Tak dimungkiri, masakan 'ibu' --dalam artian masakan yang biasa kita asup sejak kecil---menjadi masakan yang paling enak, paling nancep, dan karenanya paling susah digeser. Ini menjadikan kita kadang menutup diri dari cita rasa lain, apalagi yang perbedaannya lumayan jauh. Nggak demokratis, menurut istilah chef tadi. Susah pindah ke lain hari. Susah move on dari zona zaman.
Eh, ini tadi ngomongin drakor, kan? Kenapa jadi belok tanpa nyalain lampu sign?
Dulu saya nggak pernah nonton drakor. Bukan karena nggak suka apalagi antipati. Karena nggak sempet aja. Ketika drakor ramai diperbincangkan, saya udah penasaran banget nget, kaya apa sih bagusnya? Di sisi lain, saya juga mendengar komentar betapa cetheknya drama tv series asal negeri ginseng tersebut. Ada yang bilang terlalu lebai, ceritanya nggak mutu, aktingnya so-so, sampai itu tadi, wajahnya sama semua (wakaka, saya nonton the Crown, produksi Amrik, eh di tiga episode awal kesulitan lho membedakan mana Phillip, mana Townsend, mana Tommy. Setelahnya ya ngetawain diri sendiri lah, wong ketiganya beda banget. Masak yang satu klimis, yang satu berkumis ijuk, saya nggak bisa bedain).
Pandemi menyerang. Saya banyak di rumah dan akhirnya SEMPET nonton drakor. And my! Beberapa di antaranya amazing. Reply 1988 benar-benar juara. Saya belum nonton Goblin dan My Mister yang konon juga best of the best. Yang roman 'simpel' pun, macam Crash Landing on You dan The World of the Married tetap menyuguhkan  plot apik. Diperankan dengan ciamik pula. Disoundtrak-i dengan musik yang pas dan nempel banget di kuping. Untuk ukuran sinetron, mereka menyuguhkan hiburan yang tertata, walau kadang dengan setting yang sederhana. Beberapa disertai kritik sosial juga, misalnya Beautiful World yang menyorot menekannya syitem pendidikan di Korsel. Saya sebagai penonton nggak butuh teknologi canggih atau cerita yang sophisticated. Cukup cerita yang masuk akal. Itu mereka penuhi.
Apa semua k-drama bagus? Ya, nggak lah! Ada yang garing walau dibintangi aktor terkenal. Ada yang terlalu tertele-tele. Sama seperti TV series negara mana pun. Apa semuanya bergenre drama percintaan? Nggak juga. Horor ada. Misteri ada. Historis juga ada. Soal bagus atau tidak akhirnya sedikit banyak kembali ke selera juga.
Sebagai penulis, saya kudu mengupgrade kemampuan lewat buku dan film. Lho kok film juga? Film punya pondasi yang sama dengan buku: CERITA. Keduanya sama-sama membangun kisah lewat plot dan karakter.
Saya belajar banyak dari drakor bagaimana membangun karakter dan plot dari K-drama. Dari the World of the Married misalnya, saya belajar untuk tidak takut memberi 'dosa' pada tokoh utama protagonis. It's okay to have some flaws. Itu manusiawi dan justru logis. Dalam beberapa hal justru membuat cerita makin menarik.
Dari Reply 1988 saya tahu, cerita sederhana --tanpa peran antagonis, catet---bisa bikin mewek dan ngakak asal kita bisa mengekseksusinya dengan baik.
Hm. Andai saya menutup diri dan membatasi hanya pada film-film yang kadung membuat saya nyaman --which is Hollywood, I must admit---apa ya ndak rugi?
Membuka diri ini sebenarnya berlaku untuk banyak hal. Berkaitan dengan profesi menulis, memang terutama menyangkut buku dan tontonan. Sejak awal saya doyan melahap buku dari berbagai genre dan berbagai negara. Novel-novel Rusia? Saya lahap. Novel dari Tiongkok? Some of them are gems! Novel India, Jepang, Korea, Iran, Mesir, sampai Singapura ya saya emplok. Masing-masing punya cantiknya sendiri.
Yes, kita mungkin nggak bakal menyukai semua genre. Saya sendiri misalnya, kurang menikmati thriller, silat, dan fanfic. Tapi bukan berarti saya nggak baca sama sekali. Apalagi kalau ada yang ngehit. Tetap baca dong, biar tambah ilmu juga.