Mohon tunggu...
Ken Terate
Ken Terate Mohon Tunggu... Administrasi - Penenun Kata

Ken Terate adalah pekerja teks komersial. Ia tinggal di Yogyakarta. Kebahagiaannya tersangkut pada keluarga kecilnya, secangkir teh, buku, drama, dan obrolan ringan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mejikuhibiniu: Perlukah Menghapal Itu?

25 Oktober 2014   13:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:47 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14142072001787992853

[caption id="attachment_369049" align="aligncenter" width="500" caption="Mengingat. (shutterstock)"][/caption]

Mevebumayusaurneplu. Ada yang tahu itu apa? Kayak bahasa planet ya. Ya memang itu nama-nama planet. Itulah cara saya menghapal nama-nama planet dan urutannya waktu SD dulu. Masih ingat sampai sekarang? Masih dong.

Bagaimana dengan ini? Mejikuhibiniu. Ah, Anda tahu itu? Kayaknya ini memang jembatan keledai paling menasional deh untuk menghapalkan urutan warna pelangi. Kenapa kita harus hapal urutan warna pelangi? Saya kagak ngerti. Tapi pokoknya saya hapal dah. (Btw, kenapa sih namanya jembatan keledai?).

Masih ada jembatan keledai lain? Banyak dong, yang harus dihapal kan banyak, mulai dari nama malaikat, unsur kimia sampai rumus trigonometri.

Menghapal = Kekuatan Super

Kemampuan menghapal rasanya dianggap sebuah kemampuan yang istimewa. Semua orang selalu dibuat kagum dengan anak-anak yang mampu menghapal apa pun itu. Dulu zaman saya kecil ada balita masuk “Dunia Dalam Berita” –acara yang bergengsi sekali waktu itu—karena dia hapal nama-nama negara, ibukotanya, plus nama presidennya.

Waktu saya remaja ada kursus namanya “Super Brain”. Tau itu kursus apa? Kursus agar kita punya ingatan dan hapalan super. Setelah itu ada mind map. Konon dengan mind map kita bisa mengingat apa pun yang kita mau, mulai dari nama atlet sepakbola sampai tanggal ulang tahun teman. Saya nggak tahu deh, kalau ingat ultah temannya terus mau ngapain. Ngucapin selamat atau nodong traktiran?

Di bidang agama ada program ‘One Day One Ayat’ dan ini membuat orangtua ngiler menginginkan anaknya jadi penghapal Al-Qur’an.

Wow, wow, sebegitukah pentingnya menghapal?

Hapalan di Mana-Mana

“Aku ogah masuk IPS, ogah menghapal.” Saya nggak tahu dari mana datangnya anggapan seperti itu. IPS sama dengan hapalan. Kayaknya dari kurikulum zaman orba. Ya gimana nggak, dulu geografi identik dengan menghapalkan nama ibukota. Bukan ibukota negara saja, tapi juga ibukota propinsi. Sejarah disuruh ngapalin periodisasi Mesir Kuno (padahal pembagian periodisasi ini beda-beda antara buku satu dan buku lain). Paling parah adalah: disuruh ngapalin nama menteri! Dan, oh, butir-butir P4. Maaf ya yang nggak tahu apa itu P4. Silakan google saja dengan kata kunci: Pancasila.

Wuah, andai anak-anak ogah IPS ini tahu, fakultas apa yang paling memeras mahasiswanya buat menghapal! Kedokteran dan Farmasi, sodara-sodara.

Begitulah, di IPA pun, siswa-siswa dikucuri hapalan juga, mulai dari rumus fisika sampai nama latin tumbuhan. Jadilah ke mana-mana kita nggak pernah lepas dari hapalan ini. Padahal, jujur saja deh, adakah di antara kita yang suka menghapal? Menghapal hal yang tidak menarik tentu saja. Soalnya kalau menarik, kita pasti hapal dengan sendirinya.

Nggak percaya? Anda hapal tanggal ultah guru Anda? Nggak kan? Bagaimana dengan ultah pacar Anda? Ah, kalau pacar sih, nggak cuma tanggal ultahnya, nomor hapenya juga hapal luar kepala.

Saya bertanya-tanya, masih pentingkah menghapal di era internet seperti ini? Era di mana google bisa diakses dengan sekali klik dan hape bisa menyimpan ratusan nomor?

Ternyata masih. Seorang teman bercerita di sekolahnya seorang ibu membantu anaknya menghapal Pancasila sambil menyuapi si anak makan siang! Saya bisa membayangkan adegan itu. Menghapal Pancasila di antara suapan-suapan. Aduh, merana betul, batin saya. Waktu makan seharusnya menjadi waktu paling menyenangkan. Waktunya buat bersantai sambil berkomunikasi. Lah, kok ini malah dijejali ‘makanan’ lain.

Salah seorang kerabat kebetulan menjadi guru matematika senior yang sering mentraining guru lain. Suatu hari dia mengajar guru-guru di sebuah sekolah yayasan agamis. Waktu ia menerangkan, ia lihat guru-guru itu tidak memperhatikan pelajaran, tapi sibuk dengan kertas entah-apa-isinya di bawah meja. Penasaran, ia bertanya pada guru-guru yang menunduk itu. Jawabannya, “Kami harus menghapal ayat –ayat ini. Ini syarat sebagai guru yayasan.”

Bengonglah si pengajar, “Tapi kalian kan guru matematika. Dan saat ini kalian seharusnya belajar matematika.”

Yeah, masalahnya menurut yayasan matematika itu bukan firman Tuhan.

Superbrain

Benar ada manusia-manusia istimewa. Mereka dikarunia ingatan yang kuat dan hapalan yang tak mudah lekang. Benar kita pasti mendapat manfaat dari ingatan yang kuat. minimal kita tidak bingung ketika harus menelepon seseorang sementara hape –beserta phone book-nya tentu saja—ketinggalan. Mungkin juga kita tak perlu repot membuat daftar belanjaan, to-do-list-dan sebagainya.

Tak bisa disangkal, kita butuh dan HARUS menghapal. Bayangkan kalau kita tidak hapal nama kita sendiri atau tidak bisa mengingat kosakata. Aduh, mau ngomong juga susah. Itulah mengapa kepikunan dan penyakit ingatan lainnya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi manusia. Orang-orang yang tidak punya ingatan bahkan tidak bisa pulang ke rumahnya sendiri, lupa cara pakai celana, dan tak bisa berkomunikasi.

Dan jangan lupa juga ada bidang-bidang profesi yang memang butuh hapalan, seperti kedokteran, farmasi, dan penerjemahan. Ah, penerjemah kan punya kamus, banyak yang online lagi. Kalau lupa arti satu kata, tinggal buka kamus deh. Eh, apa nggak mabok tuh kalau tiap kosakata harus dicek di kamus? Makin banyak kosakata tersimpan dalam ingatan penerjemah, makin lancar pekerjaan.

Tak dapat dipungkiri juga menghapal adalah ‘olahraga’ yang dibutuhkan otak. Ia berada dalam ranah kognisi yang sejajar dengan memahami dan menganalisis. Jadi kita butuh menghapal, itu intinya.

Permasalahannya di sini adalah:

a.Bagaimana kita menghapal?

b.Mengapa kita menghapal?

c.Seberapa banyak kita harus menghapal? Alias apa sih yang perlu dihapal apa yang tidak?

Ada catatan penting yang perlu Anda ingat (kalau perlu Anda hapalkan), bahwa otak kita akan otomatis mengingat bila:

1.Hal itu menyenangkan buat kita.

2.Kita butuh mengingat atau menghapal hal itu.

3.Kita mendengar/ melihatnya berulang-ulang.

Kenapa ya kita cepet banget hapal sama lagu, tapi susah banget mengingat-ingat puisi yang ditugaskan guru? Kenapa ya kita hapal banget sama nama pemain sepakbola, sementara susah banget menghapal nama tokoh sejarah?

Bagi saya menghapal irregular verbs bahasa Inggris itu kayak membalikkan telapak tangan, tak butuh usaha besar. Wong, nggak niat ngapalin aja hapal kok. Tapi kalau disuruh mengapa rumus matematika, aduh, Mak, biar sudah jungkir balik juga nggak hapal-hapal. Teman saya sebaliknya, rumus matematika hapal luar kepala, sementara saya bahkan butuh beberapa saat untuk mengingat ton sama kuintal itu berat mana. Kok bisa gitu ya?

Setelah dua tiga kali memasak tumis, saya juga tak perlu lagi bertanya pada mami. Kalau masak gulai sih, masih butuh menengok resep. Wajar, tumis jadi menu harian. Gulai? Jarang banget. Ini sama saja dengan anak-anak SD yang hapal Undang-Undang Dasar tanpa menghapal karena tiap senin mendengar UUD ini dibacain. Ini juga berlaku untuk orang-orang yang hapal surat-surat pendek karena rajin sholat jamaah.

Tapi di sekolah hapalan dijejalkan dengan modus memaksa. Paksaannya macam-macam, mulai dari nilai ujian, hukuman, sampai malu di depan kelas kalau nggak bisa menjawab. Saya lihat sendiri bagaimana seorang siswa kalang kabut menghapalkan pidato bahasa Inggris untuk ujian, sementara di tangannya ada daftar kosakata bahasa Arab berisi hapalan untuk ujian juga. Keringat dingin bertotolan di dahinya. Saya hanya bisa iba. Maksud saya, mungkin dua tiga tahun lagi hapalan itu bahkan tak akan gunanya baginya.  Besok setelah ujian dia bakal lupa.

Entah kalau Anda, tapi saya kok merasa baik-baik aja ya kalau anak saya tidak hapal klasifikasi hewan vertebrata. Selama dia memahami bahwa hewan itu penting bagi kelangsungan kehiduapan di muka bumi dan maka itu harus kita jaga kelestariannya itu sudah cukup bagi saya.

Saya kasihan bila anak saya harus membuang banyak waktu dan energi untuk menghapal sesuatu yang entah berguna entah tidak untuknya, sementara waktu itu bisa ia gunakan untuk hal penting lainnya, olahraga, bermain musik, atau bermain dengan temannya.

Betapa banyak waktu dan energi terbuang untuk hapalan-hapalan itu. Hapalan yang sebagian tak bermanfaat begitu tahun berganti. Hapalan yang menyiksa dan bikin depresi. Yang lebih parah, karena hapalan itu kita melupakan esensi. Apa sih esensi belajar astronomi? Untuk membuka cakrawala bahwa kita sangat kecil dan Tuhan Mahahebat. Untuk membuka mata pada keajaiban alam dan membuka hati untuk imajinasi tertinggi. Untuk mengulik kesadaran kita tidak tinggal sendiri, dan seterusnya. Yang jelas bukan sekadar untuk hapal nama-nama planet.  Apa esensi hapal ayat-ayat kitab? Untuk mengamalkannya. Tapi apa mau dikata, seorang menteri agama yang konon juga seorang hafidz pun ditahan KPK. Apa esensi kita belajar sejarah? Agar kita bisa mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu. Tapi apa mau dikata, sejarah sekadar hapalan jadi ya… nggak usah heran kalau ada yang usul gubernur dan walikota ditunjuk oleh DPR(D) lagi, kayak zaman orba dulu.

Saya tidak bisa menemukan kesimpulan yang pas untuk menutup tulisan ini. Saya serahkan pada Anda untuk membuat kesimpulan sendiri. Terserah Anda juga mau menghapal atau menikmati secangkir teh bersama pasangan dan anak di sore hari?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun