Tingginya Tingkat Kematian Tenaga Kesehatan di Indonesia
Tidak sedikit dokter dan tenaga kesehatan (nakes) lainnya menjadi korban meninggal dunia selama pandemi COVID-19. Juru Bicara dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru Satuan Tugas Penanganan COVID-19, dr. Reisa Broto Asmoro, menyebut sebanyak 89 tenaga kesehatan dinyatakan meninggal dunia karena positif dan suspek COVID-19 per 13 Juli 2020, yaitu 60 dokter, 23 perawat, dan 6 dokter gigi.
Rasio kematian petugas medis di Indonesia terbilang cukup tinggi, yaitu 2,4%. Angka tersebut terbilang, jauh di atas negara lain, seperti Amerika Serikat dengan 0,37%. [1] Ketua terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dedi Supratman, menuturkan bahwa persentase kematian nakes di Indonesia menempati posisi ketiga tertinggi di dunia berdasarkan data yang dihimpun Pandemic Talks.
Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada di bawah Rusia (4,7%) dan Mesir (2,8%). Namun, IAKMI mencatat jumlah kematian nakes akibat COVID-19 total bertambah menjadi 153 kasus per 1 Agustus 2020 menurut Dedi. [2]Â
Apa Penyebabnya?
Penyebab pasti tingginya angka kematian nakes masih menjadi perdebatan umum. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyebutkan bahwa salah satu penyebab tingginya angka kematian nakes adalah kelelahan dan stres dalam menangani pasien positif COVID-19 hingga akhirnya ikut terpapar. Namun, pernyataan Mahfud dibantah oleh Sekretaris Tim Audit dan Advokasi Kematian Dokter Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Dr. dr. Mahlil Ruby, M.Kes.
Menurut Beliau, hubungan kelelahan dan stres saat menangani pasien dengan tingginya angka kematian merupakan hubungan tidak langsung. Namun, Beliau membenarkan bahwa banyak dokter yang kelelahan saat menangani pasien COVID-19 dan butuh banyak istirahat. Selain itu, para dokter juga bekerja di lingkungan yang sangat rentan terpapar COVID-19 sehingga mungkin menimbulkan stres saat bekerja. Beliau juga memaparkan bahwa kedua faktor tersebut dapat menurunkan imunitas tubuh dokter. [3]
Faktor lain yang disoroti adalah kesiapan rumah sakit. dr. Reisa Broto Asmoro menyebutkan walaupun terdapat 1.300 rumah sakit yang menangani COVID-19, tidak semuanya siap. Menurut Beliau, banyak rumah sakit yang tidak memiliki alat pelindung diri (APD) yang memadai. [1] Dr. dr. Mahlil Ruby, M.Kes memaparkan bahwa hal tersebut diperparah dengan masih banyaknya manajemen rumah sakit yang belum melakukan pengurangan jumlah pasien.
Beliau kemudian melanjutkan bahwa perlunya rumah sakit untuk memperketat skrining pasien yang datang ke fasilitas kesehatan dan juga membatasi jam dan jumlah pasien rawat jalan. Salah satu metode yang disarankan Beliau untuk diterapkan di rumah sakit-rumah sakit adalah dengan membuat kebijakan bagi pasien kasus ringan untuk cukup konsultasi online dan mengirimkan obat ke rumah pasien. [3]
Kemudian, epidemiolog Dicky Budiman menyebutkan bahwa 40% kematian pada dokter terjadi pada dokter yang bertugas di bagian gawat darurat dan dokter umum, berdasarkan sebuah studi. Menurut Dicky, hal ini juga terjadi di Indonesia di mana dokter dan tenaga kesehatan yang tidak ditugaskan menangani pasien COVID-19 tidak dibekali APD selengkap dokter dan tenaga kesehatan yang menangani COVID-19. Hal itu sangat disayangkan mengingat banyak kasus positif COVID-19 yang belum terkonfirmasi atau tidak menunjukkan gejala melakukan pemeriksaan dengan dokter yang tidak ditugaskan menangani COVID-19. [4]
Faktor-faktor tersebut diperparah dengan pemerintah Indonesia yang masih melupakan satu dari dua indikator penting dalam menangani pandemi COVID-19 menurut Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto. Beliau mengapresiasi usaha pemerintah untuk mencegah penyebaran, tetapi menurutnya pemerintah juga perlu mencegah korban meninggal dunia. Beliau juga menyoroti transparansi pemerintah mengenai angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia. [2]