Saya sering ngeyel, meski dalam hati. Yang saya eyel-i adalah dogma-dogma yang dan pernyataan yang sekilas masuk akal, tapi setelah dipikir-pikir ‘masa iya, sih?’. Kenapa saya ngeyel dalam hati? Saya nggak berani ngeyel terang-terangan.
Jadi ini sekadar cerita saja, curhat saja. Saya tidak sedang ngeyel di sini. Saya cuma cerita soal kengeyelen saya (Mbulet amet sih, yak).
Paling sering saya ngeyel pas denger pengajian. Sesungguhnya saya takut kualat. Tapi ada yang pernah bilang pada saya, “Kamu bisa tetap kritis dan beriman, kok. Kalau kamu kritis terhadap ajaran agama, bukan berarti kamu tidak beriman.” Ngeyel dan kritis itu beda nggak, sih?
Kadang-kadang saya butuh waktu buat ngeyel. Kadang saya baru ngeyel bertahun-tahun kemudian. Salah satu contohnya waktu kecil saya dengar pak ustadz bilang, “Agama kita itu bagus sekali, semua doanya dalam bahasa Arab. Jadi mau di Jawa mau di Amerika, doanya sama. Kita nggak bakal bingung.”
Hebat juga ya, pikir saya yang masih kanak-kanak waktu itu. Tapi waktu udah gede, saya mulai ngeyel. Ya, soal doa sih nggak bingung. Tapi kalau dengar khotbah ya tetap bingung, wong khotbahnya dalam bahasa lokal. Dan bukankah doa-doa dalam bahasa Arab itu membuat orang-orang non-Arab susah memahami apa yang terkandung dalam doa yang mereka lantunkan? Orang-orang yang tidak biasa bersinggungan dengan budaya luar dan punya bahasa kedua, bakal malas belajar agama baru yang bahasanya lain sama sekali. Taruhan deh, kebanyakan orang cuma sibuk amin-amin aja waktu doa dibacakan Pak Kaum. Bahkan andai Pak Kaumnya melenceng dikit, ngomong entah apa asal terdengar ke arab-araban, itu umat juga tetep bakal amin-amin. Ya, nggak?
Saya tidak sedang menggugat agama. Ya kalau doanya tidak kita mengerti, bukan salah doanya. Salah kita yang nggak mau belajar. Saya hanya mau bilang, mari kita melihat dari banyak sisi dan tidak terbenam dalam kebanggaan dan fanatisme yang buta.
Pernah saya meninggalkan forum pengajian karena ustadz-nya bilang, “Perempuan itu seperti botol minuman. Jangan diterima bila segel rusak.”
Saya yang bawa anak-anak langsung menggandeng anak-anak keluar. “Itu nggak perlu didengerin,” kata saya.
Mudah-mudahan Pak Ustadz, anak perempuan Anda tidak kehilangan keperawanan karena jatuh dari sepeda, karena kecelakaan lainnya, karena robek begitu saja saking tipisnya, apalagi karena diperkosa.
Dan kalau pun ‘segel’nya rusak karena pernah berzina, apa iya, ia tidak berhak bertobat? Kok sombong banget kita ini seolah-olah kita nggak punya dosa saja.
Nafsu Kebinatangan vs Nafsu Kemanusiaan
“Menyembelih hewan qurban adalah simbol menyembelih nafsu kebinatangan dalam diri kita. Nafsu binatang yang paling menonjol adalah nafsu makan dan nafsu seksual. Binatang itu nggak peduli halal haram langsung makan saja. Dan mereka berhubungan seksual semaunya.”
Saya langsung ngeyel (dalam hati tentu saja), binatang apa nih yang kita bicarakan? Tak ada aturan halal dan haram untuk binatang, jadi semuanya halal buat mereka. Biar semua halal pun kagak pernah saya lihat kambing makan babi. Saya nggak pernah lihat kerbau merokok dan macan minum alkohol. Dan ular! Beberapa jenis ular hanya makan setahun sekali. Dia tidak akan makan kalau tidak lapar. Kagak kayak manusia. Buanyak sekali makanan yang bisa dimakan manusia. Eh, masih nggak cukup. Ada yang makan otak monyet, telur penyu, sampai daging manusia lain.
Dan seks? O yeah, binatang memang tidak mengenal akad nikah, tapi beberapa binatang hanya kawin pada musimnya, saat mereka sudah cukup usia. Kagak kayak manusia. Kucing hanya kawin dalam kamar yang tersembunyi –meski suaranya tetap kedengaran--. Merpati dan penguin konon hanya punya satu pasangan dalam hidupnya (koreksi kalau saya salah). Kagak kayak manusia.
Oya, ada binatang yang kawin di lapangan terbuka di siang bolong, seperti ayam. Habis suruh kawin di mana dan kapan? Malam? Mereka tertib boboknya. Nggak pernah saya lihat ayam jalan-jalan di malam hari. Tidak kayak manusia.
Tikus dan kucing kadang mencuri. Tapi dalam banyak kasus mereka sudah puas dangen sampah-sampah sisa manusia. Nggak kayak manusia. Dan tidak semua binatang mencuri kan? Yang jelas mereka tidak mencuri uang negara.
Gajah merusak rumah dan ladang manusia. Tapi itu karena rumah mereka dirusak duluan. Siapa yang lebih jahat di sini?
Saya paham simbolisme. Saya paham maksud Pak Ustadz, tapi saya memang suka ngeyel. Bagi saya ini adalah cara untuk selalu menantang pikiran saya agar kritis dan agar selalu memandang dari berbagai sisi.
Dari sisi binatang, bisa jadi ada khotbah begini, “Jangan sampai bertingkah kayak manusia. Udah tahu korupsi itu haram, eh korupsi juga. Udah tahu itu pasangan tetangga, diembat juga. Dan iiihhh, joroknya mereka itu, buang sampah di kali, kencing di tepi jalan dan boros plastik.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H