Mohon tunggu...
Ken Terate
Ken Terate Mohon Tunggu... Administrasi - Penenun Kata

Ken Terate adalah pekerja teks komersial. Ia tinggal di Yogyakarta. Kebahagiaannya tersangkut pada keluarga kecilnya, secangkir teh, buku, drama, dan obrolan ringan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kapan Sebaiknya Anak Mulai Belajar Bahasa Inggris? (Sekadar Opini)

13 September 2014   14:02 Diperbarui: 4 April 2017   16:54 9762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_358896" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi anak membaca/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Beberapa waktu yang lalu saya ditanyai seorang kenalan di mana kursus bahasa Inggris yang bagus untuk anaknya. Saya kurang tahu berapa usia anaknya, tapi sepertinya lima atau enam tahun. Sebagai mantan guru kursus bahasa Inggris saya punya info tempat yang cukup ‘asyik’ bagi  anak-anak untuk belajar bahasa Inggris, tapi saya juga tahu bahwa anak-anak ini sebenarnya belum perlu belajar bahasa asing dalam usianya yang masih terlalu belia. Buktinya anak yang  kursus di situ sejak SD tidak serta merta lebih maju dibanding teman sebayanya yang mulai kursus waktu mereka SMP. Lebih banyak kosakatanya ya, lebih rileks ya, tapi tidak memiliki perbedaan signifikan dalam penguasaan secara umum.

Pertanyaan soal kursus itu menghantui saya hingga saya iseng-iseng bikin poling di facebook. Saya melempar pertanyaan “Sejak kapan Anda belajar bahasa Inggris secara formal dan apakah Anda mendapatkan hasil sesuai yang Anda harapkan?”

Karena rata-rata yang menanggapi adalah teman-teman seangkatan saya (alias yang lahir pada tahun 80an), jawaban kebanyakan adalah: sejak umur 12-13 tahun (kelas satu SMP atau kelas tujuh). Ya, kurikulum waktu itu memang ‘mewajibkan’ anak belajar bahasa Inggris sejak usia segitu.

Apakah mereka berhasil menguasai bahasa itu? Sebagian besar mengatakan ya. Dan bukan sembarangan ‘ya’ karena saya tahu sebagian mereka bahkan sangat fasih. Sebagian mereka adalah penerjemah dan editor profesional. Tapi…. ada tapinya… mereka mengaku lebih banyak belajar dari buku, game, lagu, dan film! Artinya sekolah dan kursus berperan kecil dalam penguasaan mereka terhadap bahasa asing ini.

Bahasa Masa Depan

Tak dapat dipungkiri penetrasi bahasa Inggris dalam semua bidang dan di semua tempat makin kuat waktu ke waktu. Mau tak mau kita terseret arus ini. Tak heran orang tua ketar-ketir kalau anaknya tidak menguasai bahasa Inggris (bahkan saat anak mereka baru berusia lima tahun). Saya maklum kalau orang tua ini mulai mengirim anaknya ke lembaga kursus bahkan saat si anak belum lagi lancar bicara. Saya maklum kalau orang tua ‘pokoknya harus’ memilih sekolah yang berbahasa pengantar Inggris meski anaknya asli cengok dan stress di dalam kelas.

Generasi 80an seperti saya rata-rata menghabiskan 6 tahun belajar bahasa Inggris di SMP dan SMA lalu kalau mereka kuliah waktu belajar ini ditambah dua tahun. Saya tidak ingat lagi soal alokasi waktu pelajaran bahasa Inggris, tapi taruhlah 2 jam per minggu. Jika rata-rata siswa belajar 30 minggu dalam setahun, maka mereka menghabiskan waktu 60 jam per tahun untuk belajar bahasa Inggris. Itu artinya minimal, 360 jam dalam hidup mereka. Ini belum ditambah segala macam kursus dan tetek bengek ekstrakulikuler.

Dengan statistis itu tentunya kita berharap hampir semua anak lulusan SMA cas cis cus berbahasa Inggris kan? Minimal bisalah ngomong sama turis asing.

Tapi nyatanya? Ngadepin orang asing saja gemeter! Baca novel bahasa Inggris? Tidak bisa! Apa yang salah? Banyak. (Tidak perlu dibahas ya, nanti jadi panjang. Jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesia mereka saja alay bin kacau balau).

Mungkin itulah mengapa orang tua terpacu untuk memberi pelajaran bahasa Inggris bagi anaknya sejak dini. Makin dini berarti waktu belajarnya makin panjang, dan mudah-mudahan makin pintar.

Tapi seperti dikatakan oleh survey saya tadi: anak-anak yang ‘telat’  belajar bahasa Inggris ternyata bisa menguasai bahasa ini dengan baik. Kuncinya ada pada minat belajar mereka pada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa Inggris di luar sekolah.

Saya sendiri belajar bahasa Inggris formal sejak SMP di sekolah. Saya tidak pernah kursus. Saya lanjut kuliah di sastra Inggris karena saya memang menyukainya. Saya menonjol dalam bidang ini dibanding teman-teman saya. Waktu SMP, saya sudah iseng-iseng membaca cerita berbahasa Inggris bahkan dengan tekunnya menabug demi bisa membeli buku cerita berbahasa Inggris untuk pemula. Saya baca pelan-pelan. Saya buka kamus tiap kali mendapati kosakata yang tidak saya mengerti artinya.

Dan ya, saya berutang banyak pada lagu-lagu bahasa Inggris. Zaman itu mendapatkan teks lagu bahasa Inggris tidak semudah sekarang. Saya mengoleksi teks-teks lagu itu dengan susah payah, kadang mengandalkan telinga saya yang nggak juga nangkep-nangkep, kadang mengandalkan teks lagu yang saya dapat dari koran tapi kok kata-katanya meleset. Saya tahu itu meleset, wong nggak match dengan apa yang saya dengar.

Keiseingan di luar kelas membuat nilai-nilai bahasa Inggris saya melesat mengungguli nilai matematika saya karena yah, saya tidak pernah iseng mengerjakan, katakanlah, Sodoku, di luar kelas.

Jadi Sebaiknya Usia Berapa?

Kursus tempat saya bekerja dulu mensyaratkan minimal harus berusis empat tahun untuk bisa ikut belajar. Saya tidak mengerti apa dasar untuk syarat ini, tapi sepertinya lebih pada teori (atau anggapan) pada usia segitu anak sudah mulai bisa tertib, bisa mandiri, dan sudah menguasai bahasa ibu dengan baik.

Pernah ada orang tua yang memaksakan anaknya yang baru berusia tiga tahun untuk ikut les. Akibatnya? Ketika saya menunjukkan gambar pisang dan berseru, “banana”, hanya anak ini yang berkata, “PISANG!”. Berkali-kali saya bilang ‘banana’, anak ini berkata ‘PISANG!’.

Saya tidak mengoreksinya karena setahunya itu pisang (dan memang pisang, kan?). Begitulah, bila anak belum menguasai bahasa ibunya maka akan terjadi kekacauan bahasa. Dan ini membingungkan anak serta menempatkan anak pada posisi sulit dalam komunikasi.

Seorang teman pernah bercerita anak kenalannya merujuk ‘jeruk’ dengan ‘ocuk’ karena dia mencampur kosakata ‘orange’ dan ‘jeruk’. Teman lain bercerita dia melihat anak yang melafalkan ‘rumah makan padang’ dengan ‘rumeh meken pedeng’.

Bahasa adalah alat komunikasi. Tujuan ‘komunikasi’ inilah yang harus kita pegang. Pastikan anak bisa berkomunikasi dengan baik dengan bahasa apa pun itu. Kalau Anda tinggal di Indonesia tentu saja alat komunikasi paling baik adalah bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Kemampuan berkomunikasi dengan tepat, baik, dan lancar adalah senjata anak untuk belajar banyak hal, memompa kepercayaan diri, dan mengekspresikan perasaannya dengan pas. Anak tidak akan frustrasi.

Setelah anak menguasai bahasa ibu, belajar bahasa asing akan lebih mudah baginya. Usia berapa? Tergantung anaknya. Anda yang tahu. Anda bisa melakukan ‘trial and error’ apakah anak Anda siap belajar bahasa asing. Kalau dia belum siap (misal masih mencampur dua kosa kata dari dua bahasa yang berbeda, hentikan).

Dalam kasus saya dua belas tahun belum terlambat sama sekali.

Dan ingat Anda adalah penutur asli (native speaker) bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Ini menjadikan Anda sumber terbaik bagi pembelajaran bahasa daerah dan bahasa Indonesia untuk anak Anda. Mengapa membiarkan kesempatan itu lepas?

“Tapi saya tetap ingin anak saya belajar bahasa Inggris sejak dini, sejak dalam kandungan kalau bisa.” Kalau itu yang Anda inginkan, ikuti resep yang sudah terbukti berhasil di atas: perdengarkan lagu bahasa Inggris. Ajak anak menonton video dalam bahasa Inggris, bacakan buku berhasa Inggris. Jangan memaksakan apa-apa. Jangan bikin tes semacam, “Red itu apa, Dik?” Yakinlah anak Anda bakal menyerap entah satu dua kosa kata yang bakal terkenang sepanjang hidupnya.

Catatan: Ini hanya sekadar opini, tidak berlandaskan teori teruji sama sekali. Dan ini juga tidak berlaku bagi anak dengan orangtua bilingual atau tinggal di negara berbaha asing. Saya juga  tidak menafikan ada anak yang memiliki kemampuan bahasa lebih tinggi dibanding anak-anak sebayanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun