Mohon tunggu...
Ken Zaaksinta
Ken Zaaksinta Mohon Tunggu... -

aku mengagumi filosofi cicak yang menempel di dinding. menjaga manusia ketika tidur, walaupun keberadaannya terkadang tak dihiraukan. aku suka cicak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mas “Pakdhe” Tyo, Maestro Musik Sasindo (Dari Klothekan Meja Hingga Kuasai Berbagai Alat Musik)

30 Desember 2013   21:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:20 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1388411610473155562

MAS “PAKDHE” TYO, MAESTRO MUSIK SASINDO

(Dari klothekan meja hingga kuasai berbagai alat musik)

Oleh : Ken Zarita Aksinta

Berawal dari pertemuan biasa yang akhirnya berkesan hingga saat ini, “Pakdhe” panggilan akrab yang dianugerahkan teman-teman untuknya. Arif Prasetyo Pamungkas, nama yang diberikan orang tuanya dengan penuh doa mulia, seperti tak pernah muncul dengan adanya nama panggilan tersebut. Tak terlalu istimewa jika dipandang sekilas. Lelaki kelahiran Surakarta, dua puluh enam tahun silam ini terlihat sederhana. Berperawakan kecil dan berkulit sawo matang, ia selalu memberikan keceriaan di setiap perjumpaan. Sesekali menggoda saya, saat wawancara ini berlangsung dengan segala tingkah polahnya yang terkadang bersikap seperti anak kecil dan terkadang pula menjadi sangat dewasa seperti usianya. Bahkan saya sendiri lupa, awal saya mengenalnya. Entah diturunkan dari planet mana orang semacam ini. Haha...

Saya kira, mahasiswa seantero Sastra Indonesia pasti mengenal pakdhe. Bahkan mahasiswa jurusan lain pun pasti tak asing dengan panggilan tersebut. Lelaki yang tidak suka makan duren ini, sangat pandai bergaul. Terbukti dirinya mempunyai banyak teman yang juga menggeluti dunia kesenian. Dari yang berambut cepak hingga berambut gondrong. Dari yang berpakaian rapi hingga bercelana robek, semua menjadi temannya. Sepertinya tak ada yang terlewat menjadi temannya di Solo Raya ini. Beberapa kali saya diperkenalkan dengan teman-temannya dan tak ada satupun yang luput dari rasa kagum saya. Hampir semuanya adalah penggagas seni. Dari pemabuh gendang, pemain perkusi, pemain gamelan, pemain teater, dan banyak lagi yang membuat saya terbengong. Sungguh hidupnya tak pernah lepas dari kehidupan seni yang memang sangat menuntut profesionalitas itu. Pakdhe semasa kecil memang telah akrab dengan alat musik. Saat duduk di bangkuTaman Kanak-kanak, ia ikut bermain drumband. Selain itu, hobinya klothekan meja saat berada di bangku Sekolah Dasar dan hobinya mendengarkan lagu anak-anak yang sedang ngetrend pada zaman itu, akhirnya menjadikan pakdhe menjadi seperti sekarang ini. Pakdhe kecil, tumbuh sebagai seorang anak yang suka tampil dan aktif. Lelaki yang mengaku memiliki impian untuk mendirikan sebuah orkestra ini, menjadi seorang mahasiswa yang aktif berkesenian. Saat saya temui ditengah-tengah kesibukannya mempersiapkan ujian skripsi, masih saja pakdhe dengan santai menjalani aktivitasnya berkesenian. Mengajar perkusi dan gamelan pada teman-temannya. Seperti tak terbebani dengan pertanggungjawaban studinya yang tak akan lama lagi dilangsungkan. Lelaki asli Banjarsari ini, pernah bercita-cita menjadi seorang guru seperti ayahnya. Berawal dari ketidaktahuannya terhadap jurusan Sastra Indonesia, dirinya mengaku bahwa masuk jurusan ini karena salah ambil. Namun, seiring berjalannya waktu, dirinya semakin menikmati apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Menjadi mahasiswa Sastra Indonesia yang disibukkan dengan seabrek tugas kuliahnya. Namun, jauh berbeda dengan apa yang diangankannya. Semenjak menjadi anggota UKM Tesa, semua itu berubah derastis. Pakdhe yang awalnya tidak suka bermain musik, karena tuntutan proses penggarapan sebuah lakon yang menuntutnya belajar bermain musik, akhirnya ia mulai berkutat dengan biola. Padahal, alat musik pertama yang dipelajari adalah alat musik gitar dan akhirnya berlanjut dengan alat musik lainnya. Hampir semua alat musik yang ia kuasai sekarang adalah hasil dari otodidak. Berawal dari tuntutan bermain biola oleh sutradara saat membutuhkan suasana menyayat pada salah satu lakon yang digarap untuk sebuah perlombaan, pakdhe pun dituntun profesional sebagai anggota UKM Tesa. Mau tidak mau, ia harus belajar menggesek alat musik tersebut tanpa bimbingan siapapun. Alhasil saat ini pakdhe mempunyai dua buah biola yang biasa ia gunakan untuk mengiringi berbagai pertunjukan. Memiliki beberapa teman yang memang menjadi pekerja seni, pakdhe pun berkenalan dengan alat musik jimbe. Alat musik yang dimainkan dengan dipukul ini diperkenalkan oleh Mas Waluyo yang sekaligus menjadi seseorang yang menginspirasinya untuk selalu berkarya. Mas Waluyo adalah salah seorang personil dari dhe-dhe percussion dan lulusan dari ISI Surakarta jurusan karawitan. Beliaulah yang mengajarkan pakdhe bermain jimbe dan gamelan juga mengajarkan komposisi musik yang bagus. Mas Waluyo saat ini berprofesi sebagai musisi wayang suket milik Ki Slamet Gundono. Banyak yang menyebut pakdhe sebagai lelaki multitalenta karena ia tak hanya menguasai satu alat musik saja. Keyboard, jimbe, bass, drum, gamelan, gendhang, dan pianika, telah dilahapnya. Namun, iamengaku bahwa alat musik tiup belum bisa dikuasai, kecuali pianika. Tetapi tetap saja pada dasarnya jika mampu menguasai beberapa alat musik tidak ada yang bisa total atau mahir, karena tidak bisa terfokus pada satu alat musik. Berbagai alat musik telah ia takhlukkan, tetapi pakdhe tetaplah seorang laki-laki minim kesombongan. Rendah hati dan selalu memberi motivasi kepada semua yang ingin menimba ilmu padanya. Anak kedua dari empat bersaudara ini selalu mendapat dukungan dari keluarganya. Dukungan itulah yang membuatnya selalu berkarya. Beberapa acara yang pernah ia ikuti sudah tak terhitung. Saat saya bertanya mengenai acara yang pernah ia ikuti, Pakdhe bahkan bingung menyebutkannya. Sudah terlalu banyak, sampai-sampai lupa dengan nama-nama acara tersebut. Namun, ia mencoba mengingat semampunya. Alhasil, inilah beberapa acara yang pernah diikutinya, Solo Menari yang diselenggarakan di ISI Surakarta sebanyak dua kali pernah diikutinya. Perjamuan untuk kontestan Asian Paragames, Kampung Ponorogo 2012, Karnaval Visit Jateng di Semarang, Peksimida di Unnes Semarang, Festival Wayang di Jakarta, Festamasio di Jakarta, Karnaval Visit Borobudur, beberapa karnaval di Solo , Festival Teater di Taman Budaya Jawa Timur, Grand Opening Bank DKI, dan beberapa kali dipercaya untuk membantu Tugas Akhir teman-teman ISI Surakarta. “Hidup itu berwarna, nikmatilah. Bukan hanya penebalan satu warna kesukaan. Kita jangan terpaku bidang akademis saja, di luar akademis akan lebih bermanfaat ketika pekerjaan membutuhan pengalaman ataupun profesionalitas.” Tuturnya saat saya bertanya mengenai hikmah yang diperoleh saat menjalani hidup sebagai mahasiswa. “Jangan takut berkarya karena seni itu tidak mengenal usia. “. Itulah kata-kata terakhir sebelum saya mengakhiri wawancara saya dengan Pakdhe, sebagai pesan untuk generasi muda saat ini. Pakdhe yang sederhana, bersahaja, dan bisa menjadi inspirasi. Itu yang bisa saya ucapkan setelah wawancara itu berakhir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun