Sudah menjadi informasi umum bahwa Pilpres berikutnya akan dilaksanakan April 2019 mendatang. Sudah menjadi hal yang lumrah pula, adanya perbedaan pendapat mengenai siapa sosok yang pantas memimpin bangsa ini selama lima tahun berikutnya. Kian hari perbedaan pendapat ini semakin jelas terlihat.
Sebagian rakyat menganggap bahwa kepemimpinan sekarang ini telah menghilangkan nilai-nilai Pancasila dan demokrasi dalam penyelanggaraan pemerintahan, ditambah pula kesulitan ekonomi yang semakin menjadi, penegakan hukum yang buruk, perseteruan berdasarkan SARA, dan masih banyak lagi.
Hal ini membuat tercetusnya satu gerakan yang sekarang ini sangat ramai bergema di seluruh negeri, yaitu tagar #2019GantiPresiden. Gerakan ini memang cukup ramai dibicarakan di masyarakat dan cukup menuai kontroversi terkait persebaran atribut-atribut gerakan ini yang terlihat di beberapa tempat.
Tagar ini dicetuskan salah satunya oleh Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera. Secara sekilas, tagar ini tampak menyiratkan 'perlawanan' terhadap kepemimpinan Jokowi pada pilpres selanjutnya. Akan tetapi, Mardani  Ali menyatakan bahwa gerakan tersebut tidak membicarakan mengenai calon presiden mana pun, melainkan hanya bentuk gerakan pressure group dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa pada tahun 2019 akan diselenggarakan pesta rakyat di mana rakyat berhak untuk melakukan usaha dalam mengganti presiden secara legal dan konstitusional pada pilpres mendatang.
Beliau mengatakan bahwa sosok yang pantas menjadi penerus tonggak kepemimpinan bangsa  ini adalah sosok yang dapat mewujudkan nilai-nilai pancasila di negeri ini. Mardani beranggapan bahwa penegakan nilai pancasila di bawah pemerintahan Jokowi sekarang ini hanyalah suatu bentuk lip service atau omongan belaka.
Penyampaian aspirasi pergantian presiden ini memang telah cukup meluas ke berbagai penjuru negeri. Persebaran gerakan ini ramai didukung oleh adanya beragam atribut-atribut seperti, kaos, gelang, dan topi dengan bertuliskan #2019GantiPresiden. Pemakaian atribut ini mulai menjadi bahan pembicaraan di masyarakat, terutama setelah atribut-atribut ini ditemukan 'berkeliaran'di berbagai tempat-tempat yang seharusnya bebas politik seperti, hari bebas berkendara (Car Free Day), tempat pengajian dan lain sebagainya.
Sebagian masyarakat yang kontra terhadap adanya pemakaian atribut-atribut ini menganggap bahwa tidak sepatutnya dilakukan di tempat-tempat public seperti pada Car Free Day atau tempat beribadah di mana tempat-tempat tersebut seharusnnya bebas dari pengaruh kepentingan politik apapun.
Di sisi lain, masyarakat pendukung gerakan tersebut menyatakan bahwa pemakain atribut pada tempat-tempat tersebut bukan merupakan suatu kampanye politik, melainkan suatu gerakan yang berlandaskan opini pribadi. Gerakan #2019GantiPresiden tidak menyebutkan satu paslon spesifik yang mereka dukung, melainkan hanya menyerukan pergantian presiden di tahun baru mendatang---sehingga bukan dianggap sebagai kampanye politik.
Secara logika pun, secara harfiah, kata #2019GantiPresiden merupakan frasa retorikal yang merupakan suatu kepastian bahwa 2019 akan menjadi tahun pergantian tonggak kepemimpinan berdasarkan adanya pilpres setiap lima tahun sekali.
Dengan perdebatan yang berkepanjangan mengenai gerakan #2019GantiPresiden dengan atribut-atributnya, atau pun gerakan-gerakan lain yang 'melawan'#2019GantiPresiden seperti "Coret Ganti Presiden", #DiaSibukKerja, atau #2019TetapJokowi, kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia haruslah bersikap bijak terhadap gerakan-gerakan ini.
Merupakan hak setiap warga untuk menyampaikan pendapat meraka dan mendukung paslon-paslon tertentu dalam ajang pesta rakyat ini. Namun, kita tidak boleh melupakan bahwa sejatinya penyampaian pendapat tersebut dilakukan dengan etis tanpa melanggar aturan yang berlaku.