Menurut mbahku ada unen-unen ASMA KINARYA JAPA yang pengartian bebasnya nama itu adalah pengharapan atau doa, mungkin hakekat unen-unen di atas adalah jangan sembarangan kasih nama sesuatu atau jangan sembarangan menyebut sesuatu.
Seperti banyaknya kesalahan penyebutan di negeri yang sekarang keadaannya sangat ngeri ini, liat aja sebutan mahasiswa seharusnya kita ganti aja jadi pelajar tinggi, kalau maha itu kan kesannya serba tertinggi, kalau ditambahi siswa kan jadi siswa tertinggi, jadi merasa paling tau tentang ilmu, sampai membenarkan perusakan hanya untuk alasan biar didengerin wakil rakyat, kalau pelajar tinggi kan pengartiannya sedang belajar di tempat pendidikan tinggi yang jelas kalau di tempat pendidikan itu ada normanorma sosial yang diajarkan bukan kebrutalan semata ( kecuali untuk pendidikan tinggi negara yang diajarkan juga cara menindas junior dengan kekerasan ).
Juga kata Goverment kalau translate ke bahasa indonesia harusnya jangan pakai kata pemerintah, tapi jadi kata Pamong seperti sebutan dalam bahasa jawa, kalau pemerintah ya rakyat yang jadi budak, buat peraturan seenak udelnya sendiri, karena merasa berhak memerintah, kalau pamong kan artinya tukang ngemong/mengasuh jadi apaapa yang diminta yang diasuh pasti dituruti biar yang diasuh hidup dengan enak (alias tidak perlu menangis untuk meminta susu seperti bayi), wong sebenarnya kita yang bayar mereka untuk mengatur segala sesuatu hingga rakyat hidup damai,aman dan sentausa (mirip lagu khasidah), bentar kalo misalkan ada yang nyeletuk "ngomong sokor njeplak, cangkem kok seperti ndakk pernah disedekahi, yang bayar itu kan negara bukan kamu", jawabnya gampang aja " lha rumangsamu bayar pajak tiap tahun itu buat siapa (kalau realitanya sekarang buat gayus dan para gayus lain yang aku lupa namanya)?? Yo buat abdi negara yang harusnya jadi babuku, lagian apa kurang enak, wong aku aja masih naik onthel tapi pemerintah eh pamongku udah naik mobil, kurang apa aku ini jadi tuan??". (Jangan ditiru ucapan di atas, nanti kalau menyakiti orang kan jadi dosa).
Terus kata rakyat itu harusnya jadi bendoro negara, jadi kita bukan dianggap seperti penduduk yang tinggal disuatu negara yang di dalam negara itu kita seperti menyewa, tapi kita jadi tuan di tanah nenek moyang kita sendiri, jadi pemerintah atau pamong itu sungkan sama rakyat, mosok abdi mau berani sama bendoronya?? (Kalau memang sampai berani tak sumpahin impoten dan mandul para abdi negara itu).
Kaloaudipikir andai saja hubungan rakyat (harusnya disebut bendoro negara) dan pamong itu seperti arjuna dan panakawan, pasti dan dapat dipastikan bendoro dan abdi negaranya pun sejahtera, misalnya kalau rakyat pengen kemana aja selama itu baik ya dituruti saja, tapi tentunya pamong juga ngasih nasehat atau batasan biar kelakuan bendoronya ndakk kelewat batas, tapi kalau tak pikirpikir sekarang menurutku di negeri ini hubungan rakyat dan pamong itu seperti buto cakil dan togog, yang rakyat bedigasan kaya buto cakil, dikitdikit demo terus ngrusak, dan secara kebetulan pamongnya kaya togog, senengannya memprovokasi bendarane hingga emosinya buto cakil itu meluapluap.
Oya maaf aku ndakk sedang ngomongin negeri Indonesia yang gemah ripah loh jinawi lho, aku sedang ngomongin negeri para kere yang sekarang sedang rameramenya demo dan gontokgontokan karena harga rumput buat pakan kuda mau dinaikkan.(Kra)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI