Mohon tunggu...
Ken Terate
Ken Terate Mohon Tunggu... Administrasi - Penenun Kata

Ken Terate adalah pekerja teks komersial. Ia tinggal di Yogyakarta. Kebahagiaannya tersangkut pada keluarga kecilnya, secangkir teh, buku, drama, dan obrolan ringan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tiga Pertanyaan 'Wajib' Ortu Homeschooling Pemula

27 Februari 2015   23:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:24 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14250462561248487000

[caption id="attachment_400012" align="aligncenter" width="600" caption="www.fggam.org"][/caption]

Homeschooling  (HS)–sekolah rumah atau pendidikan rumah—makin populer akhir-akhir ini. Dengan berbagai alasan banyak orang tua yang menarik anaknya dari sekolah dan mendidiknya anaknya sendiri di rumah.

Yup, homeschooling di sini memang berarti benar-benar sekolah di rumah dengan orang tua sebagai guru utama, alih-alih bergabung dengan institusi homeschooling komersial.

Namun, dari sekian banyak yang tertarik, banyak juga yang galau. Maklum, bayangan apa dan bagaimana HS masih samar-samar. Nah, berikut tiga pertanyaan yang paling membuat galau dan paling sering ditanyakan oleh orangtua HS pemula.

1.Bagaimana kurikulum anak HS?

Saya dulu termasuk orangtua yang paling penasaran dengan kurikulum HS. Kalau ketemu dengan ortu HS, itulah yang saya tanyakan. Bagaimana kurikulumnya? Pakai buku-buku apa? Bagaimana sistem penilaiannya dan seterusnya.

Namun setelah membaca sana-sini, dan ikut komunitas HS, saya tidak cemas lagi karena ternyata kurikulum HS itu BEBAS.

Kok bisa? Yup, ada ortu yang mengikuti kurikulum dari institusi tertentu lengkap dengan paket bukunya. Silakan google saja. Ada yang mengikuti kurikulum nasional, sama dengan sekolah umum. Ada juga yang fokus pada olahraga atau seni sesuai bakat dan minat anak. Ada yang menganut unstructured curriculum alias tanpa kurikulum yang mengikat. Anak dibiarkan belajar dengan ‘alami’ setiap hari. Hari ini anak mungkin pengin belajar masak, besok anak pengin ke museum dirgantara belajar soal pesawat, esoknya lagi anak tinggal di rumah mengerjakan latihan matematika. Terserah saja.

Mana kurikulum yang terbaik? Tentunya kita harus menanyakan pertanyaan yang paling mendasar dulu. Mengapa Anda melakukan HS? Beberapa ortu melakukan HS karena anaknya di-bully di sekolah. Dalam hal ini tidak masalah bila mereka tetap menjalankan kurikulum sekolah di rumah. Namun beberapa orangtua menyelenggarakan HS dengan alasan lain: tidak sreg dengan kurikulum sekolah umum! Nah, kalau sudah begini mengapa harus memakai kurikulum tersebut?

Satu hal yang perlu diingat adalah HS tidak sama dengan memindah sekolah ke rumah. Jujur, itu bayangan saya waktu berniat HS pada awal mulanya. Ada jadwal, ada buku, ada meja dan kursi, anak duduk mengerjakan soal latihan atau menulis. Mungkin ada guru privat yang dipanggil bila saya tidak menguasai pelajaran tertentu.

Setelah mengikuti komunitas HS saya sadar yang pertama-tama harus saya lakukan adalah menghapus bayangan sekolah formal dengan bersih. Hapus semua hal tentang sekolah: buku, meja, nilai, bel, jadwal, papan tulis. Hapus semua. Ubah paradigma mengenai belajar. Belajar tidak harus menghadap buku, belajar tidak selalu berhubungan dengan nilai, belajar tidak harus di dalam ruangan, dan belajar juga tidak harus memakai kurikulum.

Pelan-pelan pikiran kita bakal terbuka. Saat anak kita ikut belanja, dia belajar mengenai sayur, buah, dan bahan makanan lain. Dengan kata lain dia belajar bahasa dan biologi. Transaksi jual beli mengajarkan dia matematika, ekonomi, dan ketrampilan berkomunikasi serta bernegosiasi. Meski tampaknya jalan-jalan ke pasar, ternyata sebenarnya dia belajar.

Setelah kita berhasil menghapus bayangan sekolah formal, mulailah menyusun kira-kira jenis pelajaran apa yang ingin kita tekankan serta bagaimana kita mengaplikasikannya. Ini biasanya hasil dari perpaduan pandangan dan kemampuan orang tua serta minat si anak.

2.Bagaimana ijazahnya?

Ini adalah pertanyaan yang juga sering ditanyakan. Sayang sekali memang di Indonesia ijazah masih sangat sakral, meski kesakralan ini mulai meluntur. Banyak profesi kini tak menuntut ijazah, contohnya penulis, aktor, atau pengusaha. Tapi beberapa profesi formal tetap mensyaratkan ijazah, seperti dokter dan pengacara.

Memang yang paling meresahkan adalah bagaimana kalau anak pengin pindah jalur. Waktu berusia 13 tahun misalnya, si anak pengin sekolah formal. Ijazah TK tak punya, SD apalagi.

Syukurlah ada program kejar Paket (A, B, dan C) yang bisa jadi solusi. Siswa belajar selama beberapa saat lalu mengikuti ujian kesetaraan. Bila lulus ia akan mendapat ijazah yang bisa dipakai untuk mendaftar sekolah formal. Ada pula PKBM (Pusat Kelompok Belajar Masyarakat) yang bisa mengeluarkan ijazah semacam ini. Ada pula sekolah alternatif yang bisa dijadikan solusi.

Memang susahnya adalah inkonsistensi. Aturan dan prosedur bisa berbeda antara satu kota dengan kota lain, antara satu kepala dinas dengan kepala dinas lain. Cukup melegakan ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no 129 tahun 2014 menjamin anak-anak homeschooling untuk mengikuti ujian nasional serta memfasilitasi pindah jalur.

Kini, sudah ada anak-anak homeschooling yang kuliah di universitas negeri. Jadi tidak ada masalah sebenarnya. Contoh yang sering dimuat di media adalah Andri Rizki Putra (http://www.jawapos.com/baca/artikel/5157/Jalani-SMA-Hanya-Setahun-Jadi-Lulusan-Cum-Laude-Fakultas-Hukum-UI- ) yang menjalani homeschooling karena menolak sontek-menyontek waktu ujian nasional. Ia ikut kejar paket C (praktis ‘SMA’ rumahan hanya ia jalani setahun), kuliah di Fakultas Hukum UI dan lulus cum laude.

3.Bagaimana sosialisasinya?

Dari tiga pertanyaan yang paling sering ditanyakan, ini sepertinya yang paling gampang dijawab. Jawabannya: ajak anak main dengan anak tetangga!

Setelah saya bergaul dengan banyak keluarga homeschooling, saya mengamati dengan mata kepala sendiri bahwa anak-anak homeschooling sama sekali tidak punya masalah sosialisasi. Kalau tidak mengetahui latar belakang si anak, orang bakal tidak tahu bahwa mereka tidak bersekolah formal. Mereka bermain dengan teman-teman mereka selayaknya bocah biasa. Ada yang pemalu, ada yang ramah, ada yang gampang menyesuaikan diri, ada yang butuh agak lama untuk akrab dengan teman dan sebagainya. Sama dengan anak-anak pada umumnya.

Peran orangtua untuk sosialisasi ini sangat besar. Kalau orangtua memang ‘gaul’ anak biasanya ketularan gaul.

Salah satu keunggulan homeschooling adalah anak terbiasa bergaul ‘tanpa sekat’. Mereka terbiasa bergaul dengan segala lapisan masyarakat, tua muda, miskin, kaya, agama apa pun, suku apa pun. Ini berbeda dengan anak-anak sekolah yang hanya terbiasa bermain dengan teman sebaya dari latar belakang yang sama pula, misalnya: bila anak bersekolah di sekoah elit, ia hanya terbiasa dengan golongan elit pula. Bila anak bersekolah di sekolah dengan landasan agama tertentu, ia hanya terbiasa bergaul dengan orang dari golongan agama tertentu. Tentunya tidak semua anak seperti ini.

Beberapa orang bahkan menyebut lingkungan sosial sekolah adalah lingkungan artifisial.

Saya ingat kisah seorang mahasiswa UI yang kaget ketika kuliah dan mendapati ia satu-satunya keturunan Tiongha di jurusannya. Maklum dari TK-SMA dia kuliah di sekolah yang didominasi Tiongha.

Tapi sekali lagi, mau sekolah formal atau HS sosialisasi anak ini tergantung pada orangtua dan si anak. Ada anak sekolah formal  yang bisa bersosialisasi dengan luas ada yang tidak. Begitu pula anak HS.

Perlu diingat, kepribadian anak adalah salah satu faktor yang tidak boleh kita nafikan. Bila anak Anda introvert, jangan paksa dia untuk jadi anak gaul dan sebaliknya. Ingat pula anak berproses menurut cara masing-masing.

Waktu TK saya pemalu. Saya tak punya banyak teman. Saya enggan berkompetisi. Saya malas main rame-rame. Saya jarang keluar rumah. Waktu SD saya mulai suka berteman baik di sekolah maupun di rumah. Sekarang? Hahaha, ‘sosialita’ kelas berat. Saya suka kumpul-kumpul dengan teman, bahkan mengundang teman teman ke rumah.

Suami saya sebaliknya, sangat nyaman berada di rumah. Ia keluar rumah seperlunya. Tidak suka kumpul-kumpul ‘untuk bergaulan’. Ia hanya bergaul seperlunya, sepantasnya. Bekerja di kebun sendirian berjam-jam betah. Jarang sekali ia pergi jalan-jalan dengan teman. Kalau pergi ya sama istri dan anak. Dan kami berdua baik-baik saja, tuh.

Masih resah dengan sosialisasi si anak HS? Ikutah komunitas HS dan sering-seringlah playdate dengan anak-anak mereka. Atau ikutkan anak dengan satu atau dua klub (sepakbola, menari, drama). Yakin deh, mereka nggak bakal kekurangan teman atau canggung berteman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun