[caption id="attachment_94845" align="alignleft" width="400" caption="http://jurug.blogspot.com/2010/10/foto-gambar-puncak-nafsu-birahi.html"][/caption] Dalam ranah keilmuan komunikasi, kita kenal dengan teori jarum hipordermik (hypodermic needle) dan agenda setting. Dua teori ini yang merekonstruksi masyarakat saat ini menuju peradaban yang penuh dengan ragam informasi yang masuk kepada kepala setiap manusia di bangsa ini. Informasi yang mudah di dapat melalui media massa telah membuat masyarakat berubah menjadi konsumsi informasi setiap hari tanpa memperhitungkan kegunaan informasi tersebut. Injeksi media massa telah membuat ke kritisan kian tumpul.
Asumsi dasar dari teori jarum hipodermik bahwa masyarakat tidak mampu menghindari serangan media massa, masyarakat pasif. Jadi, jika peluru itu ditembakkan ke sasaran, maka sasaran tidak akan bisa menghindar, dengan analogi bahwa peluru mempunyai kekuatan yang luar biasa di dalam usaha “mempengaruhi” sasaran.
Sedangkan teori agenda setting memprediksikan bahwa agenda media mempengaruhi agenda pubik, sementara agenda publik itu sendiri akhirnya mempengaruhi agenda kebijakan. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting, mengatur apa yang harus kita lihat atau tokoh siapa yang harus kita dukung. Dalam ungkapan lain, apa yang diagendakan oleh media akan menjadi agenda masyarakat.
Dengan dua teori ini, media massa telah membangun pondasi ideologi baru, tanpa terlihat dan kita sadari, ideologi dan peradaban telah telah bergeser kepada body and beauty. Sering kita jumpai, “kenakalan media” dengan sajiannya telah mengorbankan banyak orang dan generasi bangsa ini. Jika pemahaman telah berubah dari nilai-nilai kultural bangsa ini, maka ideologi Pancasila akan tergantikan dengan “ideologi di bawah pusar” dalam praktek kesehariannya.
Injeksi media dengan informasi tentang syahwat menumpulkan ke kritisan dan mengajak ke dunia hura-hura penuh nafsu. Birahi telah menjadi konsumsi utama masyarakat karena diagendakan dan disajikan oleh media massa. Maka jangan salah, kalau sering kali kita memposisikan wanita dalam stereotipe body and beuaty, not brain.
Sengaja diagendakan dan ditransformasikan kepada masyarakat suatu pemahaman bahwa wanita cantik adalah wanita yang langsing, sensual, dan berpakaian setangah terbuka. Sehingga wanita hanya menjadi the gaze of man, yang pada akhirnya akan menyulut birahi.
Begitu pun wanita saat ini, telah mengikuti trend berpakaian ala barat, sehingga kalau tidak mengikuti trend tersebut dikatakan kampungan, tidak modern. Cara berpakaian pun telah berubah, Bupati (Buka Paha Tinggi) menjadi kebanggaan tersendiri dan dibarengi buka Sekwilda (sekitar wilayah dada).
Kebiasaan ini akan membentuk ideologi di bawah pusar yang merugikan wanita. Wanita yang seharusnya kita junjung martabatnya dengan memberikan perlindungan dari berbagai ancaman, termasuk ancaman media massa dengan agendanya yang merugikan wanita harus kita kritisi dan ditanggapi dengan serius, sehingga wanita bisa menjadi terhormat dan menjadi ibu sholehah serta bertanggung jawab.
Patut kita refleksikan dan diskusikan kembali apa yang disampaikan oleh Janice Winship (Sexuality for Sale: 1980) bahwa “wanita tidak hanya melihat diri mereka sebagaimana pria melihat mereka, tetapi didorong untuk menikmati seksualitas mereka melalui mata pria.” Dengan analisis dua teori di atas, apakah wanita telah menjadi korban media massa?
Wallahu ‘alam bish showab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H