Mohon tunggu...
Ken Terate
Ken Terate Mohon Tunggu... Administrasi - Penenun Kata

Ken Terate adalah pekerja teks komersial. Ia tinggal di Yogyakarta. Kebahagiaannya tersangkut pada keluarga kecilnya, secangkir teh, buku, drama, dan obrolan ringan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Kita Perlu Mengajarkan Bahasa Daerah pada Anak?

15 Januari 2015   04:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:07 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya sebenarnya sudah pernah menuliskan topik ini sebelumnya di blog yang lain, mengenai pentingnya mengajari anak bahasa daerah yang kita kuasai.

Akhir-akhir ini saya seperti diingatkan lagi mengenai hal ini. Mulai dari teman yang bertanya apakah anak tidak akan bingung bila hanya bisa berbahasa daerah di lingkungan teman-teman yang berbahasa Indonesia (rasanya tidak, untuk daerah perkotaan nyaris mustahil anak hanya terpapar bahasa daerah dan tidak pernah mendengar bahasa Indonesia sama sekali), sampai komentar sahabat yang takjub melihat saya bicara bahasa Jawa pada anak saya yang masih balita. Takjubnya karena saya lulusan sastra Inggris. Jangankan yang lulusan sastra Inggris, yang bukan lulusan sastra Inggris saja kalau menegur anaknya begini; “No, kakak, no, no.” Baby sitternya pun terpaksa ngomong bahasa Inggris dengan logat medok habis.

Saya ulang perkataan dosen tamu Amerika waktu saya kuliah dulu. Katanya, “Saya iri pada kalian orang Indonesia yang rata-rata bisa dua bahasa, bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sebagian malah menguasai tiga bahasa.”

Kenapa harus iri? Bukankah kita yang kadang iri pada mereka yang lahir di negara-negara berbahasa Inggris? Begitu lahir, nggak usah kursus, langsung bisa bahasa Inggris.

Lama setelah itu saya baru menyadari alangkah beruntungnya kita yang multi-bahasa. Sepele saja, deh, waktu kerja di kantor penuh ekspat, kami bisa bebas menggosipkan bos pakai bahasa Indonesia. Hehehe, tenang aja, para ekspat itu kagak ngerti kok. Kami kayak punya bahasa sandi sendiri. Apes, beberapa ekspat rajin belajar bahasa Indonesia. Nggak kurang akal, kami mengganti bahasa gosip kami ke dalam bahasa Jawa! Itu belum cukup, saya iri pada dua teman kerja yang bisa ngobrol dalam bahasa China –karena mereka memang keturunan China--. Tapi toh tidak semua keturunan China bisa berbahasa China, kan? Salah siapa? Salah orangtuanya yang tidak mengajarkan bahasa itu pada anak-anaknya.

Oke, yang di atas hanya contoh iseng saja. Mari kita bahas keuntungan lain.

Bahasa adalah Kekayaan

Dosen Amerika itu juga mengatakan bahasa bahasa membuat kita kaya. Orang yang menguasai dua bahasa lebih kaya dibanding orang yang menguasai satu bahasa. Orang yang menguasai tiga bahasa lebih kaya daripada yang menguasai dua. Dan seterusnya.

Simak saja betapa mengesankannya Agustinus Wibowo, penjelajah dunia dan penulis perjalanan, yang nyaris menguasai semua bahasa negara-negara yang ia kunjungi. Mending kalau yang dikunjungi itu Perancis atau Jepang. Yang dia kunjungi adalah negara-negarasa Asia Tengah macam Afganishtan, Pakistan, dan negara –stan, -stan yang lain. Menguasai bahasa lokal –yang tidak sekadar asing, tapi juga rumit—membuat dia tangguh.

Penguasa banyak bahasa (polyglot) semacam Agustinus bisa disejajarkan dengan para jenius, jenius matematika atau jenius musik. Kenyataannya dia memang jenius (baca saja bukunya atau blognya kalau ingin tahu lebih jauh).

Bahasa seperti kita tahu adalah susunan yang acak sekaligus sistematis, dan kompleks. Konon hanya manusia yang memiliki kecerdasan bahasa. Konon pula, DNA manusia hanya berbeda sekian persen –sedikit sekali—dari DNA orangutan, dan salah satunya terletak pada penguasan bahasa dan itu membuat perbedaan yang sangat besar.

Menguasai satu bahasa saja butuh kecerdasan, apalagi dua, apalagi tiga. Makin banyak, makin cerdas. Hm, siapa yang tidak mau?

Bahasa adalah skill. Makin banyak bahasa yang kita kuasai berarti makin banyak pula keahlian yang kita punya. Sama dengan kita bisa main banyak alat musik atau bisa memainkan banyak cabang olahraga.

Balik lagi pada bahasa adalah ‘kekayaan’. Saya di sini tidak berbicara kekayaan materi, meski ya bahasa bisa menjadi kekayaan materi. Anda bisa jadi guru bahasa, penerjemah, penulis, atau editor bila menguasai (banyak) bahasa dengan baik dan dapat uang dari situ.

Namun, tak perlu jauh-jauh. Saya bisa berbahasa Jawa dan alangkah ini membuat saya bisa:

1.Dapat harga lebih murah di emperan Malioboro dan toko batik di Jogja. Tawar menawar dalam bahasa Jawa menegaskan saya orang lokal, bukan turis.

2.Tertawa saat mendengarkan dagelan bahasa Jawa yang sangat khas lucunya, seperti Basiyo dan teater Gandrik.

3.Mengerti jalan cerita ketoprak, meski saya tidak bisa mengikuti pertunjukan wayang. Bahasa pedalangan masih terlalu rumit di telinga saya.

4.Bisa menikmati indahnya kalimat-kalimat dan simbolisasi yang dilontarkan MC bahasa Jawa dalam acara pernikahan.

5.Punya stok kosakata khas yang lebih tepat untuk menggambarkan sesuatu, mis: menyonyo dan menjoto (keduanya sama-sama berarti benjut… eh… bengkak di kepala) atau ujug-ujug dan mak bedunduk (keduanya berarti sekonyong-konyong, tapi feelingnya lebih ‘nyos’), mak plekenyik (kalau menginjak barang mblenyek), nempur (beli beras), nempil (ngambil/ beli sedikit dari yang banyak).

6.Mengerti pengetahuan lokal Jawa misalnya soal nama-nama rempah, nama-nama makanan, dolanan Jawa, dan tembang.

7.Menikmati obrolan bahasa Jawa yang memang khas, penuh gojeg kere dan plesetan.

8.Membaca majalah bahasa Jawa yang menimbulkan sensasi khas juga. Kadang isinya nggak penting, bahasanya saja sudah bikin merasa gimana gitu.

Itu baru ‘bisa’ saja lho, belum ahli. Kalau ahli, wah mungkin saya sudah bisa membaca naskah kuno dan menemukan harta karun kerajaan Mataram.

Ini berlaku untuk nyaris semua bahasa. Saya bisa berbahasa Inggris maka saya di antaranya:

1.Bisa membaca novel bahasa Inggris asli yang seringkali lebih asyik dibanding versi terjemahannya (meski terjemahan yang bagus itu juga memberi keasyikan tersendiri).

2.Tidak grogi bila bepergian ke negara yang berbahasa lokal Inggris.

Bahasa Daerah Jangan Sampai Punah

Balik lagi ke bahasa daerah. Kenapa sih kita harus mengajarkan bahasa daerah pada anak kita? Toh bahasa itu sudah nyaris punah, nyaris nggak dipakai lagi.

Memangnya kenapa kalau gajah punah? Kita nggak butuh gajah. Memangnya kenapa kalau capung punah? Nggak ada capung kan juga nggak papa. Itu pikiran kita orang awam. Tapi coba tanya para ahli, nyaris semua makhluk baik yang besar maupun yang kecil punya peran di bumi ini.

Begitu pula dengan bahasa. Ia adalah mata rantai peradaban dunia. Justru bila satu bahasa nyaris punah itu kita wajib melestarikannya. Kembali lagi ke bahasa sebagai kekayaan. Kita tentu ribut kalau mobil kita hilang dicolong tetangga. Maka mari ribut bila bahasa kita hilang.

Ada kisah mengenai sebuah bahasa suku di Afrika yang sudah sekarat. Penuturnya tinggal dua orang yang sama-sama sudah tua. Repotnya adalah dua orang itu marahan dan tak mau saling bicara! Tinggalah anak-anak mereka yang hanya menguasai bahasa ini dengan pasif, bukan aktif.

Kalau bisa ajarkan bahasa daerah sejak mula apabila kita memang menguasainya. Saya sendiri mengalami kenyataan pahit gara-gara salah set mengajarkan bahasa pada anak saya. Kesadaran yang terlambat. Anak saya kini lebih mahir berbahasa Indonesia dibanding bahasa Jawa dan saya setengah mati berusaha mengajarkan bahasa Jawa yang kini jadi bahasa keduanya, alih-alih bahasa ibu.

Mungkin karena bahasa Indonesia itu lebih gampang dan sederhana. Saya tidak anti bahasa nasional, lho. Cuma saya ingin mendahulukan bahasa daerah yang memberi anak rasa budaya dan identitas. Bahasa Indonesia juga lebih gampang dipelajari. Meski anak kita berkomunikasi dengan bahasa daerah, percayalah kalau kita hidup di kota-kota di Jawa atau kota-kota besar pulau lainnya, paparan bahasa Indonesia itu sangat mudah didapat, mulai dari buku bacaan, obrolan tetangga, sampai televisi, dan sekolah.

Alasan lain mengapa kita sebaiknya kita mengajarkan bahasa daerah adalah karena kita adalah penutur asli. Sepakat, kan penutur asli punya nilai lebih dalam transfer pengetahuan bahasa. Bila Anda penutur asli, paling tidak kosakata, dan dialek Anda akan lebih tepat dibanding penutur bukan asli.

Sayang toh, bila Anda punya pengetahuan yang Anda miliki dengan nyaris sempurna tidak Anda wariskan pada anak Anda?

Katakanlah Anda ahli membuat roti. Sayang kan kalau anak Anda tidak bisa bikin roti atau terpaksa belajar bikin roti dari orang lain? Pakai mbayar pula. Bukannya anak Anda harus jadi pembuat roti… gini deh, sampai sekarang saya menyesal kenapa saya tidak sempat mewarisi keahlian ibu saya bikin roti kukus yang empuk, manis, menul-menul.

Satu imbauan tambahan yang agak di luar topik; bila Anda tinggal di daerah baru dengan budaya baru, mengingat bahasa adalah kekayaan, pelajarilah bahasa setempat. Tentu lebih baik lagi jika Anda juga sempat belajar kuliner khas setempat, budaya setempat. Mumpung ada kesempatan. Percayalah, setelah itu Anda akan lebih kaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun