"Hal yang penting dalam pemilihan adalah uang dan perasaan. Saya bermaksud menyerang hanya dengan dua senjata itu," kata Kazu Fukuzawa dalam After the Banquet (2001).
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang minat bacanya hanya 0,0001%, saya bukan maniak buku. Sebab itu, saya sebelumnya tidak tahu siapa Yukio Mishima, penulis buku After the Banquet, yang baru selesai saya baca.
Ini adalah buku pertama yang saya selesaikan di tahun 2024. Saya tidak punya target berapa banyak buku yang akan saya baca selama setahun ke depan. Kalau punya duit, saya beli buku dan membacanya. Kalau tidak punya duit, ya mungkin mengulang membaca buku lama.
Buku After the Banquet ini saya lihat di sebuah toko di lokapasar. Saya membelinya bukan karena ingin tahu, tapi karena di toko itu ada paket buku murah.
Bahan Bakar Kendaraan Politik
Di tengah atmosfer tahun politik yang kian menghangat, saya ingin membaca novel yang tak menyinggung politik. Tapi justru After the Banquet, meski tak dominan, meyeret saya memasuki atmosfer yang sebenarnya ingin saya hindari.
Novel mengisahkan tokoh utama Kazu Fuzukawa, perempuan berkarakter kuat, keras kepala, teguh, ambisius, dan masih mempesona meski telah paruh baya. Dia memiliki restoran bernama Setsugoan yang kerap dikunjungi orang-orang penting seperti para pejabat.
Sudah lama waktu berlalu sejak ia dan sang cinta berhenti berkawan (2001:5). Tapi, pertemuannya dengan Yuken Noguchi, mantan diplomat yang makan bersama dengan rekan-rekan pensiunnya, membuat cinta itu kembali mengetuk hatinya.
Noguchi berasal dari Partai Radikal dan berpandangan sosialisme. Lelaki ini dari keluarga terhormat, teguh pendirian, keras kepala, berkarakter kuat dan idealis. Dia oposisi karena pemerintahan dikuasai oleh Partai Konservatrif.
Asmara kemudian berkembang antara Kazu dan Noguchi.