Mohon tunggu...
Ken Terate
Ken Terate Mohon Tunggu... Administrasi - Penenun Kata

Ken Terate adalah pekerja teks komersial. Ia tinggal di Yogyakarta. Kebahagiaannya tersangkut pada keluarga kecilnya, secangkir teh, buku, drama, dan obrolan ringan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sedini Apakah 'Dini' Itu?

23 September 2014   04:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:53 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Angger anak saya berusia tiga tahun setengah. Tahukah Anda apa yang ditanyakan orang-orang padanya?

Setelah menanyakan nama, umur, 90% orang bertanya padanya apakah dia sudah sekolah! Luar biasa. Saya juga baru menyadari bahwa itu pertanyaan standar untuk anak-anak balita seperti ‘apa kabar?’ untuk orang dewasa.

Untuk pertanyaan, “Sudah sekolah,” Angger selalu menjawab “Belum” tanpa rasa bersalah. Ibunya yang merasa bersalah karena kadang-kadang si penanya menatap saya curiga seolah mengatakan ‘ya ampun anak segini kok belum disekolahkan! Benar-benar melanggar hak anak atas pendidikan’.  Kecurigaan saya beralasan karena kadang si penanya langsung menyarankan, “Ikutkan PAUD ini atau Playgroup itu.” Sebetulnya, saya maklum dengan pertanyaan ‘basa-basi’ macam itu. Habis apa yang mesti ditanyakan pada balita atau anak-anak pada umumnya? Hei, berapa harga mobil barumu?

Dini

Tempo hari saya menulis soal kapan sebaiknya anak mulai belajar bahasa Inggris formal. Tentu saja ada pro-kontra setelahnya. Hal yang biasa. Kalau sudah membicarakan pendidikan, pro kontra itu wajib hukumnya.

Seorang teman mengaku stress  ketika menyuruh anaknya yang berusia empat tahun belajar piano. Si anak angot-angotan. Sekali waktu bersemangat, lain waktu mogok total. Padahal guru sudah datang dan harus dibayar –mahal!--.

Teman lain yang anaknya juga belajar piano di usia empat tahun mengaku punya kendala. Jari-jari si anak masih kurang ‘panjang’ sehingga kurang lincah berpindah ke sana ke mari dan si anak jadi stress sendiri.

Kalau begitu mengapa kita tidak menunggu? Untuk belajar piano misalnya, mengapa kita tidak menunggu sampai si anak katakanlah sepuluh tahun? Ya, sudah telatlah, anak lain sudah belajar sejak dalam kandungan!

Lomba

Aduh betapa kita kini sangat hobi berlomba. Dulu waktu saya kecil, rata-rata anak masuk TK (tanpa playgroup) pada usia lima tahun. Beberapa teman SD saya bahkan tak pernah masuk TK sama sekali. Lalu muncullah playgroup. Dan kini bahkan ada sekolah untuk bayi. Anak-anak mulai ‘bersekolah’ pada usia dua tahun. Saya mafhum sekali. Gabungan antara faktor kedua orang tua yang bekerja, gaya hidup, kampanye pendidikan dini hingga tekanan sosial membuat orang tua seolah harus berlomba bak atlet olimpiade, lebih cepat, lebih kuat, lebih tinggi, lebih dini.

Ini tentu ditangkap oleh pelaku bisnis pendidikan sampai-sampai ada playgroup yang menerima murid dengan syara super ringan: asal sudah bisa jalan. Yang lain bahkan membuka sekolah kepribadian buat balita. Kepribadian!

Budaya Instan

Budaya instan membuat kita bersicepat dan serba tak sabar. Kalau bisa lebih cepat, itu lebih baik. Andai tak ada syarat usia untuk jadi presiden, pasti banyak orangtua yang memprogram anaknya menduduki jabatan itu secepat mungkin.

Kalau bisa pada usia tiga tahun anak sudah bisa baca, usia lima tahun sudah masuk SD, enam tahun harus sudah pernah tampil dalam konser, sepuluh tahun sudah bisa menerbitkan buku, sembilan belas tahun sudah lulus kuliah (SMA-nya ikut akselerasi). Sampai situ bingung deh, mau kerja kok masih unyu-unyu banget, mau menikah belum pantes. Akhirnya, karena masih ada duit kuliah S2 deh. Eh, begitu lulus S2 bingung lagi cari kerja, soalnya nggak mungkin S2 mau gaji rendah. Masalahnya, mau cari posisi yang gajinya tinggi susah karena nggak punya pengalaman.

Ah, tidak, tidak begitu. Ending cerita ini adalah: Pada usia dua puluh tahun dia sudah duduk sebagai eksekutif muda yang sukses atau selebritis terkenal dan orang tuanya tinggal kipas-kipas. Manis sekali.

Siapa yang tidak pengin punya anak hebat dan jenius dan mandiri dengan cepat. Siapa tidak pengin punya anak seperti Sugha Jung, gitaris remaja asal Korea yang sudah mendunia pada usia sangat muda? Atau Sherina? Yang waktu masih SD pun sudah punya album dan main film? Saya sih pengin.

Kalau begitu, mari kita mulai sejak dini. Eh, tapi masalahnya sedini apakah dini itu? Saya kadang menyaksikan anak yang nangis melolong saat ia masuk TK pertama kali. Belum juga ditinggal oleh ibunya, dia sudah nangis kejer, nggak mau masuk kelas.

Ah, nggak papa, nanti juga dia terbiasa. Nanti dia juga nggak nangis. Nanti malah dia suka sekolah. Masalahnya tidak semua anak menangis dan ketakutan saat masuk TK. Kenapa anak ini menangis? Kita tahu jawabannya. Dia belum siap. Dia ketakutan bertemu orang asing. Dia cemas berada di tempat asing. Dia tak mau berpisah dari ibunya.

Justru itu! Kita harus ‘didik’ dia agar berani. Agar tidak cengeng. Agar bisa ‘pisah’ dari ibunya. Begitulah pikiran kita. Terbayangkah si anak akan berpikir, “Mengapa aku ditinggalkan dengan orang asing? Mengapa ibu tega ninggalin aku?” Perasaan ditolak kadang justru lebih mendominasi di sini dan pada anak tertentu dapat menimbulkan trauma mendalam.

“Saya sekolahin anak saya biar mandiri!” Lah, anak tiga tahun kok disuruh mandiri. Dan mengapa pula kita merasa sekolahlah yang bisa memandirikan anak alih-alih orangtuanya sendiri? Mandiri itu jatah orang dewasa, bukan jatahnya anak-anak.

“Iya, kan tapi harus dilatih sejak dini.”

Percayalah, anak punya insting buat mandiri yang sangat kuat. Meski nyaman digendong-gendong, dia dengan bersemangat belajar berjalan bukan? Meski lebih gampang disuapi, mereka kadang milih makan sendiri bukan? Meski jadinya kotor dan cemang-cemong?

Pada saatnya nanti, anak-anak kita akan memilih lepas dari orangtuanya.  Saat itulah mungkin berat bagi orangtua untuk melihat sisi gelap dari ‘kemandirian’. Anak-anak akan terbang dan meninggalkan orangtuanya kesepian.

Siap

Saya rasa kita setuju, belajar apa pun butuh kesiapan. Ada teori psikologi yang panjang dibalik alasan mengapa anak disarankan masuk ke dalam pendidikan formal pada usia tujuh tahun. TK dianggap bukan pendidikan formal, tapi toh sekarang banyak TK yang formal juga –yang mengharuskan anak duduk dalam jangka waktu lama, menghapal, dan membaca--. Ada alasan mengapa SD (negeri) sekarang mengharuskan anak berusia tujuh tahun untuk jadi peserta didik. Dan ada Anda harus berusia minimal tujuh belas tahun untuk mendapat SIM A atau ikut pemilu.

Saya sendiri berpendapat sebaiknya menunggu hingga anak berusia lima tahun untuk masuk TK. Biasanya anak usia segitu sudah lulus toilet training, artinya dia sudah bisa ke kamar mandi tanpa dicebokin guru –ngeri saya membayangkan anak kecil ke kamar mandi bersama orang asing meski itu gurunya. Pada usia lima tahun anak juga sudah bisa bicara dan menyatakan perasaannya. Ini penting apabila anak mengalami peristiwa tidak menyenangkan di sekolah, seperti bullying.

Seorang teman bercerita ia melihat anak-anak usia SMP yang mondok di suatu pesantren ternyata dengan mudah mengikuti jejak kakak-kakak kelasnya untuk merokok diam-diam. Yah, saya tidak menyalahkan gurunya. Mana mungkin si guru dapat mengawasi semua anak? Dan pada usia remaja, anak memang lebih suka meniru teman sebaya dibanding manut pada gurunya. Peer pressure terasa sangat kuat dan logika jangka panjang remaja memang belum matang.

Beberapa orangtua, saking penginnya si anak pinter, memaksa mereka untuk belajar apa pun ‘sejak dini’. Hasilnya, si anak stress, orang tuanya lebih stress lagi karena yang terpikir adalah, “Ya ampun, anakku ketinggalan dari anak lain. Kenapa anakku tidak bisa? Aduh, sudah bayar mahal nggak ada hasilnya.”

Semua ini saya rasa akan berkurang bila si anak siap. Beberapa anak siap membaca waktu berusia lima tahun, lainnya waktu berusia tujuh tahun, lainnya lagi dua belas tahun!

Sandra Dodd –pendidik dan praktisi homeschooling di Amerika—menulis bahwa tiga anaknya baru bisa membaca setelah berusia delapan tahun. Bahkan anak bungsunya baru bisa membaca setelah berusia dua belas tahun! Wuih, kalau Anda jadi orang tuanya apa nggak cemas tuh? Sandra  memilih tidak cemas karena melihat si anak ini bisa bercerita dengan runtut dan mudah menghapal. Benar saja, saat usia si anak dua belas tahun, tiba-tiba saja dia bisa membaca. Seolah dia bisa membaca dalam semalam. Begitu dia bisa membaca, dia langsung membaca novel-novel Judy Blume. Dia tidak mengalami kesulitan kosakata –yang kadang membuat stress anak yang belajar membaca di usia dini—karena kosakatanya sudah kaya sekali.

Saya tidak menampik, ada anak yang ‘siap’ lebih cepat dibanding teman-teman sebayanya. Ada anak yang sudah lancar main biola saat berusia empat tahun. Anak lain sudah bisa main gitar klasik waktu TK. Anak-anak ini termasuk anak istimewa yang memang selalu ada pada tiap kelompok. Saya lupa berapa statistiknya, tapi kalau tidak salah lima persen anak ‘mendahului’ rekan-rekannya. Bagi mereka, tak ada istilah terlalu dini. Mereka sudah siap. Itu saja.

Saya termasuk anak yang cepat membaca. Saya bisa membaca waktu saya duduk di TK. Kelas satu SD sementara anak-anak lain belajar mengeja, saya sudah membaca buku. Saya sudah siap. Saya tak ingat ada paksaan dari orangtua untuk membaca. Saya membaca karena saya ingin. Saya tidak kebingungan membedakan ‘d’ dan ‘b’. Dan meski saya ingat ibu mengajari saya membaca, rasanya saya juga bisa membaca begitu saja. Tak butuh waktu lama.

Masalahnya bagaimana kita tahu anak kita siap? Masih menurut Sandra Dodd, Anda pasti tahu. Anda tahu kapan anak Anda siap berjalan, kapan dia siap makan sendiri, kapan dia sudah bisa naik perosotan. Jadi Anda pasti juga tahu kapan dia siap membaca.

Wah, sayang dong kalau anak tidak belajar sejak dini. Kan anak-anak itu kayak spons, cepat sekali menyerapnya. Buktinya lho, anak saya itu lagi dengar lagu sekali langsung bisa menirukan. Lengkap dan benar!

Tentu saja. Anak-anak mudah sekali mengingat bahwa yang catnya ‘merah putih’ itu pom bensin, bahwa Indomaret jualan ice cream, bahwa yang bisa terbang itu burung, bahwa setelah empat itu lima. Tapi coba saya Anda ajarkan pada anak tiga tahun bahwa yang kayak cacing itu adalah huruf ‘s’ dan kalau ‘s’ tambah ‘a’ bunyinya ‘sa’. Saya yakin 90% anak tidak akan mudeng apa yang sedang Anda omongkan. Karena itu semua tidak aktual baginya. Alam bawah sadar anak bekerja lebih kuat daripada logikanya. (Ngapain saya harus mengingat huruf ‘s’ dan ‘a’?).

Semua anak –bahkan semua orang—saya pikir pasti akan terdorong belajar tanpa dipaksa bila menyangkut dua hal ini: 1. Yang ia pelajari ia butuhkan. 2. Yang ia pelajari menyenangkan. Apakah ‘s’ dan ‘a’ dibutuhkan anak? Tidak. Menyenangkan? Apalagi.

Prodigy

Ananda Sukarlan –pianis kebanggaan Indonesia-- belajar piano sejak lima tahun. Djaduk Ferianto –seniman multitalenta-- mulai belajar gamelan pada saat ia berusia delapan tahun. Jubing Kristianto –gitaris kondang-- juga mulai belajar gitar pada saat usianya delapan tahun. Tapi Ian Antono baru mulai belajar gitar pada saat ia berusia dua belas tahun! Tuwir sekali ya. Tapi toh ia jadi gitaris kondang.

Yang tidak selalu kita ingat adalah mereka semua belajar dari keluarga dan lingkungan terdekat. Ananda belajar piano pertama kali dari kakaknya. Djaduk tentu saja sudah sejak bayi dikelilingi bunyi gamelan berhubung bapaknya adalah maestro tari dan pemilik padepokan seni. Ayah ibu Jubing adalah pecinta seni. Ian Antono belajar gitar mengekor kakak-kakaknya yang sudah terlebih dahulu punya band.

Lah, bagaimana kalau saya pengin anak saya pintar main piano/ masak/ bahasa Inggris, sementara orangtuanya sama sekali tak menguasai bidang itu? Ada tiga jawaban:

1.Berhentilah berharap. Anak butuh dukungan lingkungan.

2.Berpikirlah selalu ada keajaiban. Orangtua saya bukan penulis, tapi toh akhirnya saya jadi penulis.

3.Ikuti saran Charlotte Mason. Tugas orang tua adalah ‘menggelar jamuan’ bergizi dan se-bervariasi mungkin untuk anak-anak mereka.

Charlotte Mason adalah pendidik dari Inggris yang hidup pada tahun 1900an. Filosofinya tentang pendidikan masih banyak diikuti oleh pendidik-pendidik zaman sekarang. Salah satu poinnya tentang pendidikan adalah, gelarlah ‘jamuan’ bergizi dan bervariasi untuk anak-anak Anda setiap saat. Tentunya ini jamuan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan keahlian.

Ajak anak untuk mengunjugi museum, taman, kebun. Ajaklah ia menonton konser dan pameran seni. Ajak dia untuk bercakap-cakap dengan banyak orang. Bacakan buku-buku bermutu untuknya. Dan ini semua akan terserap di benak si anak serta membantunya memilih bidang apa yang ia sukai.

Mungkin kita tak bisa memaksa-maksa anak untuk belajar membaca pada usia empat tahun, tapi mungkin dia senang melihat gambar dan mendengar cerita. Sesekali ia akan bertanya, “Ini huruf apa?”Jawab saja tanpa berharap dia akan mengingatnya nanti, apalagi berharap dia bakal bisa membaca setelah itu. Tapi sungguh, saya pikir ia tengah bersiap-siap. Dan saat dia siap, tak ada lagi kata ‘terlalu dini’ atau ‘terlambat’. Yang ada hanyalah ‘ini saatnya’.

Disclaimer: Ini (lagi-lagi) sekadar opini. Yang mau menambahkan teori ilmiah, silakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun