Tidak mempan. Padahal saya sudah membaca ulang Novel Laut Bercerita milik Leila S. Chudori, menonton film Thailand, serta memutar berkali kali lagu Hindia: Setengah Tahun Ini.
Saya juga sudah mencoba menghabisi waktu dengan lari pagi dan rehat memainkan ponsel pribadi selama sepekan. Tetap saja tidak mempan. Sampai akhirnya, saya menyerah terhadap diri sendiri dan langsung mengobrol di makam bapak sore ini.
Saya pergi diam-diam seusai berkeliling Depok, karena saya tidak ingin dibuntuti oleh ibu dan adik. Rencana saya berjalan mulus, saya bebas menceritakan apapun. Tidak harus membaca yasin atau menangis seperti biasanya. Saya hanya ingin bercerita soal cinta, hal yang dulu paling saya takuti untuk cerita ke bapak.
Awalnya saya gugup, membayangi tato burung garudanya yang besar di lengan. Ditambah pelototan matanya jika mendengar saya dekat dengan laki-laki. Tapi, sekarang saya lebih berani. Karena dia tidak mungkin pelototi saya sambil bertolak pinggang menunjukan tatonya. Jika dia berani melakukan itu, saya tidak segan untuk mengambil lagi bunga mawar yang sudah saya tabur.
Saya bercerita soal keputusasaan akhir tahun 2020, yang sebenarnya saya tahu betul ini hanya perkara waktu. Tapi, ada beberapa hal yang benar-benar saya takuti. Selain tabiat jelek soal ketidakpercayaan diri, saya juga mengadu soal cinta. Sebab, saya tidak begitu ahli dalam membedakan rasa. Saya mengawali dengan beberapa kalimat prolog. Kemudian saya bertanya, "bagaimana jika saya harus patah hati lagi, pak?" Saya mengulangi pertanyaan itu sampai 5x. Saya sudahi setelah kaki saya kesemutan.
Tentu saja bapak tidak menjawab apapun. Tadinya, saya berharap diberi tanda bunga berjatuhan seperti pertunjukan romansa klasik--jika ia mendengar dan paham maksud pertanyaan saya. Tapi tidak juga, terlalu pulas tidurnya.
Saya rasa bapak memberi tanda yang lain--sayapun masih menebak. Tapi, saya pikir sebenarnya tidak ada yang harus ditakuti dari patah hati. Abraham Maslow mengatakan bahwa psikologi cinta adalah proses aktualisasi diri yang mana dapat membuat orang melahirkan beragam tindakan yang kreatif dan produktif.
Jika patah hati adalah bagian dari cinta. Entah cinta penuh atau sebagian. Saya menyimpulkan pendapat Maslow bahwa, tidak semua patah hati membawa dampak buruk. Bisa saja justru menjadikan individu menjadi kreatif dan produktif. Lagian, tidak semua hal yang kita inginkan bisa berbalas kan? Jadi, untuk apa menghabiskan waktu dengan egois dan terus memaksakan hal yang tidak bisa dipastikan?
Saya seharusnya mempelajari kembali peristiwa beberapa tahun lalu. Bahwa kebahagiaan itu, sumbernya dari kita sendiri. Bukan menggantungkannya pada orang lain. Jadi, bagaimana jika patah hati itu benar terulang dengan ilustrasi yang berbeda kepada saya?
Tidak ada yang lain. Buatlah karya dan jalani proses penyembuhannya. Seperti yang sudah sudah. Saya yakin, bapak juga mengharapkan begitu. Ciao!
Re
Tanah Baru
November, 2020