Setiap kebijakan pemerintah yang tidak populis, pasti akan selalu dihujat oleh rakyat melalui demo besar-besaran. Dari awal tahun 2014, rakyat dikejutkan dengan kenaikan LPG 12 kg, dari harga semula Rp. 6.250 per kg, menjadi Rp. 10.400 per kg atau sekitar Rp. 125.000 per tabung 12 kg. Konstan hal ini menimbulkan polemik begitu besar terhadap masyarakat menengah tanggung, yang akhirnya berbondong-bondong membeli LPG ukuran 3 kg yang notabene bersubsidi. Artinya bahwa dengan kenaikan tersebut, kelas menengah secara signifikan berkurang dan pada akhirnya berebut mendapatkan LPG bersubsidi dengan masyarakat miskin, hingga terjadi kelangkaan LPG bersubsidi di berbagai daerah.
[caption id="attachment_341067" align="aligncenter" width="448" caption="Image Credited to PortalKBR.com"][/caption]
Hal ini menjadi dilema bagi Pemerintah dan juga Pertamina sebagai pelaku bisnis yang notabene mengaku merugi hingga Rp. 22 Trilliun dalam 6 tahun terakhir, pada bisnis LPG saja. Lalu siapa yang salah dalam hal ini?
Menurut data dari "Survei Nielsen", LPG 12 kg hanya digunakan oleh 17% masyarakat, dibandingkan dengan LPG 3 kg yang mencapai 79% (masyarakat kecil dan pelaku usaha mikro), dan sisanya 4% menggunakan bahan bakar lain.
Jika dilihat dari sisi pengguna, memang seharusnya kenaikan LPG 12 kg tidak akan berdampak sistemik terhadap perekonomian nasioanal. Hanya mungkin penggunanya akan menurun dan bermigrasi menggunakan LPG 3 kg bersubsidi. Saya sendiri pada awalnya adalah pengguna LPG 12 kg dari tahun 1997-2011, dan akhirnya menggunakan LPG bersubsidi karena lebih efisien.
Dilihat dari sisi bisnis, Pertamina sebagai BUMN yang harus menjaga kredibilitasnya sebagai perusahaan negara tentu saja sangat tidak menguntungkan, karena menjual LPG umum (12 kg) dibawah harga ke-ekonomian. Sehingga menciptakan persaingan tidak sehat, karena selain Pertamina, ada juga kompetitor lain yang menjual LPG Umum (12 kg, 50 kg, bulk/curah), diantaranya Harigas, Go-Gas, BlueGas. Dimana mereka menjual sesuai dengan harga pasar.
Jika melongok ke negara India yang hampir setara dengan kita, kenaikan LPG 12 kg non subsidi secara berkala sudah dilakukan dari Juli 2014, sehingga menjadi Rs. 922,50 atau setara dengan Rp. 179.539. Tentu saja harga tersebut jauh lebih mahal dari harga yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia di harga tertinggi Rp. 125.000 , karena melihat daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Rencana kenaikan harga LPG 12 kg non subsidi yang tertunda awal Juli lalu, saat ini sudah mendapatkan persetujuan Pemerintah, hingga menunggu waktu saja. Jika hal ini di politisasi, kemungkinan tidak akan dilakukan sebelum pergantian tampuk kepemimpinan kepada Presiden Terpilih Jowoki.
Kisaran kenaikan berkala LPG 12 kg non subsidi Rp. 1.500 per kg, sehingga diperkirakan harga tertinggi menjadi Rp. 140.000- Rp. 145.000. Tentu saja angka tersebut masih digodok dan disesuaikan dengan angka ekonomis masyarakat.
Menurut hemat saya, ada beberapa rekomendasi yang harus dipertimbangkan Pemerintah dan Pertamina dalam menaikkan harga LPG non Subsidi secara berkala, antara lain:
- Menurut data tahun 2013, ekspor gas kita 17 juta ton dalam bentuk LNG dan Impor sebesar 3,3 juta ton dalam bentuk LPG. Sudah seharusnya Pertamina mengusahakan untuk memperbaiki dan meningkatkan pengolahan bahan mentah menjadi LPG, sehingga LPG dalam negeri dapat lebih murah dan tidak selalu mengikuti harga pasar dunia.
- Pertamina harus siap mengantisipasi migrasi pengguna LPG 12 kg non subsidi ke LPG 3 Kg bersubsidi, sehingga hak rakyat miskin tetap terjaga dan tidak menimbulkan polemik yang besar akibat kelangkaan LPG bersubsidi.
- Pengendalian distribusi harus tetap dilakukan. Sehingga tidak terjadi penyalahgunaan LPG non subsidi untuk kepentingan individu.
- Pengawasan atas distribusi harus ditingkatkan, karena tidak menutup kemungkinan pihak-pihak tertentu memanfaatkan demi keuntungan pribadi dengan memindahkan gas dari tabung subsidi ke tabung non subsidi.