“Tapi Romo, saya tidak beragama Katolik.”
“Memangnya aku bertanya apa agamamu?”
Itu satu petikan dialog (alm) ibu saya dengan Romo de Bolt yang mengesankan baginya. Saya tahu itu mengesankan karena Mami menceritakannya pada kami beberapa kali.
Awal 70an, Mami lulus sekolah perawat dan mencari pekerjaan. Salah seorang kenalannya menyarankan untuk menghubungi Romo de Bolt –semoga saya tidak salah eja—yang saat itu bertugas di Gereja Kotabaru Yogyakarta.
Diantar oleh ayah saya dengan sepeda –waktu itu mereka belum menikah—Mami menemui sang Romo. Dia diwawancarai dan setelah itu Romo memeberinya pekerjaan di dua tempat, di panti jompo dan panti asuhan anak-anak.
“Tapi Romo, saya tidak beragama Katolik,” kata Mami, merasa tidak enak hati. Berasal dari keluarga Islam yang kental, sebenarnya agak janggal juga Mami saya berurusan dengan Romo.
“Memangnya aku bertanya apa agamamu?” balas Romo. “Kamu cari pekerjaan kan?”
“Iya, Romo.”
“Ya sudah. Ini ada pekerjaan untukmu.”
Jadilah Mami bertugas di dua tempat itu beberapa lama. Kadang-kadang di antara waktu itu, Mami diajak Romo untuk mengunjungi LP Wirogunan. Mami diminta menyuntik para tapol. Saya tidak tahu suntik apa, mungkin antibiotik, mungkin vitamin.
“Setelah dari sana, aku benar-benar mbleneg,” kata Mami. “Gimana tidak. Puluhan –mungkin ratusan—pantat berbaris di hadapanku dan harus kusuntik satu per satu—“
Jangan bayangkan program kesehatan ini berasal dari pemerintah. Bukan tak mungkin ini adalah usaha kemanusian yang diusahakan Romo de Bolt. Yang jelas setelah itu Romo yang berasal dari Belanda (atau Jerman?) ini dedeportasi dari Indonesia.
Kerupuk di Waktu Sahur
Selanjutnya Romo menawari Mami ditawari untuk kerja di luar Jogja.
“Kamu mau kerja di luar kota?”
“Mau Romo.”
Jadilah Mami kerja di Semarang. Dia ditempatkan di klinik kesehatan yang dikelola oleh susteran. Bisa jadi Mami adalah satu-satunya karyawan muslim di sana. Namun, dia tetap merasa dihargai dan diterima di sana.
Tiap bulan Ramadhan mereka menyediakan menu khusus berbuka dan sahur buat Mami. Mami senang sekaligus sedih. Senang karena tetap dilayani. Sedih karena dia berbuka dan sahur sendiri.
“Saking sedihnya, kadang aku sengaja makan sahur di kamar dan kerupuknya aku kunyah keras-keras. Kriuk-kriuk. Sampai-sampai suster yang sekamar denganku terbangun dan komplen, aduh, jangan berisik dong.” Hehehe, Mami memang jail.
Beberapa tahun kerja di situ, awal tahun 75-an, Mami ‘terpaksa’ keluar untuk menikah. Mereka semua melepasnya penuh kesedihan. Bahkan suster kepala menangis dan berkata, “Kenapa kamu mau menikah? Kamu masih muda.”
Mau bagaimana lagi, simbah putri ayah saya waktu itu sudah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Sementara kedua orang tua ayah sudah tiada. Ayah saya anak tunggal. Wajar saja kalau sang nenek memintanya cepat-cepat menikah.
Sebagai hadiah, mereka memberinya sekotak saputangan. Berakhirlah masa tugas Mami di Semarang. Selanjutnya sejak saat itu Mami membaktikan dirinya sebagai perawat hingga masa pensiunnya di Jogja. Lebih dari tiga puluh tahun. Pengabdian yang sungguh luar biasa.
Percaya atau tidak, Mami adalah juru suntik yang amat sangat andal. Dia bisa menyuntik tanpa menimbulkan rasa sakit. Semua anak Mami pernah merasakan suntikannya. Kalau kami harus disuntik, Mami akan minta alat suntik dari petugas dan menyuntik anaknya sendiri. Beberapa pasien bahkan rikues, meminta Mami yang menyuntik bila mereka harus disuntik. Bisa jadi itu dikarenakan latihan menyuntik ratusan pantat sampai mbleneg.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H