“Nak, hidup di dunia ini penuh kepalsuan. Penuh kejahatan. Kita mesti hidup di jalan-Nya, menjauhi manusia-manusia kafir di muka bumi yang akan terkena azabnya”. Doktrin yang selalu ditekankan orangtua keluarga yang terlihat zakinah itu kepada anak-anaknya. Mereka meyakini bahwa kehidupan di dunia ini adalah sebuah penderitaan karena dipenuhi orang-orang yang tidak seiman dengannya. Hidup sesuai dengan keyakinan-Nya barulah dipercaya sebagai mahkluk-mahkluk yang suci.
“Nak, hanya dengan membunuh orang-orang kafir itulah hidup kita akan damai. Kita harus membersihkannya dari muka bumi”, lanjut ayah anak itu dengan gaya yang sangat meyakinkan. Wajahnya bak malaikat, mendoktrin sang anak agar dia percaya akan keyakinan yang mereka percayai. “Dan di antara kaum kafir itu adalah polisi. Ya! Para polisi-polisi itu”, imbuhnya dengan berapi-api dan raut wajah penuh kebencian.
“Caranya bagaimana, Ayah? Bukankah para polisi itu memiliki senjata?” Tanya sang anak gadis dengan penuh keluguan. Wajah polos tanpa dosa itu nampak terheran-heran dengan rencana ayah-ibunya itu. Hatinya sedang gundah, antara percaya omongan ayahnya atau nasihat para gurunya di sekolah. Sebab dia masih ingat benar akan nasihat gurunya, “Nak, kita tidak boleh menebar kebencian antar sesama. Umat apa pun mereka, kita semua mahkluk ciptaan-Nya. Jadi, janganlah menyakitinya. Apalagi membunuhnya, karena itu dosa dan dilarang oleh ajaran agama apapun”. Nasihat bijak guru sekolahnya masih terngiang di telinga anak gadis itu. Hatinya semakin bimbang dan ragu.
“Nak, kenapa melamun?” Suara itu tiba-tiba menyentak lamunan si gadis kecil. Dia terkesyap dan menatap kembali wajah ayah dan ibunya yang duduk dan terus memperhatikannya. Sambil merapikan tempat duduknya, dia pun mengusap-ngusap wajahnya dengan jari-jemari tangannya yang lembut dan mungil itu.
Kembali ayahnya berujar, bak sabda Tuhan, “Nak kita harus berani menghadapi mereka. Ya, harus berani! Kita memiliki senjata yang jauh lebih hebat dari mereka”.
“Apa senjata kita, Ayah?” tanya sang anak dengan wajah penuh penasaran.
Sang ayah pun menjawab tegas, “Bom. Ayah punya bom, Nak”, imbuh sang ayah. Si ibu yang sedari tadi duduk-duduk saja, pun turut membenarkan pernyataan suaminya, sambil mengelus-elus kepala anak kesayangannya itu.
“Jangan ragu, Nak!” Imbuh sang ibu dengan nada mengiba. “Masih ingatkan pesan Ustad kebanggaan kita bahwa membunuh orang-orang kafir, termasuk polisi akan mengantar kita ke alam surgawi, dan kita akan bertemu dengan para bidadari yang engkau idolakan itu”, lanjut bundanya sambil terus mengelus kepala sang anak.
Mendengar cerita itu, sang anak jadi teringat dakwah Ustad kesayangannya yang memberinya cerita bahwa membunuh manusia-manusia kafir, termasuk para polisi adalah perbuatan suci yang membuat pelakunya kelak akan mendapatkan surga di alam sana dan akan dijemput oleh para bidadari-bidadari cantik. Ya, para bidadari cantik yang selalu dia idolakan seperti pada kisah film ‘Peri-Peri Kecil’ itu.
“Ya, Ayah, Ibu. Aku paham. Aku setuju dengan rencana Ayah dan Ibu”, gadis kecil berwajah imut itu pun berujar mantap. Sangat mantap menjawab ajakan ayah-ibunya, karena sejak kecil dia bermimpi bisa bertemu para bidadari belum terwujud. Sekaranglah saatnya, pikir gadis itu dengan tegas. Dia tidak lagi menghiraukan nasihat gurunya di sekolah. Dia pun siap menjemput bidadari dari Kahyangan itu.
Lengkap dengan segala perlengkapan, dengan mengendarai sepeda motor mereka bertiga meluncur memburu mahkluk-mahkluk kafir seperti keyakinan mereka, sebagai tangga menuju rumah surga, rumahnya kaum bidadari.