Apa yang pertama kalian pikirkan, ketika mendengar abad 21? Abad 21 adalah abad pada milenium ke-3 dalam kalender Gregorian. Menurut Wikipedia, kalender Gregorian adalah kalender yang sekarang paling banyak dipakai di Dunia Barat. Penanggalan tahun kalender ini, dihitung berdasarkan tahun Masehi.
Jika dilihat dari definisi di atas. Tentu bukan hal yang cukup mengkhawatirkan. Namun, apa jadinya jika pertanyaannya dilengkapi menjadi. Apa yang pertama kalian pikirkan, ketika mendengar tantangan pendidikan abad 21? Saya pribadi, tentu akan gagap menjawabnya. Sebab, pendidikan abad 21 adalah tantangan kehidupan yang sesungguhnya.
Menurut jurnal (SOSIAL/HORIZON/Jurnal/Pendidikan/Sosial/Vol/7/Nomor/1/Juni/2020) Pendidikan abad 21 harus mampu menjawab tantangan untuk membekali peserta didik dengan 4 keterampilan atau biasa disingkat 4C yang meliputi: communication, collaboration, critical thinking and problem solving, serta creativity and innovation.
Selain itu, tiga keterampilan yang harus dimiliki di abad 21 menurut p21 (Partnership for 21st Century Learning) yaitu: life and career skills, learning and innovation skills, and information media and technology skills. Keterampilan dan ide-ide kreatif akan penemuan baru sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan.
Tadi pagi, saya mengikuti pelatihan bersama para staff binaan di tempat kerja. Kami membahas hal ini. Bedanya, fokus kami baru mencakup 3C (Critical Thinking, Complexity Problem Solving, and Creativity). Tujuannya kurang lebih sama. Mempersiapkan anak-anak dan para staff untuk siap menghadapi tantangan pendidikan abad 21.
Kami mengawali dari critical thinking = berpikir kritis. Sebenarnya, seberapa penting membangun kemampuan berpikir kritis? Mari kita membayangkan perbedaan masa dulu dan sekarang. Perbedaan paling nyata, tentu saja perkembangan teknologi. Diikuti dengan banyaknya informasi.
Dulu, lebih mudah bagi kita memilih informasi yang benar dan salah. Dapat dilihat, dengan jumlah media dan platform yang masih minim. Sekarang? Kita sudah dalam tahap "dipaksa" untuk menerima berita dari berbagai sumber. Belum lagi, banyak berita hoax, yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan. Bangun tidur kita mendapat berita A, siang hari kita sudah bisa mendapat berita B-Z: dengan sangat mudah.
Oleh karena itu, sangat diperlukan pemahaman dalam menyerap informasi. Bayangkan jika anak-anak tidak dipersiapkan dan kita abai untuk mendampingi mereka dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Tentunya, di masa depan--mereka akan kelimpungan.
Memang, membangun kemampuan berpikir kritis bukanlah hal yang mudah. Bagi orang dewasa sekalipun. Berpikir kritis bukan sekadar analisis "kaleng-kaleng".
Pertama, kita harus menggali informasi (apa, siapa, kapan, di mana, mengapa?). Kedua, kita harus mencari informasi tambahan untuk mengonfirmasi kebenaran suatu masalah. Ketiga, barulah kita bisa menyimpulkan dan mencari solusi dari masalah tersebut. Sehingga, pemecahan masalah bisa terselesaikan.
Pada praktiknya, sepertinya ada proses yang terputus. Sehingga, kebanyakan terhenti pada tahap menggali informasi lalu langsung menyimpulkan. Tanpa ada upaya mencari informasi tambahan. Sialnya, simpulan mentah itu langsung disebarkan. Sayang sekali, jika kebiasaan ini terus berlanjut ke generasi berikutnya.