Hakikat pembangunan nasional merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, baik fisik maupun mental. Pelaksanaan pembangunan mencakup semua aspek kehidupan bangsa, yaitu aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan secara berencana, menyeluruh, terarah, terpadu, bertahap dan berkelanjutan untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka untuk mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju.
Maraknya berbagai tindak kejahatan, kekerasan, bunuh diri, maupun bentuk-bentuk tindakan amoral lainnya yang terpapar di berbagai media cetak dan elektronik belakangan ini menandakan bahwa hakikat pembangunan nasional belumlah berimbang. Sepertinya ada ketimpangan antara pembangunan fisik dan pembangunan mental, sebagai salah satu penyebab berbagai tindakan tidak terpuji di atas.
Terbatasnya masa jabatan para pemimpin (dari pusat sampai ke daerah) yang maksimal hanya dua periode, seakan menjadi "jalan pintas" para pemimpin lebih mengedepankan pembangunan di sektor fisik karena hasilnya jelas dan cepat terlihat. Dengan cara seperti itu, para pemimpin tersebut akan kelihatan berhasil.Â
Sedangkan pembangunan di sektor mental, utamanya pendidikan investasinya besar dan hasilnya tidak akan terlihat secara instan, bahkan mungkin butuh waktu puluhan tahun. Tentu hal ini akan tidak menguntungkan dari sisi pencitraan sang pemimpin.Â
Padahal, sejatinya para pemimpin hendaklah benar-benar melaksanakan amanat dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Upaya untuk membangun mental adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu melalui pembangunan sektor pendidikan (formal maupun nonformal). Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No.20/2003 yang pada Pasal 3 disebutkan bahwa "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab".
Yang tidak kalah penting, perlu adanya terobosan yang visioner dari para pengambil kebijakan yang bisa mengajak dan menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psiko-sosial masyarakat maupun dunia pendidikan.
Karya sastra, bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung mereka memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra sampai mereka dewasa.
Dalam konteks demikian, sastra memiliki kontribusi penting dalam upaya melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral seperti yang diharapkan. Â Â Â Â Â Â Â Â Itu artinya, mau atau tidak, institusi pendidikan (formal maupun nonformal) harus memosisikan diri menjadi "benteng" utama apresiasi sastra melalui pengajaran yang dikelola secara tepat, serius, dan optimal, sehinggga berbagai tindak kejahatan, kekerasan, bunuh diri, ataupun tindakan amoral yang kerap terjadi belakangan ini setidaknya dapat kita redam, bahkan kita harapkan tidak terulang lagi.
Hal itu diakui oleh B.P. Situmorang (dalam Sarjono, 2001), yang mengatakan bahwa sastra perlu diajarkan agar mereka mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.Hal ini dapat memupuk jiwa estetis, jiwa keindahan, jiwa yang mengandung unsur-unsur moral (etika), untuk mengalihkan kenakalan remaja serta menyalurkannya ke arah yang lebih positif melalui apresiasi sastra. Â
Hal yang dikemukakan di atas, ternyata sangat relevan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang pada standar isi (Permendiknas Nomor 22/2006) nomor lima dan enam sebagai berikut: (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Pada sisi yang lain, sastra merupakan penggambaran kehidupan yang dituangkan melalui media tulisan. Melalui sastra, pola pikir seseorang dapat terpengaruh. Karena sastra merupakan salah satu kebudayaan, sedangkan salah satu unsur kebudayaan adalah sebagai sistem nilai.Â
Oleh karena itu, di dalam sebuah karya sastra tentu akan terdapat gambaran-gambaran yang merupakan sistem nilai. Nilai-nilai yang ada itu kemudian dianggap sebagai kaidah yang dipercaya kebenarannya, sehingga pola pikir seseorang dapat terbentuk melalui karya sastra.
Menurut pandangan Sugihastuti (2007) karya satra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya. Sebagai media, peran karya sastra sebagai media untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu, karya sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati dilingkungannya.
Sebagai hasil imajinatif, sastra juga berfungsi sebagai menambah pengalaman batin bagi para pembacanya. Sumardjo & Saini (1997) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Sastra menyajikan gambaran serta pembentuk karakter kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Kehidupan mencakup hubungan antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Karya sastra tentu mempunyai maksud-maksud tertentu. Karya sastra juga bisa disebut sebagai alat nasihat, pembelajaran karakter atau sikap, pendidikan, dan sebagainya.Â
Dengan membaca sastra, pembaca akan bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalah. Melalui sastra juga, pembaca diajak berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya.Â
Ruang yang tersedia dalam karya sastra itu membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Pribadi yang kritis dan bijaksana ini bisa terlahir karena pengalaman seseorang membaca sastra telah membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar serta berbagai manusia dengan beragam karakter. Sastra dalam banyak hal memberi peluang kepada pembaca untuk mengalami posisi orang lain, yang menjadikannya berempati kepada nasib dan situasi manusia lain.
Walaupuan hakikat karya sastra adalah rekaan, tetapi jelas karya sastra dikontruksi atas dasar kenyataan, dalam setiap karya sastra terkandung unsur-unsur tertentu yang merupakan fakta objektif.Â
Dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan: imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai. Melalui kegiatan apresiasi sastra, kecerdasan siswa dipupuk hampir dalam semua aspek. Apresiasi sastra melatih kecerdasan intelektual (IQ), misalnya pembaca dapat menggali nilai-nilai intrinsik dalam karya sastra, seperti tema, amanat, latar, tokoh, dan alur cerita. Juga mengembangkan kecerdasan emosional (EQ), misalnya sikap tangguh, berinisiatif serta optimis menghadapi persoalan hidup, dan sebagainya.
Hal ini dapat terjadi karena sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat dengan segala problem kehidupannya. Mempelajari sastra berarti mengenal beragam kehidupan beserta latar dan watak tokoh-tokohnya.Â
Membaca kisah manusia yang bahagia dan celaka, serta bagaimana seorang manusia harus bersikap ketika menghadapi masalah, akan menuntun siswa untuk memahami nilai-nilai kehidupan.Â
Sedangkan sastra dapat mengembangkan kecerdasan spiritual (SQ) tentu tak dapat pula kita mungkiri. Bukankah banyak kita temukan karya sastra yang bertema religius? Misalnya, sekedar contoh, puisi Padamu Jua (Amir Hamzah), cerpen Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), dan sebagainya. Karya sastra dengan tema-tema religius semacam ini akan menuntun kita lebih memahami hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Akhirnya, dengan belajar pada jejak sastra kita berharap maraknya berbagai tindak kejahatan, kekerasan, bunuh diri, maupun bentuk-bentuk tindak amoral lainnya bisa kita tanggulangi. Dan, institusi pendidikan (formal maupun nonformal) harus benar-benar mampu memosisikan diri menjadi filter utama pembelajaran apresiasi sastra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H