Mohon tunggu...
Renita Yulistiana
Renita Yulistiana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan

I wish I found some better sounds no one's ever heard ❤️😊

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Musik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial

8 Februari 2024   23:53 Diperbarui: 8 Februari 2024   23:55 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu bulan kelarin baca dan ulas minimal satu buku dengan lebih konsisten adalah ikrar di tahun 2024. Januari ini, saya memutuskan untuk membahas buku dari Prisma: Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi dengan topik "Musik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial". 

Sejak membaca jurnal pertama berjudul "Dimensi Politis di Skena Musik Independen (Indie)" dari Mohammad Rizky Sasono, rasanya nagih sekali. Baru pernah saya baca jurnal seasyik ini.

Menyenangkan sekali menjelajahi sejarah sosial band Efek Rumah Kaca (ERK) yang mencerminkan perwujudan konsep masa depan yang demokratik, sehingga dapat membantu kita memahami perwujudan politik prefiguratif.

Salah satu highlight-nya ketika 2019, "Kios Ojo Keos" dibuatnya menjadi ruang yang memfasilitasi penggalangan dana berupa musik dan cetakan kaos petani Kendeng yang memprotes pendirian pabrik semen di Jawa Tengah.

Pun 2022, contoh laku politis musikal melalui inisiatif kecil dan sporadis tergambarkan saat Rara Sekar melakukan tur "Kenduri" di pedesaan Yogyakarta bersama 15 penonton terpilih dari ratusan pendaftar, dengan memberi pengalaman perubahan lanskap akibat pembangunan, pola pertanian yang tidak alami, dan menghidupkan kembali hubungan manusia urban dengan alam.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Keasyikan itu terus muncul saat membaca jurnal kedua dan seterusnya. Terutama judul "Tujuh Pola Pelemahan KPK dan Merosotnya Negara Hukum" dari Usman Hamid, yang membuat saya merasa bersalah karena pernah tidak menggunakan hak pilih. Apalagi ketika membaca kembali tragedi Cicak vs Buaya. Dulu, setiap jelang pemilu, saya selalu menghindari bahasan politik, karena isinya hanya keributan. Hal itu, sempat membuat saya apatis, golput, dan menggunakan hak pilih bukan karena hati nurani. Tapi, ya karena tidak tau harus pilih siapa lagi.

Beruntung, saat ini ada banyak inisiasi yang bisa membantu kita sebagai masyarakat (bukan hanya anak muda) terpapar edukasi yang lebih baik soal politik, di tengah tsunami informasi. Sebut saja bijakmemilih.id dan Festival Pemilunya, yang terus mengingatkan kita untuk melihat rekam jejak calon pemimpin dan partai sebelum memilih. Adalagi Whiteboard Journal x IDN Times yang membuat #SuaraGenerasi #GenZMemilih yang menjadikan anak muda sebagai subjek, bukan objek narasi bonus demografi saja.

Tahun lalu, Indorelawan x Bijak Memilih juga membuat panel diskusi dengan tema Suara Masyarakat Sipil untuk Pemilu yang Lebih Baik, yang mengundang pegiat lingkungan, perwakilan anak muda, musisi, dan UMKM untuk menyampaikan rekomendasi perubahan. Juga Narasi TV dengan program Musyawarah, yang bantu catch up dengan isu terkini lewat kemasan entertaint, salah satunya menanggapi debat capres cawapres.

Terima kasih Prisma! Kumpulan jurnal ini menjadi alarm bagi saya. Bukan sekadar reminder menggunakan hak pilih di 14 Februari nanti. Tapi, juga menimbang dan memutuskan kesempatan ini, untuk memilih calon pemimpin yang tepat, bagi Indonesia--bukan kepentingan individu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun