hukum.Â
Fenomena ini menjadi gambaran miris peran media massa dalam keberpihakan pada kebenaran. Media massa seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Beberapa tahun belakangan ini, ada banyak kasus yang melibatkan masyarakat melawan pemerintah demi tanah dan hak mereka. Tapi, pemberitaan relatif terbatas untuk menyuarakan masyarakat yang terdampak kebijakan tidak bertanggung jawab.Â
Dibalik pemberitaan yang minim, tantangan jurnalis lingkungan lagi dan lagi perseturuan dengan pihak penegak hukum. Dalam data UNESCO tahun 2024, sebanyak 749 wartawan lingkungan hidup menghadapi intimidasi dan kekerasan dalam 15 tahun terakhir, dan 44 wartawan dibunuh antara tahun 2009 dan 2023, hanya lima yang dihukum. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendata sebanyak 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media pada tahun 2023, dan 15 jurnalis Indonesia diintimidasi karena meliput isu lingkungan hidup.Â
Penguatan hukum yang melindungi jurnalis dan media perlu ditingkatkan, sebab dari mana lagi masyarakat mendapat informasi yang valid kalau bukan dari media massa. Laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mencatat pada tahun 2023 ada 87 serangan terhadap jurnalis, media, dan narasumbernya sendiri, 126 individu dan organisasi turut menjadi korban. Padahal di UU No. 40 Tahun 1999 menyatakan kebebasan pers di Indonesia. Tapi, kebebasan pers belum sepenuhnya bebas dari intimidasi dan kekerasan.Â