Setelah beberapa hari tertunda catatan ttg konser The Ragazze Quintet ini akhirnya bisa dirampungkan dg berbagai pemangkasan informasi karena pilihan tema tulisan, berkurangnya memori dlm menyimpan informasi pd saat konser terjadi, serta kemalasan saya dlm mencatat segera informasi & reportase dr kegiatan ini. Utk itu detail informasinya, saya persilakan anda utk menanyakannya di comment yg tersefia dlm status ini karena pd bagian terakhir ini saya akan fokus pd apa yg terjadi pd saat "master class" bersama personil The Ragazze Quintet berlangsung. Untuk anda yg blm sempat membaca tulisan sblmnya (bag. 1 & bag. 2) saya persilakan utk membuka tautan ini: https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10203900021594991&id=1054879068&set=a.2011797288636.2106684.1054879068 dan https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10203893588474167&id=1054879068&set=a.2011797288636.2106684.1054879068&source=56&ref=bookmark.
Di bag. 2, saya mengakhiri catatan dg mengatakan bahwa "yg paling penting dr semua itu [yakni pd saat konser berlangsung] adalah keyakinan pemain atas peran yg dimainkan sesuai dg porsinya." Kalimat ini memang butuh penjelasan lbh lanjut sekaligus menjadi pintu masuk ke catatan selanjutnya ttg apa yg menarik selama master class berlangsung pd pagi hari sblm konsernya digelar pd malam harinya. Saya mencoba memahami konser itu dg pendekatan seni pertunjukan yg sedikit saya pahami, yakni teater.Â
Dan saya akan kembali menjelaskan kalimat "keyakinan pemain atas perannya" dg sedikit pendekatan seni peran yg saya pahami. Pendekatan ini dipakai dg pertimbangan bahwa konser musik adalah bagian dr seni pertunjukan yg bukan sekedar utk mengapresiasi musiknya saja tapi juga melibatkan laku pemain ketika ia memainkan komposisi-komposisi pilihannya. Ada motif "laku" (akting) disana yg ditafsirkan berdasar pd motif-motif musikal dlm komposisi tsb, yakni dg cara seperti apa ia memainkannya (teknik) dan mengisinya dg rasa dan kadar emosi yg tepat (interpretasi, dinamika, penghayatan). Dgn demikian audiens turut merasakan "getaran emosi" yg dihadirkan pemain di atas panggung. Semoga kalimat terakhir itu tidak terasa lebay yah. :D
Stanilavsky, seorang penggagas akting realisme, memberi gambaran yg menarik ttg "keyakinan" ini. Ia mengambil contoh seorang tokoh tukang mancing dlm cerpen Anton Chekov (lupa lagi judulnya) yg mencopot mur di rel kereta api utk pemberat tali pancingnya. Petugas kereta api memergoki dan menangkapnya. Di pengadilan, hakim memutuskan bahwa ia bersalah karena perbuatannya melanggar hukum. Argumen hukumnya jelas: perbuatannya membahayakan keselamatan jiwa para penumpang kereta api & merugikan negara.Â
Pemancing itu tdk terima dg tuduhan hakim. Ia kesal karena "cuma" mengambil mur satu saja buat mancing kok jadi persoalan yg rumit sekali. Dalam sudut pandangnya, ia tdk melihat keharusan apapun utk mengaitkan mur dg kaidah hukum atau peran negara dibalik mur tsb. Toh ia bisa jadi sdh berkali-kali mengambil mur kereta api dan blm pernah terjadi kecelakaan apapun dan negara tak dibangkrutkan karenanya. Seseorang yg memerankan tokoh pemancing ini, jika cerita ini digarap menjadi sebuah pementasan teater, harus meyakini alasan-alasan itu sehingga moti-motif laku akan muncul dr keyakinan itu.Â
Ia hanya mengambil mur itu utk keperluan memancingnya saja. Ia tdk perlu mempelajari atau peduli dg persoalan hukum atau konsep keselamatan jiwa atau berbagai penanda yg menjelaskan itu semua. Ia hrs ikhlas dan yakin bahwa ia tdk perlu tahu persoalan2 itu. Ia hrs meyakinkan penonton/audiens bahwa ia memang pemancing, bukan seseorang tau hukum tapi pura-pura menjadi pemancing.Â
Ia tdk lugu atau bodoh. Itu adalah label yg diberikan orang lain/penonton atas lakunya di atas panggung. Dari keyakinan itulah seseorang yg memerankan si pemancing ini menurunkan ke dalam latihan-latihan yg lbh teknis yg berkaitan dg ilmu akting. Lalu bagaimana dg seseorang yg memerankan hakim? Hakim tentu saja memiliki sudut pandang yg berbeda dg pemancing itu. Ia hrs memiliki pandangan bahwa segala sesuatu tidak bisa lepas dr kaidah hukum. Dan pemeran hakim pun melakukan latihan-latihan yg sama seperti pemeran pemancing. Dari keyakinan pemancing dan hakim itulah, penonton dpt menafsir, menyaksikan berbagai macam keyakinan berinteraksi, menarik tema dan mengaitkannya dg berbagai macam konsep hukum dan kemanusiaan.
Kembali fokus catatan terakhir saya. Master class ini diikuti oleh teman-teman dr bbrp perguruan tinggi di bdg (ITB, UNPAS, STT Telkom). Ah seharusnya saya terlibat pula. Tapi karena alasan tertentu, saya memilih utk jadi pemerhati saja :p. Mereka membentuk grup quintet juga, entah utk kepentingan master class saja atau sblmnya mereka memang sdh lama membentuk quintet ini, dan utk sesi ini mereka memainkan komposisi quintet "The Joke", karya Haydn. Cukup serius tampaknya mereka memainkan karya ini.Â
Tampak dari ekspresinya yg tak byk berubah hingga karya ini selesai dimainkan. Mata mereka terfokus pd lembaran partitur di hadapannya. Para personil The Ragazze Quintet yg "cantik-cantik berirama" ini menyimak permainan mereka. Sesekali mereka tertawa ketika ada beberapa frase yg dimainkan terdengar mengejutkan. Setelah selesai mempresentasikan karya itu dimulailah sesi interaksi. Mereka memulai perbincangan dg menanyakan apa yg dirasakan oleh tiap-tiap personil itu ketika mereka memainkan karya itu, apakah mereka bisa menarik suatu "cerita" dlm komposisi itu, apakah mereka bisa merasakan motif-motif bercanda yg hendak dihadirkan Haydn (karena judulnya memang "The Joke"), apakah mereka menikmati permainannya sendiri dan merasakan adanya interaksi/dialog antar instrumen yg dimainkannya. Pertanyaan-pertanyaan ini sgt menarik bagi saya.Â
Mereka tdk mempersoalkan lbh dulu ttg bagaimana seharusnya memainkan suatu karya berdasarkan periode jaman ketika karya itu dibuat, misalnya, atau bagaimana sebaiknya teknik yg dipakai utk memainkan karya itu. Banyak guru/dosen musik di Indonesia yg memiliki kapasitas yg sangat baik dlm menjabarkan hal-hal seperti itu. Tidak kalah dg mereka yg "asli dari barat" itu yg memang memiliki latar belakang budaya musiknya.Â
Tapi personil2 Ragazze ini memulai dg memperbincangkan seberapa jauh apresiasi dan penafsiran teman-teman yg memainkan karya itu, seberapa besar mereka merasakan dan meyakini permainan mereka sendiri. Ekspresi kemudian bukanlah menjadi sekedar sesuatu yg dibuat agar "tampak" menghayati peran tp memang digali berdasarkan motif-motif yg dibangun, dilatih, dan diperbincangkan. Seperti halnya keimanan, "buah" dr keyakinan mereka adalah audiens pun bisa turut merasakan dan memahami karya yg dimainkannya.