"Hai... orang Peneges janganlah lara!
Walaupun sang Onceswara
kalian temukan tak bernyawa.
Aku anugrahkan negeri ini atas kamu punya jasa,
sebatas aroma bangkai sang Onceswara".
Desa tua, Bali mula
Tenganan Pegringsingan
samar, kudengar mitosmu:
Mayadenawa, Raja Bedahulu
sakti nan berilmu.
Namun, dengki dan iri hati
melupa pada Hyang Widhi.
Ulahnya, amat menyiksa.
Dewata di Sugra jadi murka
turunkan Bhatara Indra
ke Mercapada.
Perang tanding tak terelakkan;
Dewa perang melumat garang
Mayadenawa yang durjana;
Gugur, simbah darah mengucur
teriring gelegar guntur
Lebur ...lebur...segala angkara.
Rakyat gembira,
gelar ritual "Asua Medayadnya".
Kurban suci, Onceswara punya kisah.
Onceswara ... Onceswara ... Onceswara ...
Onceswara, tiba-tiba menghilang,
menimbulkan risau bukan kepalang.
Ke barat laut menyusuri jejak, tiada hasil.
Ke timur laut mencari jejak, membuahkan hasil.
Sayang... Onceswara ketemu tak bernyawa.
Gundahnya membawa sabda,
sabda Bhatara Indra.
Apakah kau yakin dengan kami punya mitologi?
Jika hatimu masih sangsi,
lihatlah jejak-jejak prasasti suci.
Berwujud megalit-megalit,
terpancang di atas bukit:
Tengoklah ke utara;
"Kaki Dukun" merupa "Phallus" maha pemurah alaki-rabi memohon buah hati;
"Batu Taikik" dari isi perut Onceswara, menganugrahi kemakmuran jiwa raga;
"Batu Jaran", tonggak Onceswara melepas nafas terakhir.
Dan, melangkahlah ke barat desa, kan kau temukan "Penimbalan" dari jejak paha Onceswara
Tonggak ritual Teruna Nyoman, memulai akil-baligh
Diapit tiga bukit,
"Tengahan", Tenganan punya arti.
Kini, Â
Desa tua, Bali Aga
Tenganan Pegringsingan
Mengenang pada mitologi
Aneka ritual pun tersaji: "Usaba Sambah"
Para lelaki berteriak gagah
Bertelanjang dada, beradu perkasa
Dalam alunan tari tradisi "Magaret Pandan".
Keperkasaanmu, bau anyir tetes keringat bercampur darah
Mengundang bidadari desa bergelung kembang, berselempang "geringsing"
Melirik pandang ke medan perang
Tenganan punya tradisi.