Penulis: Kevin Tadeus Simanjuntak
Beberapa waktu terakhir, publik digemparkan dengan kasus kematian seorang anak berusia tujuh tahun akibat operasi amandel. Menduga adanya kelalaian dari tenaga kesehatan yang menangani, orang tua dari anak tersebut melaporkan delapan dokter ke pihak kepolisian.[2] Menanggapi peristiwa tersebut, sebagian masyarakat meluapkan ketidaksukaannya terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat di beberapa kolom komentar instagram media jurnalistik, salah satunya BeritaSatu (lihat Gambar 2).[3]
Semoga kasus ini dapat segera menemukan titik terang (entah itu malpraktik atau tidak) dan semoga keluarga dan sanak kerabat yang ditinggalkan bisa mendapatkan ketenangan.
Hal yang ingin penulis soroti dari kasus ini ialah respons publik yang langsung mengecap peristiwa yang terjadi sebagai malpraktik. Padahal, investigasi masih dalam proses dan belum ditemukan titik terang terkait kasus tersebut. Penggemparan kasus ini beserta kasus dugaan malpraktik lain seperti kasus meninggalnya balita yang disuntik, kasus Ayu Tria, dll menjadi catatan kelam.[4] Stigma terhadap tenaga kesehatan Indonesia yang terus memburuk ini ditakutkan dapat berujung pada fenomena defensive medicine.
Defensive Medicine: Mengapa Perlu Ada Perlindungan yang Jelas
Defensive medicine adalah fenomena pemesanan tes-tes, prosedur, kunjungan, rujukan, atau menghindari pasien/prosedur dengan risiko tinggi dengan tujuan menghindari risiko pertanggungjawaban malpraktik.[5] Strategi pemberian tes dan perawatan berlebih diberikan meskipun kurang atau bahkan tidak bermanfaat bagi pasien.[6]
Fenomena ini nyatanya terjadi secara global. Sebuah systematic review oleh Zheng et al. pada tahun 2023 terhadap 23 negara menemukan bahwa prevalensi total defensive medicine adalah sebesar 75,8%. Prevalensinya lebih tinggi di negara lower middle income, yaitu sekitar 78,2%-99,8%.[7] Di Italia, defensive medicine diperparah dengan sikap media massa yang kerap hanya mengangkat kasus-kasus ekstrem dan menggemparkannya seolah kasus tersebut merepresentasikan kondisi pelayanan di seluruh rumah sakit Italia. Melalui sebuah survei, sebanyak 80,4% dokter di Italia yang mengaku melakukan tindakan defensive medicine mengungkapkan alasan mereka adalah karena takut dituntut dengan alasan malpraktik.[8] Tren serupa ditunjukkan di negeri Paman Sam dengan angka 93% dokter yang mengaku melakukan defensive medicine.[9]
Dampak dari praktik defensive medicine bisa bervariasi tergantung pada situasi. Di satu sisi, fenomena ini berujung pada dilakukannya tes diagnostik, prosedur invasif, pengobatan, ataupun perawatan inap yang tidak perlu. Padahal, tes diagnostik invasif yang tidak diperlukan justru menjadi risiko serta biaya tambahan bagi pasien. Di sisi lain, praktik ini berimbas pada tidak dilakukannya prosedur berisiko pada pasien yang seharusnya bisa mendapatkan manfaat dari prosedur berisiko tersebut. Misalnya, seorang dokter yang takut mengambil risiko untuk melakukan suatu prosedur yang sebenarnya perlu dilakukan terhadap seorang pasien. Alhasil, baik dari sisi positif maupun negatifnya, praktik ini meningkatkan biaya pelayanan kesehatan serta berpotensi menurunkan kualitas pelayanan yang ada.[10]
Kesehatan bukanlah suatu hal yang hitam dan putih di atas protokol dan checklist. Kesehatan bukan ilmu pengetahuan yang sempurna, melainkan sebuah seni yang tidak sempurna--tindakan yang sama pada pasien yang berbeda bisa berujung pada hasil yang berbeda pula. Dalam kehidupan modern kini, ekspektasi masyarakat terhadap keberhasilan suatu pengobatan semakin meningkat. Tindakan medis yang tidak berujung sesuai harapan kerap kali dianggap sebagai suatu kesalahan atau malpraktik.[11]
Maka, untuk mereduksi defensive medicine yang sudah merajalela secara global, diperlukan sebuah perlindungan yang jelas bagi tenaga kesehatan di Indonesia dengan tetap mengedepankan patient safety.
Proses Penegakan Disiplin dan Hukum berdasarkan UU Kesehatan
Penegakan disiplin tenaga medis dan tenaga kesehatan tercantum ke dalam bagian kesebelas dari UU No. 17 tahun 2023, tepatnya pada pasal 304 sampai 310. Dalam alur tersebut dapat terlihat bahwa terdapat komponen baru dalam prosesi pemutusan sengketa dalam bidang kesehatan, yaitu sosok "Majelis" yang akan dibentuk oleh menteri kesehatan. Majelis tersebut bisa bersifat permanen atau ad hoc.[13] Majelis ini belum terlibat dalam proses kasus kematian anak akibat operasi amandel karena masih belum terbentuk hingga kini.