Sedikit Harus Diakui Rakyat Indonesia Waktu itu sedikit Melakukan “Pembiaran Sikap Politik” terhadap agenda yang di selengarakan oleh Pemerintah Nasional SBY-Boediono yang didukung penuh Para Pengusaha, Sebutlah Agenda itu sebagai National Summit yang berlangsung pada akhir Oktober 2009. Peristiwa itu bertepatan dengan SKANDAL CICAK Vs BUAYA dan CENTURY GATE yang menjadi Trend obrolan di lebih dari separuh penduduk Indonesia.
Memang peristiwa CICAK Vs BUAYA dan CENTURY GATE harus disikapi dengan tepat. Tapi Ada hal yang jauh lebih penting untuk disikapi yakni dampak berjalanya hasil NATIONAL SUMMIT dan Menyonsong ACFTA tahun depan. Bila Perlu dibuat penyikapan bersama Seramai Orang Menyikapi ISU Korupsi.
Dua Asumsi Utama Agenda National Summit:
Pertama : Dorongan Dari Kaum Modal Internasional Yang menginginkan Indonesia sebagai pasar yang potensial di kawasan ASEAN dengan jumlah penduduk 240 Juta Jiwa Lebih dan Kekayaan Alam Yang melimpah ruah. Supaya Lebih Terbuka terhadap arus dan proyek liberalisasi Ekonomi (KOMODITAS dan JASA) FTA, AFTA, Rekomendasi WTO, DOHA ROUND DLL.
Kedua : Memantapkan VISI dan MISI SBY-BOEDIONO (15 Program Nasional) ------ National Summit 2009 ---- Investor Summit 2009 ------ Prolegnas dan RPJM. Itulah Kira-kira Urutanya. Perlu dicatat bahwa Tindakan Pembangunan Ekonomi Nasional 2009-2014, dijadikan rujukan utama penataan Kebijakan Nasional Adalah Hasil-Hasil Rekomendasi National SUMMIT (ROADMAP PEMBANGUNAN NASIONAL 2009-2014)
Inilah Alurnya
Mengapa Rekomendasi National Summit Harus Di Tolak?....
Pertama: Massa Rakyat (Kaum Buruh, Petani tak Bertanah, Miskin Perkotaan, Nelayan) Tidak Dilibatkan Secara Penuh Sebagai Subyek Aktif yang berdiri sejajar dalam penyusunan Rekomendasi Dalam Bentuk Roadmap Pembangunan Nasional 2009, Padahal hasil-hasilnya dipaksakan sebagai sebuah kebijakan ekonomi politik nasional yang harus diterima oleh seluruh lapisan massa rakyat di indonesia mau tidak mau, suka atau tidak suka
Kedua:“Nasional Summit Adalah Arah dan Skema Kapitalisme Rampok yang Bertumpu pada Struktur Moneter dan Kebijakan Investasi yang Super LIBERAL, atas nama Proyek Infrastruktur Untuk Kemakmuran Rakyat, Padahal Tujuan utamanya tidak lain tetap menjadikan Indonesia sebagai ladang sekaligus Pasar yang Potensial, artinya tersirat skenario tersembunyi bahwa proyek Infrastruktur di Indonesia adalah Sekoci bagi Penyelamatan Kapitalisme Internasional yang saat ini sedang Tergerus Krisis.
Ketiga: Selama 4, 5 Tahun Kedepan, Semua Kebijakan dan Tindakan Rezim Pro Modal yang saat ini berkuasa di dukung semua elit poltik hasil Pemilu 2009 akan sangat nyata di Berbagai Bidang Kehidupan Sosial, Ekonomi, Hukum, Kebuyaan, Keamanan dll, semua akan selalu ON THE TRACK Untuk Kepentingan dan Selara Pasar.
Jadi kalau ada tindakan - tindakan epoleksosbud dan pertahanan, yang dilakukan oleh negara seperti, Peembakan petani, PHK massal, Pengusuran lahan Rakyat, kriminalisasi aktifis sosial, pemasungan kebebasan rakyat untuk berserikat, pencabutan subsidi, penjualan aset-aset vital milik negara kepada swasta, percepatan liberalisasi (Kawasan ekonomi Khusus), penyusunan UU dan Peraturan lainya untuk memastikan dan melindungi proses investasi, Peningkatan Jumlah Hutang Negara, dll. Itu semua adalah efek domino yang dilahirkan dari NATIONAL SUMMIT 2009.
Keempat: Mengutip data Kasus Konflik dan Kekerasan Agraria Sepanjang Tahun 2009 (20 Desember 2009, KPA) Terdapat 89 Kasus dengan Total 90 % Belum di tuntaskan Oleh Negara. Luas lahan Sengketa Agraria Sepanjang Tahun 2009 13327,879 Ha. Jumlah Korban 7585 (Meningal, Ditangkap, Dianiaya, Diusir, Ditembak). Pelaku Kekerasan (Berdasarkan Peringkat Pelaku kekerasan Terhadap Warga dan Petani), yaitu:
1.Pihak Kepolisian
2.PTPN
3.Perusahaan Swasta
4.Tentara
Peta Provinsi Tertinggi Dalam Konflik Agraria (Jateng,Bengkulu, Sumut, Sumsel, Sulsel dan Jabar, Jatim, Riau, Sulut dan Banten). Tentu Saja Kedepan dengan berjalanya rekomendasi Nasional Summit 2009 yang di jadikan sebagai masterplan pembanguan nasional 2009-2014 maka tidak tertutup Kemungkinan Jumlah Konflik Agraria akan semakin meningkat secara kuantitatif dan kualitatif, karena bila dilihat dari model konflik agraria tahun 2009 ternyata sangat structural, artinya melibatkan posisi Negara beserta para aparatnya, Perusahaan Swasta maupun Nasional dan Petani sebagai Pihak yang selalu di korbankan.
Sesunguhnya bisa dilihat bahwa tumpuan ekonomi di indoensia masih mengandalkan Investasi dalam berbabgai bentuk. Kelonggaran-kelongaran dalam kebijakan bidang moneter dan fiscal dibuat sedemikian rupa untuk mengakomodir kemauan para pemodal besar. Struktur politik dan pemerintahan nasional yang efisien alias/Pro Modal, juga merupakan syarat yang diinginkan untuk tumbuh berkembangnya arus investasi.
Padahal kalau dilihat bahwa sesungguhnya investasi dari kaum modal itu sama halnya “menjual Kedaulatan ekonomi nasional dan rakyat”, karena model investasi yang paling digemari pemodal adalah bermain di pasar saham, obligasi, SUN, SBI dan lain-lain dengan jumlah yang tak terkira dibandingkan melakukan investasi di sector riil.
Rendahnya suku bunga acuan para Investor Kelas Kakap yakni The Federal Reserve (The Fed) yang hanya sebesar nol hingga 0,25% memicu investor asing untuk melepas dolar dan mengalihkan investasinya ke obligasi Indonesia.
Sehingga terjadi peningkatan kepemilikan asing dalam Surat Utang Negara (SUN). Menyorot Satu segi Investasi di SUN (Surat Utang Negara) Pada Oktober 2009, pembelian Surat Utang Negara (SUN) oleh investor asing naik 300% dari Rp 2,1 triliun di September 2009 menjadi Rp 8,4 triliun di Oktober 2009.
Dengan demikian secara keseluruhan, posisi asing di SBN pada Oktober 2009 tercatat sebesar Rp100,9 triliun. mengapa hal ini terjadi karena kebijakan moneter di Indoenesia adalah yang paling liberal sedunia. Tentu saja kondisi ini bisa mengakibatkan rentanya pondasi eknonomi nasional yang dampak kongkritnya sama dengan Pemiskinan
Adakah Dampak ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)?
Indonesia menegaskan tetap ikut memenuhi komitmen terlibat dalam Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan China mulai 1 Januari 2010 meski masih ada tekanan terhadap beberapa sektor industri. Indonesia akan melayangkan surat resmi kepada China untuk menyampaikan bahwa ada beberapa subsektor usaha yang terkena dampak negatif oleh perjanjian perdagangan bebas (FTA) itu. Dengan Tanpa Menegasikan Bidang –Bidang lainya saya hendak menyoroti 2 Bidang saja, yakni:
Bidang Keuangan dan Pajak
Berdasarkan Laporan Kompas 17 Des 2009, Negara Tiap tahun rata-rata berpontensi Kehilangan Pemasukan sebesar 15 Trillyun Rupiah. Akibat penurunan bea masuk barang import antara 5 % - 0%, bayangkan jika ini terus berlangsung tiap tahun maka. Struktur Moneter dan Fiskal Indonesia yang memang rapuh, akan menjadi hancur berantakan dan jelas mengakibatkan efek domino dalam dinamika ekonomi riill
Di Bidang Industri dan Perburuhan
Ada sekitar 2.500 subsektor industri yang diikutsertakan dalam FTA ASEAN- China tentu saja ini menjadi ancaman serius 10 Industri Manufaktur Dalam Negeri Sepuluh produk Industri yang terancam itu adalah tekstil, baja, makanan dan minuman, produk peternakan, petrokimia, alat-alat pertanian, alas kaki, sintetik fiber, elektronik kabel dan peralatan listrik, industri permesinan, jasa enginering serta besi dan baja.
Sehingga kedepan DEINDUSTRIALISASI dan Penghancuran Tenaga Produktif NASIONAL semakin tidak terbendung lagi, dan satu lagi yang pasti defisit perdagangan yang semakin lebar . Pada periode 2004-2008, jelasnya, neraca perdagangan tumbuh negatif dengan rata pertumbuhan -17,96% di mana sektor manufaktur berkontribusi paling besar terhadap defisit tersebut dengan pertumbuhan -11,69%.
Maka kedepan Jika Impian dalam Road Map itu membangun Industri nasional yang kuat dan tangguh itu hanya OMONG KOSONG PENGUASA di INDONESIA. Yang terjadi adalah semakin meneguhkan bahwa Indonesia adalah Negara NET IMPORTIR yang POTENSIAL dalam Posisi ACFTA. Secara Otomatis Pula yang paling terpukul sebagai Akibat kongkrit ACFTA tidak lain kaum buruh yang antri dalam daftar PHK massal. Sebuah Resmi menyatakan Ada sekitar 90 Juta Jiwa Rakyat Indonesia hidup dengan kondisi di bawah garis kemiskinan. Tentu saja jumlah ini akan terus bertambah besar. Jika, TATA PERDAGANGAN tetap tunduk dalam skema LIBERALISASI.
Perlu dicatat Sekedar Memperjelas Peta Penguasaan Perdagangan dan Ekonomi Dunia di Sektor energi, Perbankan, Infrastruktur, Komunikasi telah dikuasai Oleh Perusahaan – perusahaan Raksasa dari China, antara lain PetroChina, Ind&Comm Bank Of China, China Mobile, China Contructions Bank danHSBC (The Economist, Edisi 1 Agustus 2009, hal: 78).Ini artinya sama dengan bangkit-nya ekonomi China dalam Arus globalisasi, yang ditopang dengan struktur dan kekuatan modalnya siap melibas siapapun, khususnya Rakyat Jelata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H