Kamar ini sungguh bau. Entah kata apa yang tepat untuk dapat memberikan gambaran yang tepat untuk bau seperti ini. Pesing, pengap, lembab, amis, segala macam bau tercampur sudah. Aku terpasung di kamar ini. Beruntung mbah Rois dan mbah Parno, teman sekamarku, masih bisa keluar melihat matahari.
Ini tahun kelima aku terdampar di panti jompo sialan ini. Sama sialannya buat setan yang menghilangkan hati nurani anak kesayanganku. Tepat usiaku 70 tahun, panti sialan ini menjadi penjara bagiku.
Oh ya, anda tahu, berapa kali anak kesayanganku itu menjengukku di panti sialan ini? Dua kali saja. Pertama kali, sebulan setelah aku merasakan penderitaan jiwa berada di panti. Dia membawa makanan khusus untuk orang jompo peyot seperti aku. Dikiranya aku senang, padahal dalam hatiku teruntai doa untuk melaknat anak seperti itu, untungnya doa itu tak terucap walau dalam lirih.
Kali kedua kemarin. Itupun karena kata berita yang entah dia melihat atau membaca media mana, yang mengabarkan panti jompo sialan ini begitu memprihatinkan. Hey, aku mendengar komentar anak kesayanganku tentang panti ini. Dia menyalahkan pengelola panti yang tidak bertanggung jawab. Menyalahkan pemerintah yang tak memperhatikan nasib panti jompo dan penghuninya. Menyesalkan mengapa hal ini bisa terjadi. Hhhmmmm.... sebatas itu saja. Tak ku dengar dia mengeluarkan seratus perak untuk menyumbang panti ini.
Huh... entah aku harus mengatakan apa lagi. Apakah aku harus menuliskan cerita tentang bagaimana dia dilahirkan dari rahim almarhum istriku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H