Mohon tunggu...
Ken Terate
Ken Terate Mohon Tunggu... Administrasi - Penenun Kata

Ken Terate adalah pekerja teks komersial. Ia tinggal di Yogyakarta. Kebahagiaannya tersangkut pada keluarga kecilnya, secangkir teh, buku, drama, dan obrolan ringan.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Anak Sulit Makan?

11 Desember 2014   17:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:31 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1418275343672288894

[caption id="attachment_381957" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi anak malas makan. (Shutterstock)"][/caption]

Anak saya sulit makan, Mbak,” kata seorang ibu. Saya spontan bengong. Lha wong si anak ada di sampingnya tengah nyomal-nyamul makan apem dengan nikmatnya. Kayak gitu sulit makan?

Sepertinya sulit makan di sini diartikan 'sulit makan nasi', 'sulit makan sayur', 'sulit makan makanan rumah'. Ya iyalah! Kalau sudah makan kue apem, wajar saja si anak nggak bakal mau makan sayur. Selain sudah keburu kenyang, sayur juga tidak seenak apem.

Makan sepertinya menjadi masalah yang penting banget –atau malah paling penting—bagi emak-emak yang punya anak kecil. Saking pentingnya nih, kalau si emak bekerja, maka ia akan sering telepon pengasuh anak di rumah dari tempat kerja. Dan pertanyaan pertama dalam teleponnya adalah, “Adek udah makan belum, Mbak?” Selanjutnya adalah, “Banyak nggak makannya? Makan apa aja?”

Sepenting itukah ‘makan’? Ada seorang ibu yang tiap kali anaknya nggak doyan makan langsung ke dokter. “Saya takut anak saya sakit.” Dokternya geleng-geleng. Apa pasal? Si anak ini sudah masuk kategori overweight.

Ada pula ortu yang bilang, “Kalau sakit tuh saya nggak maksa anak saya buat minum obat, yang penting makan banyak.” Aduh, mak, kalau kita sakit aja, apa kita doyan makan? Ortu nggak sekadar menekankan pentingnya makan, tapi juga pentingnya makan BANYAK. Segala macam cara dilakukan ortu agar anak doyan makan (banyak), mulai dari dijejali, disuapin sambil muter-muter kampung, dikasih multivitamin, sampai dicekokin dengan jamu.

Saya pernah menyaksikan seorang ibu jungkir balik (dalam arti sesungguhnya) menyuapi anaknya. Kalau anaknya duduk, si ibu ikut duduk, anaknya nungging, si ibu membungkuk, anaknya berkelit, ibunya meliuk. Ini makan atau akrobat?

Saya alhamdulillah tidak pernah mendapat kesulitan yang berarti soal makan ini. Menurut anggapan saya, sih. Begitu buka mata di pagi hari, pertanyaan pertama yang terlontar dari anak saya (3,5 tahun) adalah, “Bu, ada makanan apa?”

Anyway, saya mau membagi pengalaman saya soal makan ini. Ini pengalaman empiris ya, jadi jangan dijadikan rujukan ilmiah (disclaimer duluan deh).

1.Start right

Kebiasaan anak makan dibentuk sejak mula sekali. Sejak ia lahir. Mulailah dengan ASI saja hingga usia anak enam bulan. Banyak sekali alasan mengapa harus menunggu enam bulan, silakan Google saja. Selanjutnya lengkapi dengan makanan pendamping ASI yang alami, beragam, TANPA gula garam hingga usia anak minimal setahun –lebih juga boleh, kalau bisa sampai tua bagus banget tuh hehe--. Ini terbukti sangat ampuh.

Saya merasa ‘gagal’ dalam periode ini karena kurang memperkenalkan keragaman makanan pada anak saya, misalnya kurang memperkenalkan tahu tempe. Sampai sekarang anak saya susah makan tahu tempe. Tapi ya sudahlah, ini pelajaran. Toh, saya takjub ketika sudah tiga tahun lebih dan sudah merasakan ‘makan enak’ anak saya masih doyan kacang panjang rebus dan brokoli rebus tanpa tambahan bumbu apa pun. Tekstur juga perlu diperhatikan. Terlalu lama anak dibiarkan makan makanan lunak seperti bubur atau nasi tim membuat mereka malas mengunyah. Malas mengunyah ini dampaknya banyak lho mulai terhambatnya pertumbuhan gigi sampai keterlambatan bicara.

2.Makan tidak harus nasi

Sebagai orang Indonesia udah melekat dalam benak kita makan itu ya makan nasi. Kalau ada pertanyaan ‘Udah makan?’ itu maksudnya makan nasi, bukan makan bakpao atau makan mi. Bakpao itu snack. Ini kadang yang dilupakan ortu. Makan tidak harus dengan nasi. Kalau anak sudah makan ubi rebus di pagi hari, ya sudah. Kebutuhan karbohidrat untuk hari itu sudah cukup. Tidak usah resah kalau seharian dia tidak makan nasi atau karbohidrat lainnya.

3.Susu, musuh nafsu makan

“Anak saya nyusunya kuat, lho,” kata seorang ibu dengan bangga.

“Anak saya nggak doyan makan, jadi terpaksa saya kasih susu. Takut kurang gizi,” kata ibu yang lain.

Aduh, belum-belum saya sudah lemes ngitung, itu ibu habis berapa ratus ribu sebulan hanya buat membeli susu. Belum lagi kalau si anak maunya susu merek premium (yang kadang juga menambah bangga ortunya). Biaya susu ini bisa ditukar dengan beberapa kilo ikan atau sekarung sayuran.

Dijamin Bu, kalau sudah minum susu, nafsu makan anak akan semakin lenyap. Kita orang dewasa saja kalau sudah minum segelas susu bakal ogah makan. Akhirnya jadi lingkaran setan deh. Anak minum susu, jadi nggak doyan makan. Karena anak nggak doyan makan, ortu cemas. Karena ortu cemas ia memberikan susu supaya anak tercukupi gizinya. Karena anak sudah diberi susu, dia males makan. Gitu terus. Hm, apa benar kalau anak cuma minum susu tanpa makanan lain, maka gizinya akan tercukupi?

Susu selama ini dianggap minuman ‘ajaib’ dan wajib bagi anak. Apakah memang seperti itu? Menurut teori ilmiah, setelah satu tahun, anak tidak butuh susu hewani. Susu memang mengandung kalsium. Vitamin yang lain biasanya ditambahkan. Coba deh lihat kemasan susu, biasanya ada tulisan ‘enriched with’ atau ‘fortified with’ alias ‘diperkaya dengan’ lalu ada list segambreng vitamin dan zat bergizi lainnya. Sebenarnya kata ‘enriched with’ atau ‘fortified with’ itu pengakuan bahwa susu tidak mengandung semua zat itu secara alamiah, tapi hanya ditambahkan. Yang perlu kita ingat adalah semua zat gizi itu bisa dengan mudah kita temukan pada makanan lain. Kalsium ada pada daging dan sayuran. Asam lemak semacam AA dan DHA ada pada ikan (btw, sebenarnya AA dan DHA itu apa, sih? Latah benar yak kita ini. Asal terdengar rumit dan ilmiah, udah kita anggap top). Vitamin ada dalam buah. So, nggak perlu cemas kalau anak nggak minum susu. Justru batasilah konsumsi susu hingga anak bisa makan gizi seimbang.

Susu adalah protein hewani, setara dengan daging, ikan, dan ikan. Menurut piramida makanan, porsinya hanyalah satu potong tiap hari. Kalau sudah dapat daging ayam hari ini, ya susunya lain kali saja. Edited. Masalah lain dari susu adalah bentuknya yang lunak dan rasanya yang manis. Terlalu banyak mengonsumsi susu membuat anak malas mengunyah dan ketagihan rasa gurih manis.

Hal senada berlaku pada turunan susu, seperti keju. Sering sekali ada pertanyaan di grup emak-emak, kapan anak boleh makan keju? Apa merek keju terbaik? Keju jenis apa yang baik dikonsumsi? Aha, memangnya anak butuh makan keju? Nanti nyesel lho kalau anak ketagihan keju. Padahal harga secuil keju kecil bisa dapat pecel lele.

Oke deh, kali ini cukup segini dulu ya. Masih banyak tips soal anak ogah makan. Kapan-kapan akan saya posting lanjutannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun