Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kasus TBC Meningkat Signifikan, Hanya Karena Efek Pandemi?

30 Juli 2024   23:55 Diperbarui: 30 Juli 2024   23:58 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Alur juknis diagnosis TB Indonesia[10]

Penulis: Rianof Sitompul

       Indonesia memiliki janji untuk eliminasi kasus tuberculosis (TBC) pada tahun 2030. Akan tetapi, sepertinya kita harus lebih realistis jika melihat perkembangan TBC di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Estimasi Jumlah Kasus TBC di Indonesia telah meningkat pada 2023 ini menjadi 1.060.000 kasus. Pada tahun 2020, estimasi jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 824.000 dan 969.000 kasus di 2021. Sedangkan untuk jumlah kasus yang ditemukan, tercatat sebanyak 816.297 kasus pada tahun 2023.  Angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun 2021 yang mencatat 443.235 kasus dan tahun 2022 dengan 724.309 kasus. Peningkatan kasus tuberculosis Indonesia juga 50% lebih tinggi daripada peningkatan rata-rata secara global. Pemerintah baru dapat menemukan sebanyak 77% dari total estimasi kasus dengan 85% dari kasus ditemukan tersebut baru dapat melakukan terapi. Selain itu, 15% pasien yang melakukan terapi mengalami putus pengobatan. Pasien yang mengalami putus pengobatan ini berisiko untuk menularkan penyakitnya sehingga menambah kasus yang belum terlacak. Hal tersebut berkontribusi dalam sulitnya pelacakan dan pemutusan rantai penyebaran TBC di Indonesia.[1,2,3]

       Berdasarkan data peningkatan TBC yang cukup signifikan ini, komitmen Indonesia untuk eliminasi TBC tahun 2030 (Target: Kasus TBC menjadi 65/100.000 penduduk, Kasus pada 2022: 354/100.000 Penduduk) rasanya sulit untuk dicapai meskipun pemerintah mengklaim bahwa peningkatan ini dikarenakan oleh cepat dan masifnya sistem deteksi dan pelaporan. Justru, pada pertengahan tahun 2024, penemuan kasus baru hanya mencapai 26% dari total estimasi kasus TBC sehingga jauh dibawah target pemerintah yaitu 37% pada bulan mei 2024. Kasus TBC pada anak juga telah meningkat sebanyak tiga kali lipat. Hal ini dapat diperkirakan karena terdapat peningkatan penularan dari dewasa ke anak pada masa COVID-19 karena adanya karantina di rumah. Masa pandemi COVID-19 juga dapat memperlambat deteksi TBC sehingga rantai penularannya dapat meluas. Akan tetapi, masalah peningkatan TBC yang signifikan ini  merupakan hasil dari masalah yang lebih komprehensif daripada hanya akibat COVID-19 saja. [1,2,3]

Deteksi Kasus Tidak Mencapai Target

       Seperti yang disebutkan sebelumnya, terdapat gap penemuan kasus (terdapat kasus yang belum ditemukan) pada pertengahan tahun 2024 yaitu hanya 26% kasus yang ditemukan dari estimasi kasus. Di tahun-tahun sebelumnya, gap penemuan kasus juga terjadi, yaitu hanya 68% kasus ditemukan dari estimasi kasus di 2022, lalu 77% di 2023 dari total estimasi kasus. Gap yang terjadi secara bertahun-tahun ini memberikan estimasi penularan TBC meningkat karena tidak terlacaknya kasus yang belum ditemukan. Penemuan kasus yang menurun pada 2024 ini bahkan bisa menyebabkan penularan yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan strategi dan kualitas pelacakan TBC. Hal itu bisa dilakukan dengan mengikuti standar WHO.[3,4]

       Salah satu cara mengidentifikasi terduga TBC adalah dengan menggunakan screening risiko TBC secara sistematik. Kelompok yang memiliki risiko adalah yang pernah melakukan kontak dengan pasien TB, terpapar polusi,mengalami gangguan nutrisi (cukup umum di Indonesia), pelemahan sistem imun (pasien AIDS atau terinfeksi HIV), dan yang sering dilupakan adalah orang yang merokok. Jika melihat India yang sukses menurunkan angka kematian, Pemerintah India menegaskan lima faktor risiko yang menjadi tantangan dalam pengendalian TBC mereka, yaitu kurang gizi, HIV, diabetes, alkohol, dan kebiasaan merokok. Kelompok orang di faktor risiko ini juga diberikan bantuan oleh Pemerintah India, seperti contohnya memberikan asupan nutrisi bagi yang kekurangan gizi.[4,5,6,7]

       Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu menentukan kelompok faktor risiko yang besar di Indonesia (tidak hanya yang terduga kontak TBC saja) dan memulai screening TBC sistematis ataupun diberi bantuan khusus sesuai keadaannya untuk mencegah penularan. Lalu, sebagai screening dan identifikasi faktor risiko, x-ray dada pada pasien terduga TBC atau berisiko bisa dilakukan.[4] Pada tahun 2022, capaian skrining  gejala dan x-ray hanya mencapai 68.788 peserta (52,5%) dari total target 131.139 orang.[7] Hal ini disebabkan karena keterbatasan akses tempat, sosialisasi yang kurang, dan panitia program berperan kurang maksimal.[7]

       Pemerintah lalu harus menggalakkan peningkatan akses tes Tuberkulosis di RS dan Puskesmas seluruh Indonesia, khususnya pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM). Jika hanya mengandalkan pemeriksaan konvensional seperti pemeriksaan mikroskopis dan tes kepekaan obat, pemeriksaan TBC bisa berjalan tidak efektif dan efisien sehingga dapat merugikan pasien yang melaksanakannya. Hal ini dikarenakan pemeriksaan mikroskopis sensitivitasnya rendah dan tidak menguji kepekaan, lalu uji biak untuk uji kepekaan dinilai bersifat lama. Sedangkan itu, TCM memiliki sensitivitas lebih tinggi, cepat, menguji kepekaan dengan obat, dan kualitas yang lebih bagus.[8] Akan tetapi, walaupun ketersediaan TCM di Puskesmas sudah cukup menyeluruh, beberapa RS Swasta tidak mempunyai TCM sehingga harus merujuk dan berakhir menciptakan delay (perlambatan).[4] Pemerintah perlu meningkatkan keterlibatan dan fasilitas RS Swasta karena berdasarkan penelitian Patient Pathway Analysis pada 2017 menyebutkan bahwa 74% pasien penderita TBC mencari perawatan awal di fasilitas kesehatan swasta.[9]

Alur Juknis Diagnosis TB Indonesia Tidak Sesuai di Lapangan

 Alur juknis Diagnosis TB Indonesia di lapangan seringkali berjalan tidak mulus. Terdapat berbagai keluhan dan contoh dari ketidakcocokan alur dengan variasi kasus yang terjadi di lapangan.[4]

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun